Oleh Tunç Türel*

Pada 8 Oktober 2023, mesin perang Israel, yang dilengkapi senjata dan didanai oleh Washington, melancarkan genosida pertama dalam sejarah yang disiarkan secara langsung dan dilihat dunia. Saat kita memasuki Oktober 2025, tahun kedua genosida terang-terangan ini, permukiman di Gaza terus dihancurkan, rumah sakit dibom, dan anak-anak dibunuh dan kelaparan diciptakan oleh tangan manusia. Semua ini terungkap di hadapan publik internasional, namun tentara Israel terus melakukan pembantaian tanpa henti. Setiap kejahatan para pembunuh terekam dalam video; setiap kejahatan keji didokumentasikan; organisasi hak asasi manusia (HAM) dan pakar genosida telah menegaskan bahwa tindakan ini harus disebut dengan nama yang sebenarnya: genosida. Namun, para pelaku terus bertindak dengan kebal hukum.
Penulis Tunç Türel adalah seorang Sejarawan Kuno dan anggota Partai Buruh Turki. Ia menulis untuk berbagai webzine Marxis dan seni serta budaya terkemuka di Turki, termasuk Ayrım dan Corpus. Saat ini, ia sedang menulis sebuah buku yang menggeser sudut pandang sejarah Romawi Kuno dari narasi tradisional para kaisar dan penguasa, dan berfokus pada kehidupan, perjuangan, serta pengalaman rakyat, kaum tertindas, dan kaum yang diperintah.
Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah hal ini cukup bisa dijelaskan lewat dukungan yang diterima Israel, yang pertama dari Amerika Serikat, dan kedua dari kekuatan Eropa? Itu mungkin hanya menjelaskan sebagian. Analisis semacam itu akan menjadi hasil dari melihat gambaran dari sudut pandang tunggal. Sementara kita harus bertanya siapa yang secara terbuka atau diam-diam mendukung Israel, kita juga harus bertanya siapa yang menolak mendukung Palestina, siapa yang meninggalkannya untuk berdiri sendiri. Dan di sini patut diingat bahwa hari ini Palestina menghadapi poros imperialis AS-Israel tanpa penyeimbang yang pernah ada, Uni Soviet.
Hingga pembubaran Uni Soviet pada 1991, yang mana pembubaran tersebut diumumkan tanpa persetujuan resmi oleh rakyat, Uni Soviet, dengan segala kontradiksi dan keraguannya, memberikan dukungan diplomatik, pelatihan militer, senjata, dan terutama legitimasi politik bagi Palestina sebagai gerakan pembebasan nasional. Singkatnya, Uni Soviet bertindak sesuai dengan semangat internasionalisme kelas pekerja. Keruntuhan Uni Soviet bukan hanya kehilangan satu sekutu bagi perjuangan pembebasan Palestina. Itu adalah keruntuhan seluruh aliansi global yang telah menahan agresi Israel, menggerakkan blok sosialis dan Gerakan Non-Blok, serta menghentikan veto imperialis di PBB.
