

Sastra yang Membela Korban, Bukan Kekuasaan
kami telah berseru dari balik dinding pingitan
dari dendam pemaduan
dari perdagangan di lorong malam
dari kesumat kawin paksaan:
kami manusia!
– ‘Wanita’, ditulis oleh Sugiarti Siswadi, pimpinan Lekra dan organisasi perempuan Gerwani1
‘Yang terburuk adalah ketika saya dibebaskan. Itu adalah penjara terbesar yang harus saya hadapi’.
Martin Aleida mengenang momen saat ia dibebaskan dari penjara pada akhir tahun 1966. Pada usia dua puluh dua tahun, Martin keluar dari balik jeruji besi dan pergi ke Jakarta, tapi tidak dapat menemukan kawan-kawan dan teman seperjuangannya. Tempat kerjanya, Harian Rakyat, surat kabar resmi Partai Komunis Indonesia (PKI), ditutup. Partai dan organisasi budayanya, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dilarang dan menjadi ilegal sejak saat itu.
Tricontinental: Institute for Social Research adalah sebuah lembaga internasional yang dipandu oleh gerakan dan organisasi rakyat. Tricontinental berusaha menjembatani produksi akademik dan gerakan sosial politik untuk mendorong pemikiran kritis dan membangkitkan perdebatan dan penelitian dengan perspektif emansipatoris yang melayani aspirasi rakyat.
Tulisan ini diterjemahkan oleh Kaisar Deem, sastrawan muda yang karya-karyanya dapat ditemui di berbagai media. Terbaru, buku kumpulan cerpennya berjudul Jose Kecil dalam Dirimu diterbitkan oleh Bara Books
Tricontinental: Institute for Social Research berbicara dengan Martin yang berusia tujuh puluh enam tahun, yang meskipun berasal dari Sumatera Utara, telah tinggal di Jakarta sejak awal 1960-an. Ia menjawab pertanyaan kami dari perpustakaan setempat yang sering ia kunjungi setiap Sabtu.
‘Banyak kejadian dan perasaan yang telah saya lalui selama lima puluh tahun terakhir yang tidak dapat saya ungkapkan,’ katanya, mengacu pada memoarnya yang baru-baru ini diterbitkan, Romantisme Tahun Kekerasan (‘Romance in The Years of Violence’). Martin, yang bahkan bukan nama sebenarnya mengatakan: ‘Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan militer di bawah Jenderal Suharto, untuk dapat menulis, saya harus menggunakan nama samaran –Martin Aleida– karena sebagai penulis, saya dilarang oleh pihak berwenang untuk menulis. Dituduh semena-mena dan tanpa bukti bahwa saya terlibat dalam percobaan kudeta yang gagal pada Gerakan 30 September 1965 [G30S] oleh militer, saya tidak dapat kembali ke bidang profesional saya sebagai penulis’. Hal yang sama berlaku bagi ribuan guru, pegawai negeri, bahkan para dalang pertunjukan yang dilarang kembali ke panggung mereka kecuali siap diselidiki berulang kali dengan kemungkinan ditahan, dan yang terburuk, disingkirkan. Kata ‘disingkirkan’ tidak digunakan secara longgar. Selama proses kudeta 1965 yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Suharto, lebih dari satu juta komunis dan simpatisan komunis dibunuh oleh pemerintah kudeta dan sekutunya.
Gerakan 30 September adalah kelompok sempalan militer yang melakukan aksi pagi buta pada tahun 1965, yang mengakibatkan penculikan dan pembunuhan enam pejabat senior militer. Meskipun rincian peristiwa hari itu masih belum jelas, yang pasti adalah bahwa sayap kanan dan tentara menyalahkan komunis karena memulai pemberontakan. Peristiwa ini menjadi dalih yang tepat untuk tindakan keras genosida terhadap PKI. Mayor Jenderal Suharto –yang lebih dikenal di markas CIA daripada di rumah-rumah kelas pekerja dan petani Indonesia pada saat itu –memimpin tentara keluar dari barak dan memulai pembantaian sistematis terhadap kaum kiri; kedutaan besar dari Australia dan Amerika Serikat memberikan daftar komunis yang kemudian ‘dihilangkan’. Duta Besar AS Marshall Green menulis bahwa Amerika Serikat ‘menegaskan’ kepada Angkatan Darat bahwa mereka ‘secara umum bersimpati dan mengagumi’ operasinya. Presiden Sukarno, yang digulingkan pada tahun 1965, telah menggeser haluan ke arah kiri sejak ia memimpin Indonesia keluar dari imperialisme Belanda pada tahun 1949. Pada tahun 1955, Sukarno menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, sebuah peristiwa penting dalam pembangunan Proyek Dunia Ketiga. Ia disingkirkan dalam kudeta tersebut.

