Buku Rekomendasi PB // Edisi Desember 2025

Reading List-Desember 2025

Desember datang dengan topengnya yang gemerlap. Di balik lagu-lagu ceria dan promo belanja, ada getir realita yang menggigit: para pekerja digiring menarget setahun dalam sebulan, sementara harga sembako meroket tanpa ampun. Di belahan dunia lain, genjatan senjata hanya jadi bahan perundingan, sementara perang masih memutus nyawa setiap jamnya. Daftar rekomendasi ini sengaja kami susun sebagai tamparan—bacaan yang tak akan membiarkanmu nyaman dalam ilusi “semuanya baik-baik saja”.

Kami mengajakmu untuk menyelam ke dunia Orwell yang mengutuk ketaatan buta, kemudian menyusuri kampung-kampung tempat perempuan melawan perampasan tanah, hingga mengupas wajah neoliberalisme yang menggerus kemanusiaan. Kita juga singgah ke kisah klasik Dickens tentang Scrooge yang menjadi gambaran nyata keserakahan kapital yang terjadi hingga hari ini. Tak ada kata “selamat membaca” yang manis di sini—yang ada adalah ajakan untuk dengan keras mencari tahu, mempertanyakan, dan, ikut bergerak.

Berikut daftar buku rekomendasi untuk menemani Desember mu!

  • Pembangunan untuk Siapa

Buku ini adalah dokumentasi keteguhan para perempuan di berbagai desa yang menolak tunduk ketika pembangunan meminggirkan mereka. Dari titik paling pinggir inilah tumbuh keberanian, kasih, dan etika merawat kehidupan.

Di tengah pembangunan Ibu Kota Nusantara dan Proyek Strategis Nasional, perubahan iklim, serta keserakahan korporasi, mereka melawan dari kebun dan ladang yang tersisa, dari rumah yang terancam digusur atau tenggelam, dengan tubuh mereka sendiri sebagai perisai terakhir. Di bawah ancaman kriminalisasi, mereka berdemo, turun langsung mengadang alat berat, juga membangun komunitas untuk menyusun siasat bersama.

Ilan Pappé, sejarawan dan penulis termuka asal Israel, membongkar akar historis penjajahan dan kekerasan sistematis terhadap rakyat Palestina dalam buku penting ini. Dari awal kolonisasi Zionis hingga genosida di Gaza hari ini, Sejarah Ringkas Penjajahan Israel atas Palestina menghadirkan narasi jernih dan berani melawan kebohongan resmi.

Ahed Tamimi menjadi perhatian dunia ketika dia ditangkap tentara Israel menjelang Natal 2017. Mereka menerobos masuk rumah Ahed di tengah malam buta, dan menyeret pergi gadis berusia 16 tahun ini. Gara-garanya? Ahed menampar tentara Israel yang masuk ke rumahnya. Ahed kesal karena tentara Israel menembak sepupunya tepat di wajah.

Dunia marah dan prihatin atas ketidakadilan yang menimpa Ahed. Kampanye #FreeAhed tidak hanya beredar luas secara online, melainkan dalam bentuk poster dan grafiti yang terpampang di tempat-tempat umum, seperti London dan Lisbon.

Dorothy hilang ingatan dan saat siuman ia sudah bukan lagi si gadis taat, putri sematawayang pendeta. Hidupnya yang teratur dan tak neko-neko berganti dengan episode luntang-lantung di sekitaran London. Dari kuli musiman, guru di sekolah abal-abal, sampai mengemis—semua dilakoni demi bertahan hidup. Sambil, ia terus mengais kembali ingatannya yang timbul-tenggelam.

Dorothy di sini bisa jadi adalah kita semua—dalam bentuk ekstremnya—yang berusaha menjawab pertanyaan abadi: Siapa kita?

Lagu Natal adalah karya Dickens yang dicintai oleh pembaca dari segala umur, dan merupakan bacaan wajib saat Natal. Berkisah tentang Scrooge, seorang lelaki tua yang kejam, kikir, dan hidup tanpa teman. Suatu malam Natal, tiga hantu membawanya dalam perjalanan untuk menunjukkan kepadanya kesalahan dari cara hidup yang dijalaninya selama ini. Dengan mengunjungi masa lalu, masa kini, dan masa depannya, Scrooge belajar untuk mencintai orang-orang di sekitarnya.

Love In The Time of Cholera mengisahkan sebuah cinta segitiga antara Fermina Daza (Giovanna Mezzogiorno) dengan dua pria pemujanya, Florentino Ariza (Javier Bardem) dan Dokter Juvenal Urbino (Benjamin Bratt) pada kurun waktu 1879 hingga 1930 dan berlokasi di Cartagena, Kolombia. Kisah diawali ketika Fermina yang sudah uzur menghadiri pemakaman suaminya, dan setelah ia kembali ke rumah, ia melihat sosok Florentino tua, yang mengatakan, “Aku sudah menantikan momen ini selama 51 tahun, 9 bulan dan 4 hari”. Fermina yang sedang berkabung ternyata tidak menghendaki kehadiran Florentino, dan tanpa banyak basa basi ia mengusir Florentino dari rumahnya.

