Oleh Mark Robbins*
Disiplin ekonomi politik memandang ekonomi dan politik sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan secara fundamental, dan sekarang disiplin ini menjadi lebih relevan dari sebelumnya.
Pada tahun 2013, dunia diguncang oleh peluncuran buku Capital in the Twenty-First Century karya Thomas Piketty, sebuah buku yang membuat klaim yang mengejutkan tentang meningkatnya ketidaksetaraan pendapatan global dan kecenderungan konsentrasi kekayaan yang semakin besar. Mungkin yang hilang dari perhatian banyak orang adalah salah satu asumsi dasar Piketty: bahwa ekonomi klasik tidak menyediakan alat yang cukup untuk mengungkap dan mengatasi masalah-masalah penting ini. Kelemahan utama dari analisis ekonomi, menurut argumennya, adalah bahwa analisis ini mengasumsikan adanya pemisahan antara ekonomi dan politik yang tidak merepresentasikan realitas. Hal ini berbeda dengan ekonomi politik, perangkat pilihan Piketty, yang mengasumsikan bahwa politik dan ekonomi pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dan bahwa hubungan antara negara dan pasar adalah kunci untuk memahami dunia secara menyeluruh.
Mark Robbins adalah seorang peneliti, pegawai negeri, dan komentator yang berbasis di Ottawa, Kanada, yang membahas berbagai isu terkait kebijakan publik, operasi pemerintah, dan teknologi yang sedang berkembang. Kunjungi halaman pribadinya di sini.
Pendapat Piketty ini bukanlah argumen baru (Piketty saat itu bukanlah seorang marxis—pen.), namun sebenarnya merupakan argumen yang sudah sangat tua. Adam Smith dan banyak pendiri ekonomi lainnya meyakini bahwa mereka mempelajari pertanyaan-pertanyaan tentang ekonomi politik. Sejak akhir tahun 1700-an, ketika Wealth of Nations ditulis, hingga awal 1900-an, para sarjana lebih cenderung mempelajari ekonomi politik daripada ekonomi murni (lihat gambar 1). Pemisahan antara politik dan ekonomi yang diasumsikan merupakan fenomena abad ke-20; pada tahun 1930-an, ilmu ekonomi telah mencapai dominasi yang jelas atas ilmu ekonomi politik yang kita kenal sekarang. Namun, ekonomi politik tidak pernah hilang sebagai sebuah disiplin ilmu. Bahkan, University of Toronto terus menyatukan kedua disiplin ilmu ini dalam Departemen Ekonomi Politik hingga akhir 1980-an, dan Carleton University masih memiliki Institut Ekonomi Politik hingga saat ini.
Meskipun ia mungkin menjadi pemimpin parade (cetak miring oleh penerjemah), Piketty tentu saja tidak sendirian dalam berargumen untuk mendukung disiplin ekonomi politik yang dihidupkan kembali. Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, ekonomi politik telah mengalami peningkatan bertahap dalam popularitasnya sebagai topik penelitian, sementara ilmu ekonomi relatif stagnan. Ada beberapa penjelasan mengenai kemunduran relatif ekonomi, termasuk insularitas intelektual dan kurangnya kemampuan prediksi. Namun, yang mungkin menjadi kelemahan paling signifikan dari disiplin ilmu ini adalah bagaimana asumsi pasar bebas –gagasan bahwa sistem hubungan ekonomi yang terdesentralisasi dan tidak terkekang dapat mencapai stabilitasnya sendiri –terus menjadi pusat perhatian dalam analisisnya.
Pasar bebas tanpa beban seperti yang dibayangkan oleh orang-orang seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman memang elegan dalam kesederhanaannya, tetapi sebagai premis untuk penelitian kebijakan dunia nyata, pasar bebas terlalu bergantung pada aspirasi dan ideologi, dan tidak cukup bergantung pada pengamatan empiris. Beberapa ekonom politik, seperti Karl Polanyi, bahkan sampai meragukan keberadaan pasar bebas, dengan menyatakan bahwa pasar bebas tidak mungkin diamati dan mungkin hanya ada dalam konstruksi teoretis. Terlepas dari apakah pasar bebas benar-benar ada, asumsi pasar bebas mungkin bukan merupakan titik awal yang tepat untuk penelitian kebijakan yang berorientasi pada masalah, terutama karena isu-isu kebijakan penting saat ini jauh dari kondisi pasar bebas.