Pada tahun 1968, analis CIA Helen-Louise Hunter menulis sebuah laporan berjudul 1965: The Coup That Backfired,2 di mana ia menulis bahwa ‘Dalam hal jumlah korban tewas, pembantaian anti-PKI di Indonesia termasuk salah satu pembunuhan massal di abad ke-20’. Di antara mereka yang tewas adalah Sekretaris Jenderal PKI D.N. Aidit; dua anggota Politbiro penting, M.H. Lukman dan Lukman Njoto; dan dua pemimpin Partai lainnya, Sudisman dan Ir Sakirman. Kelima pemimpin teratas PKI ini ‘dilenyapkan’ tanpa proses peradilan. Penting untuk dicatat bahwa Mayor Jenderal Suharto, yang akan mempromosikan dirinya menjadi jenderal dan mengambil gelar presiden, tetap tidak menyesali kekerasan dan kudeta tersebut hingga kematiannya pada tahun 2008. Kediktatoran Suharto, yang dikenal sebagai ‘Orde Baru’, tetap berkuasa selama tiga puluh dua tahun berikutnya hingga 1998, ketika gerakan demokrasi yang meluas menjatuhkannya. Tentakel kudeta anti-PKI masih ada di Indonesia, tempat Marxisme dan organisasi komunis dilarang.
Menghadapi salah satu pembantaian komunis paling berdarah dan paling dibungkam dalam sejarah, Martin memperdalam komitmennya terhadap sastra –yang, seperti katanya, ‘membela para korban, bukan kekuasaan’. Dengan nama pena Martin, ia menulis novel dan cerita pendek, fiksi dan non-fiksi, tentang penderitaan rakyat dan orang-orang yang hilang serta aspirasi yang dibungkam dari satu generasi. Ia menulis dalam Bahasa Indonesia, salah satu bahasa yang diadopsi sebagai bahasa pembebasan nasional pada tahun 1928 dan mapan karena kebutuhan lewat perjuangan anti-kolonial dan anti-feodal pada tahun 1930-an dan 1940-an.
Dalam salah satu cerita pendek Martin, tokoh utama Dewangga terbaring di ranjang kematiannya, menghidupkan kembali kenangan tentang seluruh pernikahannya dengan suaminya, Abdullah. Hanya di saat-saat terakhirnya, setelah seumur hidup dihabiskan bersama dalam kebungkaman, mereka akhirnya memiliki keberanian untuk mengungkapkan masa lalu mereka yang militan satu sama lain –Si suami sebagai aktivis yang dipenjara pada tahun 1965, dan dia sendiri sebagai organisator petani tak bertanah. Memoar Martin baru-baru ini, dia harap, dapat menghidupkan kembali kisah-kisah yang tidak biasa tentang Dewangga dan Abdullah bagi generasi muda tentang kehidupan sebelum tahun 1965, kehidupan setelahnya, dan kondisi yang menyebabkan luka yang masih terbuka ini dalam sejarah Indonesia.

Kami adalah Pewaris Kebudayaan Dunia
35 tahun jang lalu
Ia lahir
dengan kesakitan
kelas termadju
Sebagai anak zaman
jang akan melahirkan zaman
Ia tahan taufan
dan tak lena karena sepoi-sepoi
Ia menjusup di hati rakjat
lebih dalam dari laut Banda.
Ia menghias hidup
Lebih indah dari sunting tjempaka
Ia dihidupkan oleh hidup
tahan teror dan provokasi
dulu, sekarang, dan nanti
Ia Antaeus, anak Poseidon
Tak terkalahkan selama setia di bumi
Ia anak zaman jang akan melahirkan zaman
Kini ia sudah dewasa.
– Ia Sudah Dewasa, oleh D.N. Aidit.3
Ketika mereka mengatakan ‘timur itu merah’, itu karena memang timur itu merah. Pada tahun 1965, PKI memiliki tiga setengah juta kader dan dua puluh juta orang dalam organisasi massanya yang terdiri dari pemuda, perempuan, petani, dan pekerja. Mereka adalah partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah yang ada di Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Soviet. Front budaya PKI, Lekra, adalah salah satu organisasi massanya, dengan lebih dari 200.000 anggota, yang jumlahnya mencapai satu setengah juta dengan pendukungnya. Lekra kemungkinan besar adalah organisasi budaya terbesar yang tidak berafiliasi dengan negara yang pernah ada di mana pun. Sebagai mantan anggota Lekra, Martin mengenang, ‘Saya tertarik dengan sudut pandang organisasi bahwa sastra harus berpihak dan menegakkan keadilan bagi mayoritas yang tertindas –kaum buruh, petani, dan nelayan. Sastra, dan seni pada umumnya, ditakdirkan untuk membela yang tertindas’. Terlalu sedikit yang diketahui tentang organisasi bersejarah ini; hal ini bukan terjadi karena suatu kebetulan, melainkan melalui penghapusan dan penghancuran karya-karyanya serta pengasingan dan hilangnya para anggotanya.