Kemunculan dan Perkembangan Hubungan Soviet–PLO
Ketika Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization—PLO) didirikan pada tahun 1964, Moskow awalnya menjaga jarak dari gerakan tersebut. Pada saat itu, kepemimpinan Soviet masih memandang persoalan Palestina sebagai masalah pengungsi (refugee). Soviet di mula-mula hanya berbicara tentang “hak-hak sah rakyat Palestina,” tetapi menghindari pengakuan Palestina sebagai bangsa yang berdaulat.1 Sementara itu, peristiwa Nakba 1948 dilihat sebagai provokasi yang dirancang oleh Inggris dan Amerika Serikat, dan pengungsian Palestina dianggap sebagai masalah kemanusiaan, bukan bagian dari perjuangan anti-imperialis global.2
Oleh karena itu, upaya pertama Pemimpin PLO Ahmad Shukeiri untuk mendekat ke Moskow ditolak, yang kemudian membuatnya untuk beralih mencari dukungan ke Tiongkok. Mao Zedong memandang perjuangan Palestina sebagai pukulan yang dapat dilancarkan terhadap imperialisme di Timur Tengah, dan oleh karena itu ia tidak ragu untuk menyediakan senjata kepada gerilyawan Palestina.3 Pada saat itu, hubungan Soviet terbatas pada serikat mahasiswa, pekerja, dan perempuan Palestina, yang secara teknis merupakan bagian dari PLO tetapi diperlakukan sebagai entitas terpisah.4
Titik balik dalam hubungan Soviet-Palestina terjadi dengan Perang Enam Hari (Six-Day War) 1967 dan kunjungan rahasia Yasser Arafat ke Moskow pada Juli 1968. Pada akhir 1969, Alexander Shelepin secara terbuka menyatakan perjuangan Palestina sebagai “perang pembebasan nasional anti-imperialis yang adil.” 5 Ini adalah pertama kalinya Moskow mengakui Palestina bukan hanya sebagai “pengungsi” tetapi sebagai bangsa yang berhak atas haknya sendiri. Pada 1970, delegasi lain yang dipimpin Arafat berkunjung ke Moskow, namun hubungan tersebut belum memiliki karakter resmi. Undangan tersebut datang dari Komite Solidaritas Afro-Asia Soviet, bukan dari CPSU (Partai Komunis Uni Soviet) atau pemerintah Soviet sendiri.6 Kesepakatan-kesepakatan tentang penyediaan senjata dibuat, namun pengiriman tersebut umumnya dilakukan secara tidak langsung, melalui Suriah.7
Pada tahun 1974, kebijakan Soviet terhadap Palestina telah mencapai tahap paling radikal: Uni Soviet memberikan pengakuan resmi terhadap negara Palestina, mengizinkan pembukaan kantor resmi PLO di Moskow, dan menyatakan PLO sebagai “wakil sah tunggal rakyat Palestina.”8
Dengan cara ini, Uni Soviet memberikan dukungan kepada Palestina di tiga front yang menentukan. Pertama adalah perisai diplomatik: veto Uni Soviet di PBB dan solidaritas blok negara-negara komunis membantu melegitimasi PLO secara internasional. Kedua adalah bantuan material: pendidikan, senjata, dan dukungan logistik mengalir melalui saluran Uni Soviet dan sekutunya, memperkuat kapasitas militer Palestina. Dan ketiga adalah kerangka ideologis: Palestina kini didefinisikan sebagai bagian dari front anti-imperialis global, yang membentang dari Vietnam hingga Angola.9

Zionisme sebagai Bentuk Rasisme dan Diskriminasi Rasial
Langkah-langkah radikal yang diambil oleh Uni Soviet pada tahun 1974 dalam mendukung Palestina menandai salah satu titik terendah dalam hubungannya dengan Israel. Namun, langkah menentukan di mana Uni Soviet mengecam Israel dan, yang lebih penting lagi, doktrin negara pendirinya, Zionisme, di hadapan dunia terjadi pada tahun 1975, di PBB.
Bagi Uni Soviet, Israel Zionis hanyalah pos terdepan yang diciptakan untuk melayani ambisi imperialis AS di Timur Tengah. Sejak pendiriannya, negara Israel berfungsi sebagai pusat pengaruh ideologis nasionalis dan anti-komunis, baik di dalam Israel maupun di kalangan komunitas Yahudi di seluruh dunia. Musuh utama Zionisme adalah gerakan pembebasan nasional Arab; karakter anti-imperialis dan demokratisnya; serta aliansinya dengan komunitas negara-negara sosialis. Kebijakan agresif Israel, yang didukung terutama oleh Amerika Serikat dan kekuatan imperialis lainnya, berulang kali menjerumuskan wilayah Arab ke dalam konflik militer dan perang.