Pada tahun 2014, misalnya, pengadilan opini publik Kanada diminta untuk memberikan penilaian atas keputusan politik seputar program pengadaan pesawat F-35. Yang lebih penting dari semua keributan politik dalam masalah ini adalah ketidakpastian mendasar tentang perkiraan biaya, kemampuan, dan jadwal untuk pesawat ini; perkiraan biaya saja berkisar antara $45,8 miliar hingga $126 miliar, dengan margin kesalahan sebesar $81 miliar. Hal ini karena pasar peralatan militer sangat terkait dengan, dan tidak dapat dipisahkan dari, urusan politik. Sering kali ada selusin departemen pemerintah yang berbeda yang menetapkan parameter untuk kontraktor yang menyediakan peralatan militer, dan parameter ini menyentuh hampir setiap elemen rantai pasokan produk akhir. Pemasok dipilih melalui proses yang tidak jelas yang sering kali lebih berkaitan dengan pertimbangan politik sekunder daripada strategi, ekonomi, atau praktik bisnis yang baik (cetak miring oleh penerjemah). Masalah ini tidak dapat diurai hanya dengan ilmu ekonomi.
Kondisi ini hampir tidak terbatas pada masalah pengeluaran militer; politik dan ekonomi saling bertabrakan dalam spektrum isu-isu yang tercakup dalam kebijakan publik. Ketika isu keterjangkauan tempat tinggal semakin menjadi perhatian publik, hampir tidak mungkin untuk membayangkan seperti apa sistem pasar bebas untuk penggunaan lahan kota, bahkan secara teori sekalipun. Memang, hanya ada sedikit kebijakan kontemporer yang lebih ditentukan oleh dirigisme1 daripada kebijakan zonasi kota, bangunan dan perumahan. Sayangnya, keterjangkauan kota terlalu sering diabaikan oleh para ahli kebijakan karena berada di antara batas-batas disiplin ilmu, tidak sesuai dengan tradisi ilmu politik atau ekonomi. Jika ekonomi politik benar-benar bangkit kembali, kita harus melihat bukti bahwa disiplin ilmu ini terlibat dalam isu-isu kebijakan kota dan berusaha mengatasi masalah keterjangkauan tempat tinggal/perumahan.
Seperti halnya keterjangkauan perumahan, banyak isu ekonomi politik yang merupakan isu penting bagi para akademisi dan juga masyarakat luas. Dengan bangkitnya populisme, isu-isu ekonomi politik kembali mengemuka dalam kebijakan publik. Donald Trump, misalnya, menjadikan perdagangan internasional, atau mungkin lebih tepatnya dampak lokal dari perdagangan internasional, sebagai isu utama dalam pemilihan presiden Amerika. Terlepas dari desakan ekonomi klasik yang menyatakan bahwa air pasang naik akan mengangkat semua perahu dan bahwa perdagangan bebas membawa keuntungan bersih bagi masyarakat, banyak orang Amerika tidak merasa bahwa globalisasi selama 30 tahun terakhir ini telah memperbaiki nasib mereka. Jika kita menerima definisi Harold Lasswell tentang politik sebagai “siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana,” maka jelaslah bahwa absenya hubungan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik adalah penyebabnya.
Semua ini bukan berarti bahwa ekonomi politik merupakan pendekatan yang pasti tepat untuk semua masalah kebijakan publik; disiplin ilmu ini harus tahan terhadap godaan untuk menjadi semua hal (jawaban mutlak—pen.) bagi semua orang. Namun, ketika celah-celah mulai muncul dalam konsensus manajemen ekonomi laissez faire, komunitas kebijakan publik harus siap untuk mengambil bagian dan menggunakan semua alat yang ada untuk bergerak maju. Hal ini berarti mengambil isu-isu publik yang muncul terlepas dari batas-batas artifisial yang telah dibuat antara politik dan ekonomi. Ekonomi politik mungkin dapat menegaskan kembali posisi kepemimpinan dalam dunia kebijakan publik, atau setidaknya posisi yang jauh lebih penting daripada yang pernah ada. Memang, jika ekonomi politik mengajarkan satu hal, maka hal itu adalah bahwa sejarah itu panjang dan penuh dengan kejutan2.
Buku terkait
1 Comment
Join the discussion and tell us your opinion.
Fine news for all us