Pada tanggal 17 Agustus 2020, Lekra akan merayakan tujuh puluh tahun berdirinya. Lekra merayakan hari jadinya yang sama dengan Indonesia sendiri, yang merenggut kebebasannya dari kaum imperialis pada hari ini di tahun 1945, yang juga dikenal sebagai Tujuhbelasan. Butuh waktu empat tahun lagi bagi Inggris, Belanda, dan Jepang untuk sepenuhnya dikalahkan dan Konferensi Meja Bundar 1949 diadakan di Den Haag. Pada konferensi ini, Belanda dengan berat hati setuju untuk meninggalkan Indonesia, tetapi mereka bersikeras pada banyak konsesi. Salah satunya adalah kesepakatan budaya yang melembagakan hubungan pro-Belanda yang ‘khusus’ di bidang pemikiran dan budaya. Bagi para seniman revolusioner, Revolusi Agustus belum lengkap, dan mereka menetapkan diri untuk membangun budaya nasional yang anti-imperialis dan independen untuk mengantar revolusi sosialis. Mereka lalu menerbitkan ‘Surat Kepercayaan Gelanggang’, sebuah manifesto budaya untuk negara bangsa yang masih berusia beberapa bulan:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan… Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami… Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan… Penghargaan kami terhadap keadaan sekeliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.4
Menuntaskan Revolusi Agustus akan menjadi tugas yang besar. Selama periode awal 1950-an ini, gerakan komunis masih lemah secara organisasi, menderita kekalahan dari tindakan keras anti komunis terhadap Pemberontakan Madiun (1948) dan Razia Sukiman (1951), yang mengakibatkan puluhan ribu kader dan pendukung PKI dipenjara dan dibunuh. Ketika D.N. Aidit terpilih sebagai sekretaris jenderal pada tahun 1951, keanggotaan PKI berada pada titik terendah hanya 8.000 anggota. Di bawah kepemimpinannya, Partai tumbuh secara eksponensial menjadi lebih dari satu juta orang selama empat tahun berikutnya, dan menjadi tiga setengah juta pada saat kehancurannya dalam kudeta 1965. Gerakan komunis mampu tumbuh pada tingkat yang mencengangkan dengan mengembangkan front massa dan aliansi politik yang luas. Mengadopsi strategi Front Persatuan Nasional memungkinkan Partai untuk membangun program bersama dengan sektor-sektor masyarakat progresif yang disatukan oleh politik anti-imperialis. Inti dari proses ini adalah hubungan dengan segmen kiri Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berkuasa di bawah kepemimpinan Sukarno. Meskipun merupakan produk revolusi borjuis, selama periode ini, Sukarno semakin mengadopsi sikap yang lebih pro-rakyat (atau pro-‘people’) dan anti-imperialis yang lebih tajam. Seiring dengan berkembangnya PKI dan front massanya, gerakan komunis akan menjadi pilar penting dari PNI yang berkuasa.

Selama tahun-tahun inilah banyak organisasi budaya revolusioner berkembang, di antaranya Lekra, yang bukan hanya yang terbesar tetapi juga yang paling berhaluan kiri. Banyak anggota seniornya adalah kader PKI, termasuk dua anggota pendiri Lekra: Njoto, editor Harian Rakyat dan anggota politbiro PKI dan D.N. Aidit sendiri. Akan tetapi, Lekra bukanlah organisasi resmi PKI, dan arahan politiknya juga tidak datang langsung dari Partai. Dalam satu contoh, jurnalis senior Amarzan Ismail Hamid sedang menyunting kumpulan puisi pilihan Harian Rakyat ketika puisi D. N. Aidit diberikan kepadanya. ‘Tidak cukup bagus’, kata Hamid kepada Njoto, yang dijawabnya, ‘baiklah’.
Tujuan Lekra adalah untuk berkontribusi dalam membangun gerakan komunis yang kuat di luar Partai. Lekra adalah garda depan kerja budaya komunis. Sementara itu, para pekerja diorganisasikan dalam Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), perempuan dalam Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), petani dalam Barisan Tani Indonesia (BTI), dan pemuda dalam Pemuda Rakyat. Front massa ini –yang semuanya legal dan memiliki hubungan terbuka dengan PKI – membentuk gerakan komunis yang mempelopori perjuangan nasional anti-imperialis. Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit dan Njoto, pekerjaan membangun kembali Partai dan gerakan komunis mengharuskan pendekatan sistematis terhadap budaya, yang menggabungkan kesadaran kelas, anti-imperialisme, dan nasionalisme budaya. Di pusat proyek ini adalah rakyat, untuk siapa dan oleh siapa budaya dibuat. Sebagaimana dirangkum dalam pernyataan keyakinan Lekra tahun 1955, Mukadimah (‘Pendahuluan’), ‘rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan’.
Pada kongres nasional pertama Lekra tahun 1959, Sekretaris Jenderal Joebaar Ajoeb menuturkan bahwa ‘Lekra didirikan tahun 1950 karena kesadaran akan hakikat Revolusi Agustus 1945 dan hubungan antara Revolusi dan kebudayaan, kesadaran bahwa Revolusi sangat penting bagi kebudayaan, dan, pada saat yang sama, kebudayaan sangat penting bagi Revolusi Agustus’.5 Salah satu tugas pertama adalah ‘menghidupkan kembali’ seni rakyat dari penindasan ganda feodalisme dalam negeri dan imperialisme asing. Kebangkitan bukanlah ‘dalam arti negatif sekadar mencegah seni rakyat punah’, Ajoeb menjelaskan, ‘melainkan menghidupkannya kembali dalam arti positif, terutama dengan memberinya konten baru yang sesuai dengan karakter dan tujuan Revolusi Agustus’.6
Tugas-tugas budaya itu berat dan banyak; mulai dari mensistematisasikan musik populer dan tradisional hingga mengidentifikasi aspek-aspek dekaden, feodal, atau non-revolusioner yang tersisa, mulai dari mengembangkan program pendidikan politik budaya hingga mendorong produksi kreatif baru, mulai dari menemukan kembali ‘musik rakyat’ dan instrumen hingga menyelenggarakan pertukaran budaya internasional. Selama lima belas tahun keberadaannya, Lekra tidak hanya memobilisasi jutaan orang, tetapi juga mengembangkan praktik-praktik budaya yang berakar pada kondisi konkret dan material rakyat. Dari pengorganisasian mereka, bentuk-bentuk ekspresif baru dan teori-teori artistik baru muncul –mereka, pada hakikatnya, menulis sejarah seni dalam tradisi Marxis.