Alur cerita dilanjutkan oleh kisah masa lalu kedua insan tersebut. Florentino muda jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Fermina. Ketika ia mengantarkan telegram kepada Ayahnya Fermina, dan disaat itu pula Florentino merasakan telah menemukan cinta sejati dalam hidupnya, dan perasaan itu ia ungkapkan dengan lembar demi lembar surat yang ia tulis untuk Fermina. Surat itu bisa Florentino berikan langsung kepada Fermina ketika ia menemui gadis pujaannya itu di gereja ketika Fermina, bersama Ayah dan Tantenya, menghadiri misa Natal. Hari demi hari Florentino menanti balasan, dan penantiannya itu berakhir ketika Tante, sekaligus orang terdekat Fermina, mengantarkan surat itu ke tempat pengiriman telegram, tempat Florentino bekerja. Namun, kebahagiaan kisah cinta kedua insan muda ini tak berlangsung lama karena Ayah Fermina tak menyetujui hubungan mereka, oleh karena itu pula Fermina dibawa oleh Ayahnya menuju desa tempat dimana sepupu dan neneknya tinggal. Dan disinilah masa penantian Florentino dimulai.

Guy Montag adalah seorang pembakar buku. Di dunianya, di mana literasi berada di ambang kepunahan, regu pembakar bertugas menghancurkan barang yang paling ilegal, yaitu buku cetak, bersama dengan rumah-rumah tempat buku tersebut disembunyikan. Namun, suatu hari dia bertemu dengan seorang gadis aneh yang membuatnya mulai bertanya-tanya apakah kehidupan yang dijalaninya itu bermakna?

Buku ini membahas hidup dan karya Zakheus Pakage, yang bersamanya tumbuh sebuah gerakan sosial, keagamaan, dan politik di wilayah Paniai, Tanah Papua mulai 1950. Memakai pendekatan multidisipliner yang memadukan analisis sejarah, antropologi, dan teologi, Benny Giay menunjukkan bahwa gerakan Zakheus Pakage dan komunitasnya berkembang sebagai sebuah respons atas perjumpaan orang Mee dengan kekuataan-kekuatan keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari Eropa, Amerika, dan Indonesia yang tiba di Tanah Papua dan mendominasi masyarakat setempat. Dalam perjumpaan itu, Zakheus Pakage dan komunitasnya memperkuat diri, mentransformasikan nilai-nilai dan struktur-struktur lama dalam konteks baru, serta mengupayakan sebuah tatanan sosial, budaya, politik dan keagamaan baru yang hendak mereka kendalikan sendiri.

Sebagai orang Indonesia, yang negerinya, Republik Indonesia (diproklamasikan tahun 1945) termasuk negara pertama mengakui berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (1949), … Aku pun ingin mengerti dan memahami sekitar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan politik seperti apa yang ditempuh Tiongkok dewasa ini. Bukankah Ir. Soekarno—salah seorang pemimpin besar perjuangan kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, Bapak Nasion, Proklamator Kemerdekaan Indonesia, serta Presiden pertama Republik Indonesia—dengan tegas menunjukkan bahwa untuk tujuan keadilan, kemakmuran, dan kejayaan, Indonesia harus membangun negara yang sosialis. Kalau kita bertolak dari Undang-Undang Dasar dan dasar falsafah negara, yaitu Pancasila, maka jalan yang hendak ditempuh Indonesia, adalah jalan sosialisme. Oleh karena itu, seyogianya Indonesia menarik pelajaran dari negeri-negeri lain yang juga membangun sosialisme, a.l. dari Republik Rakyat Tiongkok. Untuk tujuan tersebut, selain menjenguk kawan-kawan seperjuangan lama orang-orang Tiongkok dan teman-teman Indonesia yang bermukim di Tiongkok, selama dua minggu, dari 26 Mei s.d. 8 Juni 2013, bersama Murti, aku berkunjung (lagi) ke Tiongkok. Terakhir kunjungan kami ke Tiongkok adalah 13 tahun yang lalu, yaitu tahun 1998. Undangan datang dari organisasi yang sama: Chinese People’s Association for Friendship With Foreign Countries (CPAFFC). Adalah organisasi non-governmental ini juga yang mengundang kami sekeluarga untuk tinggal di Tiongkok dan aku bekerja di sana (1966–1986). Ibrahim Isa lahir di Jakarta, 20 Agustus 1930. Menempuh pendidikan Taman Dewasa Raya (Taman Siswa).

Inilah memoar yang memberikan pengetahuan ekonomi-politik; Tiongkok yang Kukenal

Buku ini menggali kaitan antara ideologi neoliberalisme dan gerakan sosial di Indonesia pasca Soeharto melalui perspektif “totalitas”. Penulis menghadirkan gambar utuh tentang operasi neoliberalisme – dari kebijakan efisiensi negara, institutionalisasi demokrasi liberal yang menguntungkan elite, peran aktor global, hingga penundukan gerakan masyarakat sipil. Pendekatan komparatif dengan pengalaman negara lain, memperkaya imajinasi dan pengetahuan pembaca, akan alternatif pembangunan di luar ideologi neoliberalisme. Buku yang sangat penting dibaca khalayak umum, akademisi, aktivis, dan rakyat kebanyakan.
—Amalinda Savirani, Guru Besar Ilmu Politik Pemerintahan Fisipol UGM