Membangun Budaya yang Semarak
Lekra bekerja di banyak daerah dan cakupan, melalui strukturnya sendiri, organisasi afiliasi, dan front budaya regional. Studi komprehensif Stephen Miller tentang Lekra dan lembar Kebudayaan, suplemen budaya untuk surat kabar Harian Rakyat, mengungkapkan petunjuk tentang bagaimana Lekra mengorganisir dirinya sendiri.7 Sekretariat nasional adalah badan terpusat, dengan divisi-divisi berdasarkan sektor seni. Selama kongres nasional pertama, Lekra secara resmi dibagi menjadi tujuh lembaga untuk sastra, seni rupa, film, teater, musik, tari, dan sains.
Di bawah tingkat nasional terdapat organisasi-organisasi regional, dan di bawahnya terdapat cabang-cabang lokal. Dua puluh satu cabang dibentuk pada tahun pertama keberadaannya, sebagian besar berlokasi di Jawa dan juga diorganisasikan di Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Kalimantan. Cabang-cabang yang menonjol berpusat di ibu kota nasional Jakarta dan basis PKI di Yogyakarta, di samping Medan di Sumatera, yang tumbuh dari ekonomi perkebunan yang luas dan perebutan tanah di daerah tersebut. Setiap cabang memiliki karakternya sendiri, mengusung budaya dan tradisi masing-masing daerah. Selama dekade pertamanya, Lekra tumbuh menjadi 200 cabang lokal, mencapai keanggotaan 100.000 pada tahun 1963, hanya dua tahun sebelum organisasi tersebut dihancurkan dalam kudeta brutal. Sejak saat itu, organisasi tersebut ilegal. Lekra tidak akan hidup untuk melihat kongres nasional keduanya, yang direncanakan akan berlangsung pada bulan Desember tahun berdarah itu.

Selain mengembangkan keanggotaannya sendiri, salah satu keberhasilan Lekra pada tahun 1950-an – dan mengapa ia menjadi berbahaya bagi ambisi imperialis dan kapitalis –adalah terlibat dalam ‘ekologi budaya’ yang lebih luas di dalam dan sekitar gerakan komunis, seperti yang dijelaskan oleh Miller. Front budaya di seluruh kota diciptakan di berbagai daerah sebagai bagian dari Front Persatuan Nasional dengan Masyarakat Seniman Djakarta Raya (MSDR) menjadi yang paling signifikan. Bekerja sama dengan pemerintah Jakarta, ibu kota negara, salah satu proyek utama mereka adalah menyelenggarakan hiburan populer yang akan mendorong perkembangan masyarakat Indonesia yang ‘sehat’, baik bagi kaum muda maupun orang tua. Front budaya tersebut secara mendalam mempelajari bentuk-bentuk seni rakyat yang masih hidup dan sisa-sisa budaya kolonial Belanda serta konten imperialis AS yang masih menyebar yang dikandungnya. Mereka juga mempelajari potensi revolusioner dari budaya populer yang ada seperti pertunjukan jalanan tanjidor (atau ‘riuh’) dalam perjuangan pembebasan nasional. Memimpin proses budaya dengan bantuan pemerintah Jakarta berhasil mengangkat Lekra dari kelompok marginal menjadi kekuatan nasional yang kuat pada pertengahan tahun 1950-an.

Realisme Sosialis adalah Pemberi Harapan dan Petunjuk
jangan katakan malam itu sekeras granit
karena di sini di Tiongkok tidak ada satu batu pun yang tidak diolah manusia
di sini alam itu seperti marmer
semuanya diukir dan dipoles oleh tangan manusia yang bekerja
manusia membangun budaya
– Puisi Rivai Apin, Peking8
Ketika gerakan komunis mulai menemukan pijakannya –dan dengan cepat mulai berjalan dengan kecepatan yang mengagumkan –gerakan ini juga mencari bentuk-bentuk yang tepat untuk mengekspresikan aspirasi bangsa yang masih muda. Tidaklah tepat untuk mencoba memasukkan pengalaman Indonesia ke dalam cetakan Uni Soviet atau Tiongkok. ‘Realisme sosialis’ adalah gaya estetika resmi Uni Soviet tahun 1930-an dan sebagian besar gerakan komunis internasional. Namun, realisme sosialis gaya Soviet tahun 1930-an tidak dapat diterjemahkan dengan baik ke dalam semua tradisi estetika kiri, dan para anggota Lekra menggali jauh ke dalam budaya Indonesia untuk menciptakan cita rasa mereka sendiri.
Penafsiran Lekra terhadap ideologi estetikanya beragam, seperti yang disoroti oleh sarjana sastra Michael Bodden dalam studinya tentang produksi teater organisasi tersebut.9 Sementara pedoman lima kombinasi Lekra untuk pekerja budaya menekankan kesatuan ‘realisme sosialis dan ‘romantisme revolusioner’, masih ada perdebatan tentang apakah realisme sosialis pernah diadopsi secara resmi oleh organisasi tersebut. Pada Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner tahun 1964, D.N. Aidit berpendapat bahwa realisme sosialis tidak tepat untuk momen sejarah Indonesia karena belum mengalami proses revolusioner sosialis, dan lebih memilih istilah ‘realisme revolusioner’. Sementara itu, salah seorang novelis besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer –yang dianiaya karena menjadi seorang komunis dan dipenjara selama tiga belas tahun di Pulau Buru – kadang-kadang merujuk pada ‘romantisme patriotik’, yang menggabungkan kenyataan sehari-hari dengan aspek perjuangan yang paling heroik untuk membangun sosialisme.
Baik teori maupun ekspresi artistik realisme sosialis sedang dalam proses pembentukan. Gerakan komunis tetap terbuka terhadap berbagai macam gaya dan bentuk; gerakan ini pro-rakyat dan mengusung semangat Revolusi Agustus 1945. Seni abstrak tidak pernah dilarang, dan Lekra menganjurkan keberagaman gaya, seperti yang dinyatakan dalam Mukaddimah (‘Pendahuluan’) Lekra tahun 1959: ‘Lekra mendorong inisiatif kreatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap jenis bentuk dan gaya, selama itu setia pada kebenaran dan selama itu berusaha untuk menciptakan keindahan artistik tertinggi’.10

Negosiasi dinamis antara teori dan praktik ini meluas ke berbagai bidang seni. Di bidang sastra, misalnya, Joebaar Ajoeb mendefinisikan realisme sosialis melalui analisis karya penulis Soviet Maxim Gorky sebagai tidak hanya ‘realistis’, tetapi juga ‘memberi harapan dan arah’. ‘Sastra akan menjadi lebih penting dan berguna jika tidak hanya mengkritik realitas’, kata Ajoeb, ‘tetapi juga menunjukkan jalan keluar’.11 Pemberian harapan dan arah ini – alih-alih gaya preskriptif –adalah bagaimana seniman sosialis menjadi agen dalam perjuangan revolusioner.
Ideologi estetika Lekra menemukan praksisnya dalam malam-malam budaya, tempat para seniman, militan, dan orang-orang biasa berkumpul. Dipimpin oleh Lekra dan sering kali diselenggarakan oleh para pemimpin perempuannya, malam-malam budaya ini diselenggarakan untuk acara-acara resmi gerakan, peringatan momen-momen penting, dan perayaan internasionalis. Dengan campuran musik, tari, dan teater, malam-malam budaya ini menjadi tempat untuk bersama-sama mempraktikkan, menguji, mengevaluasi, dan mengembangkan teori-teori abstrak menjadi wujud konkret. Di bidang tari, seperti yang dicatat Miller, gerakan komunis membuat terobosan dalam memasukkan konten politik ke dalam tradisi rakyat yang ada. Dengan nama-nama seperti ‘Tarian Pemuda Sadar’, ‘Tarian Revolusi’, dan ‘Tarian Petani’, karya dan pertunjukan ini merupakan produk perdebatan dan inovasi. Beberapa perkembangan yang kaya ini didokumentasikan dan disistematisasi di halaman-halaman Kebudayaan: apa pentingnya ‘menanamkan politik progresif baru Indonesia ke dalam tari’? Apa ‘aksesibilitas tari’ agar pekerja dan petani dapat berpartisipasi? Apa hubungan antara ‘bentuk dan isi dengan kehidupan rakyat biasa’.12
Dipentaskan di arena publik, malam-malam budaya ini merupakan bagian dari tujuan ‘meluas dan mendalam’ –memperluas basis sambil meningkatkan standar artistik. Pertanyaan rumit yang dihadapi berpusat pada sejauh mana seni tradisional dapat – dan harus – dibawa maju, dimodifikasi, atau dibuang. Keberhasilan acara-acara ini adalah bahwa mereka dapat berbicara tentang kebutuhan masyarakat – malam budaya rapat umum pemilihan PKI 1955 di Surakarta berhasil menarik satu juta orang. Rakyat biasa yang berjumlah jutaan secara aktif berpartisipasi dalam budaya, baik dalam mengekspresikan aspirasi kolektif mereka maupun terlibat dalam proses penciptaan.

Menangkap Detak Jantung Orang-Orang Bawah
Salah satu prinsip utama Lekra adalah Turun ke Bawah atau turba, yang dikonkretkan dalam kongres nasional pertama sebagai teori untuk memandu kerja seniman-militan. Martin menjelaskan, “Secara harfiah, ini berarti turun ke akar rumput –bekerja, makan, hidup dengan buruh, petani tak bertanah, dan nelayan.”13 Dengan “tiga bersama” –melakukan pekerjaan yang sama, makan makanan yang sama, tidur di tempat yang sama –metodologi ini “adalah cara untuk meningkatkan imajinasi dan inspirasi Anda, untuk mempertajam perasaan Anda tentang betapa kerasnya kehidupan rakyat”, kata Martin.
Hersri Setiawan adalah anggota Lekra dan perwakilan Indonesia di Afro-Asian Writers’ Bureau pada tahun 1960-an. Ia juga dipenjara di Pulau Buru selama bertahun-tahun karena karyanya di Lekra. Dalam film dokumenter Lasja F. Susatyo dan M. Abduh Aziz, Tjidurian 19 (2009) –yang dinamai berdasarkan alamat jalan sekretariat Jakarta yang digerebek selama penindakan tersebut – Hersri ingat menghabiskan waktu berhari-hari mencangkul dan menyiangi rumput serta malam-malam mendiskusikan cerita rakyat sambil menenun dengan para petani. Baginya, tujuan seorang seniman adalah untuk ‘menangkap detak jantung mereka yang berada di bawah’.14
Dalam kajian Keith Foulcher tentang sastra dan seni drama Lekra, Kusni Sulang (menggunakan nama pena Helmi) mengenang tanpa romantisme pengalamannya tentang turba sebagai ‘sensasi fisik langsung dari belajar hidup rendah hati dalam kondisi yang tidak nyaman dan bahkan tidak mengenakkan bagi intelektual urban, serta lamanya waktu yang dibutuhkannya untuk belajar berbicara bukan dalam terminologi pelatihannya, tetapi dalam bahasa masyarakat yang hidup’. Foulcher menambahkan, ‘politik budaya Lekra sedang diuji, dipertanyakan, dan diperkuat dalam proses perjuangan revolusioner’.15

Drama ‘realis revolusioner’ dikembangkan sesuai dengan kebutuhan konjungtural saat itu, sering kali mengambil tema-tema seperti kampanye reformasi tanah PKI di pedesaan yang dipimpin oleh front petani BTI. Drama Api di pematang, 1964 oleh Kusni Sulang disusun setelah kerja turba intensifnya. Setelah menerima umpan balik dan kritik dari para pemimpin partai regional hingga tingkat lokal, para aktor petani diidentifikasi dan dua latihan diadakan, termasuk satu dengan 600 petani di antara para penonton. Melalui proses yang rumit ini, keprihatinan para petani diangkat menjadi produksi kreatif dan dibawa kembali ke para petani untuk dimainkan dan dievaluasi. Proses ini ditentukan oleh negosiasi yang berkelanjutan antara visi Partai dan realitas kehidupan petani. Kontribusi pemikiran Marxis dalam praktik dan prinsip artistik Lekra jelas. ‘Seni adalah alat ilmiah untuk memahami realitas objektif pembagian kelas dalam masyarakat’, tulis sarjana Indonesia Brigitta Isabella; ‘seni dapat menangkap emosi masyarakat dan menghasilkan semangat revolusioner yang dibutuhkan untuk mencapai masa depan sosialis’.16
Martin berbicara tentang Amrus Natalsya, seorang pematung terkemuka Lekra yang karyanya dikagumi oleh Presiden Sukarno dan dipamerkan di pameran seni Konferensi Bandung. Amrus tinggal di antara para petani Jawa Tengah dan menciptakan salah satu patung kayunya yang paling terkenal setelah sengketa tanah yang mengakibatkan kematian sebelas petani tak bertanah. Karya tersebut merupakan catatan sebuah peristiwa, analisis perjuangan kelas, dan perwujudan prinsip Lekra kreativitas individual dan kearifan massa. Amrus yang berusia delapan puluh enam tahun mengadakan pameran tunggal terakhirnya di Jakarta pada bulan Juli 2019. Dalam sebuah pertemuan yang tidak disengaja, Tricontinental: Institut for Social Research bertemu dengan Amrus dan mengucapkan terima kasih kepadanya atas karyanya pada hari penutupan pameran, yang diberi judul yang tepat Terakhir, selamat tinggal dan terima kasih.

Namun Rohnya tetap Hidup, jika Ia Benar
Mondar mandir perahu ladju
Mondar mandir ke Surabaja
Menang di Kuba karena bersatu
Amerika Latin dan Asia Afrika
– Sebuah pantun, (‘pengarang tak diketahui’) bentuk oral dari puisi yang berhasil didokumentasikan Harian Rakyat.17
Membangun proyek budaya nasional di Indonesia selalu terkait erat dengan visi internasionalis. Pertukaran budaya dengan negara-negara sosialis dimulai pada hari-hari awal Lekra, ketika sebuah delegasi yang secara resmi mewakili PKI menghadiri Festival Pemuda Internasional di Republik Demokratik Jerman. Ketika Proyek Dunia Ketiga lahir di Bandung pada Konferensi Asia-Afrika 1955 dengan Sukarno sebagai salah satu pendukungnya, demikian pula semangat budaya internasionalis. Tanpa mediasi kekuatan kolonial, para pemimpin dari dua puluh sembilan negara Afrika dan Asia yang baru merdeka atau yang akan segera merdeka berkumpul, mewakili setengah dari populasi dunia.18 Menandai momen bersejarah ini adalah pameran kelompok internasional pertama seniman Indonesia, termasuk lukisan kontemporer dan tradisional. Keragaman gaya ini menandai pluralisme non-blok, dengan budaya anti-imperialis sebagai benang merahnya. Dalam pidato pembukaannya di konferensi bersejarah itu, Sukarno berbicara tentang ‘garis hidup imperialisme’ yang terus-menerus, yang membentuk dasar persatuan Afro-Asia. ‘Tak ada bangsa yang dapat merasa bebas, selama sebagian tanah airnya belum bebas. Seperti halnya perdamaian, kebebasan tidak dapat dibagi-bagi’, tegas Sukarno. ‘Tak ada yang namanya setengah bebas, sebagaimana tak ada yang namanya setengah hidup’.19
Internasionalisme dilembagakan setelah Konferensi Bandung, dengan pembentukan Asosiasi Penulis Afro-Asia dan konferensi Asosiasi yang berlangsung di Tashkent (1958), Kairo (1962), Beirut (1967), New Delhi (1970), Alma Ata (1973), Luanda (1979), Tashkent (1983), dan Tunis (1988), seperti yang dieksplorasi Isabella Brigitta dalam karyanya tentang diplomasi budaya Indonesia pada era itu.20 Persahabatan diplomatik dengan Indonesia didirikan dari Tiongkok hingga Cekoslowakia. Pertukaran studi dan pameran diselenggarakan dengan negara-negara sosialis dan non-sosialis. Seperti yang dikatakan Foucher, ‘Perjuangan itu bukan hanya untuk mengendalikan seni, tetapi juga untuk hakikat negara Indonesia dan hubungannya dengan dunia luar’.
Tidak ada budaya nasional yang dapat dikembangkan secara terisolasi, dan keingintahuan Lekra dan gerakan komunis terhadap budaya dunia tampak jelas. Dalam pengantar Puisi Indonesia Progresif Kontemporer (1962), pemimpin PKI dan Gerwani Bitang Suradi menulis bahwa ‘penyair Indonesia progresif adalah warga negara yang hidup secara sadar, mendedikasikan kemampuan dan bakat kreatif mereka untuk membangun kehidupan yang bahagia, tidak hanya untuk rakyatnya sendiri, tetapi untuk semua orang di dunia, untuk membangun dunia yang lebih baik yang telah dinyanyikan dan diimpikan oleh penyair terbaik dunia sepanjang masa’.21 Di halaman kumpulan puisi tersebut terdapat puisi yang didedikasikan untuk revolusioner Kongo Patrice Lumumba dan ‘Paman’ Vietnam Ho Chi Minh, penghormatan kepada orang-orang Kuba dan Arab, dan penghormatan kepada Mário de Andrade dari Brasil untuk negara-negara Afro-Asia di Konferensi Bandung. Puisi-puisi ini mencari inspirasi ke luar dan mewujudkan warisan internasionalis dari ‘semangat Bandung’.
Pada tahun-tahun sebelum Sukarno digulingkan, ia semakin dekat dengan sayap kiri Gerakan Non-Blok, salah satu platform internasional yang benihnya ditanam di Konferensi Bandung yang melibatkan Kuba dan Indonesia. Pada tahun 1959, Sukarno menyerukan para seniman untuk berdiri di barisan garis depan anti-kolonial dan anti-imperialis. Ia tahu bahwa mengembangkan budaya nasional yang kuat haruslah anti-imperialis. ‘Kita harus lebih waspada, lebih ulet, dan lebih gigih dalam menentang budaya imperialis, terutama budaya imperialis AS, yang pada kenyataannya terus mengancam kita dalam segala bentuk dan cara.’ Ini juga merupakan tahun Revolusi Kuba. Baik Indonesia maupun Kuba bersatu melawan imperialisme dan bersama-sama menyelenggarakan Tricontinental Conference (Konferensi Tiga Benua) yang akan berlangsung di Havana pada tahun 1966 –konferensi yang kami hormati dan darinya nama ini berasal, Tricontinental: Institut for Sosial Research. Baik PKI, Lekra, maupun presiden Sukarno tidak sempat menyaksikan konferensi itu.
Namun sejarah mempersenjatai kita. ‘Bagi generasi muda, sangat penting untuk menyampaikan kepada mereka sejarah dan masa lalu negara ini’, tegas Martin. Selama International People’s Tribunal (Pengadilan Rakyat Internasional) 2015 tentang peristiwa 1965, Martin bersaksi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang disaksikannya. Ketika ditanya tentang afiliasinya dengan PKI – sebuah Partai yang masih ilegal –ia menjawab, dengan risiko besar bagi dirinya sendiri, bahwa ia tidak pernah menyesal bergabung dengan Partai tersebut ketika ia berusia dua puluh tahun. ‘Saya manusia; saya bangga bahwa saya memiliki cita-cita, bahkan jika semua orang mengutuk apa yang saya cita-citakan’.22
Pada tahun 1966, Asosiasi Penulis Afro-Asia menyelenggarakan Imperialist Caricature Exhibition (Pameran Karikatur Anti-Imperialis) di Beijing, yang memamerkan 180 karya dari 24 negara di benua Asia dan Afrika. Mengikuti jejaknya, Tricontinental: Institut for Sosial Research dan International Week of Anti-Imperialis Struggle (Pekan Perjuangan Anti-Imperialis Internasional) telah menyelenggarakan seri empat bagian, Pameran Poster Anti-Imperialis, sebagai bagian dari platform internasional yang terdiri dari ratusan gerakan sosial dan organisasi rakyat. Tidak seperti masa Sukarno, perjuangan melawan imperialisme terus menjadi benang merah kami. Lebih dari 145 seniman dari 35 negara telah menyumbangkan karya untuk tiga pameran pertama kami: Kapitalisme, Neoliberalisme, dan Imperialisme. Pameran keempat dan terakhir, Hybrid War, akan menutup tahun 2020.
‘Organisasi formal dapat menghilang; Organisasi partai dapat dihapuskan’, penyair Lekra Putu Oka Sukanta mengingatkan kita, ‘tetapi rohnya tetap hidup, jika ia benar’. Dalam semangat Lekra, setelah tujuh puluh tahun berdirinya pada 17 Agustus 1950, pameran-pameran ini merupakan bagian dari proyek kami yang lebih luas untuk mengajak para seniman dan pejuang masa kini untuk memadukan kreativitas individu dengan kebijaksanaan massa, yang dari perjuangan mereka untuk pembebasan, kami mencari harapan dan petunjuk.

Pedro Sartorio, Bendik Vestre, Emily Davidson, Ahmad Mofeed, Choo Chon Kai, Greta Acosta Reyes, Ghalmi Othmane, Edson João Gomes Garcia, Fabiola Sánchez Quiroz, Robert Streader, Madhuri Shukla, Rebel Politik, Ramchandran Viswanathan, Hiroto Morais, Lis & Paul Meyer dan Judy Ann Seidman.


Catatan
- Suradi, Bitang, Ed. Contemporary Progressive Indonesian Poets, League of People’s Culture, 1962.
- CIA, Research Study: Indonesia—1965: The Coup That Backfired, https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/esau-40.pdf
- Suradi, Bitang, Ed. Contemporary Progressive Indonesian Poets, League of People’s Culture, 1962.
- Mohamad, Goenawan. (2006). “Melupakan: Puisi dan Bangsa: Sebuah Motif dalam Modernisme Sastra Indonesia Setelah Tahun 1945”.
- Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. ‘LEKRA and Ensembles Tracing the Indonesian Musical Stage’ dalam Heirs to World Culture. Brill, 2012: 421-452.
- Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. ‘LEKRA and Ensembles Tracing the Indonesian Musical Stage’ dalam Heirs to World Culture. Brill, 2012: 421-452.
- Miller, Stephen. The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s, UNSW Canberra, 2015.
- Ditulis setelah kunjungan ke Tiongkok menyusul pertemuan Biro Penulis Afro-Asia di Tokyo pada tahun 1961. Apin merupakan bagian dari delegasi Indonesia ke Konferensi Penulis Afro-Asia di Tashkent (1959) dan Kairo (1962). Ditemukan di Suradi, Bitang, Ed. Contemporary Progressive Indonesian Poets, League of People’s Culture, 1962.
- Bodden, Michael. ‘Dynamics and tensions of LEKRA’s modern national theatre’, 1959-1965 dalam Heirs to World Culture. Brill, 2012: 453-484.
- Kutipan terjemahan dalam Brigitta, Isabella. ‘The Politics of Friendship: Modern Art in Indonesia’s Cultural Diplomacy, 1950-1965’, dalam Ambitious Alignments: New Histories of Southeast Asian Art, 1945-1990. Power Publications, 2018: 83-106.
- Miller, Stephen. The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s, UNSW Canberra, 2015.
- Miller, Stephen. The Communist Imagination: A Study of the Cultural Pages of Harian Rakjat in the Early 1950s, UNSW Canberra, 2015
- Terjemahan bahasa Inggris yang berbeda dari turun ke bawah: ‘descend from above’ dalam terjemahan oleh Antariksa, Sari D., Sol Aréchiga, Edwina Brennan untuk School of Improper Education, KUNCI Cultural Studies Center, 2018, ‘going down to the masses’ oleh Michael Bodden.
- Susatyo, Lasja F. And M. Abduh Aziz, Tjidurian 19 (41 min.), 2009.
- Foulcher, Keith. ‘Politics and Literature in Independent Indonesia: The View from the Left’ in Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 15, No. 1: 83-103.
- Brigitta, Isabella. ‘The Politics of Friendship: Modern Art in Indonesia’s Cultural Diplomacy, 1950-1965’, dalam Ambitious Alignments: New Histories of Southeast Asian Art, 1945-1990. Power Publications, 2018: 83-106.
- Suradi, Bitang, Ed. Contemporary Progressive Indonesian Poets, League of People’s Culture, 1962.
- Prashad, Vijay. The Darker Nations: A People’s History of the Third World, LeftWord Books, 2008.
- Pidato pembukaan Presiden Sukarno pada Konferensi Bandung pada tanggal 18 April 1955.
- Brigitta, Isabella. ‘The Politics of Friendship: Modern Art in Indonesia’s Cultural Diplomacy, 1950-1965’, dalam Ambitious Alignments: New Histories of Southeast Asian Art, 1945-1990. Power Publications, 2018: 83-106.
- Suradi, Bitang, Ed. Contemporary Progressive Indonesian Poets, League of People’s Culture, 1962.
- Kesaksian Martin Aleida di Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag pada 11 November 2015: https://genosidapolitik65.blogspot.com/2017/11/ipt-1965-kesaksian-martin-aleida-saya.html