Zionisme, yang diadopsi sebagai doktrin resmi negara Israel, dipahami oleh Uni Soviet dan sekutunya (dan tetap berlaku hingga hari ini) sebagai ideologi chauvinis borjuasi Yahudi—sebagian dari monopoli kapital internasional—yang diwujudkan melalui aparatur organisasi yang luas dan praktik politik rasis serta ekspansionis. Ditingkatkan menjadi program politik oleh jurnalis Wina Theodor Herzl, Zionisme membangun gagasan tentang “komunitas Yahudi” melalui konsepsi reaksioner yang mengabaikan pertanyaan kelas. Tujuannya adalah untuk mengalihkan pekerja Yahudi dari perjuangan kelas revolusioner. Solusi yang disebut-sebut untuk “Persoalan Yahudi,” sebagaimana dirumuskan secara programatik dalam Kongres Zionis Pertama di Basel pada Agustus 1897, dirancang sebagai pembentukan negara bangsa Yahudi di wilayah Arab Palestina. Dengan cara ini, Zionisme sejak awal menempatkan dirinya di bawah kepentingan politik, ekonomi, dan strategis imperialisme dunia.
Kerja sama antara Zionis dan imperialisme Inggris mencapai puncaknya pada 2 November 1917 dengan Deklarasi Balfour, yang dinamai sesuai nama menteri luar negeri Inggris saat itu. Deklarasi ini melegitimasi imigrasi pemukim Yahudi, yang diorganisir dengan dukungan lingkaran kapitalis besar Yahudi, terutama keluarga Rothschild, dan menjanjikan dukungan Inggris untuk pembentukan “tanah air” Yahudi di Palestina. Pada Konferensi Zionis Mei 1942 yang diadakan di New York, diputuskan untuk mendirikan negara Zionis dan membentuk tentara Zionis di wilayah Palestina. Sejak saat itu, Zionisme sepenuhnya terintegrasi ke dalam rencana imperialisme AS di Timur Tengah.
Dengan demikian, doktrin negara Israel, Zionisme, yang dianalisis oleh Uni Soviet dalam asal-usul dan perkembangannya, secara resmi dinyatakan oleh Majelis Umum PBB pada 10 November 1975 sebagai apa adanya dan selalu menjadi: “bentuk rasisme dan diskriminasi rasial.” 10 Secara resmi dikenal sebagai Resolusi Majelis Umum PBB 3379, pemungutan suara tersebut melihat 72 negara, termasuk Uni Soviet, blok sosialis, Kuba, Tiongkok, Yugoslavia, dan Korea Utara, serta mayoritas negara-negara yang disebut “Dunia Ketiga,” memilih setuju. Sementara itu, 35 negara yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman Barat memilih menentang, dan 32 negara abstain.
Namun, pada 16 Desember 1991, Resolusi 3379 tersebut dicabut. Apa yang telah berubah? Apakah Zionisme telah disalahpahami, seperti yang mungkin kita simpulkan dari pidato Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada 2004?11 Tentu saja tidak. Zionisme tidak disalahpahami. Ideologi chauvinis dan rasis itu tetap sama. Yang berubah adalah zaman, dan situasi politiknya.
Pada 1970-an, gerakan antikapitalis, antiperang, dan antirasisme mendapat dukungan luas. Protes radikal tahun 1968 masih segar dalam ingatan global. Perang Vietnam, yang begitu dibenci dan begitu luas ditentang, baru saja berakhir pada April 1975, dengan penarikan pasukan Amerika terakhir dari Saigon dan kemenangan pasukan komunis. Perang Arab-Israel Keempat, konflik berdarah lain yang menelan puluhan ribu nyawa, juga baru saja berakhir. Gerakan pembebasan nasional seperti PLO semakin kuat dan populer di seluruh dunia.
Singkatnya, tahun 1970-an adalah periode di mana rakyat yang tertindas tidak hanya menuntut dan berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan, tetapi juga memperoleh simpati dan solidaritas dari rakyat di seluruh dunia. Karena itulah, 72 negara, termasuk semua negara yang sedang membangun sosialisme, memberikan suara mereka untuk resolusi yang mengakui Zionisme sebagai bentuk rasisme. Mereka mendekati realitas dari sudut pandang apa yang diminta oleh rakyat dunia: sikap tegas melawan perang dan melawan rasisme. Resolusi 3379 memang merupakan kemenangan atas perang dan rasisme, khususnya atas perang-perang Israel dan rasisme Zionis. Dengan resolusi ini, tindakan Israel kehilangan semua legitimasi di mata dunia. Tentu saja, ideologi Zionis tidak dapat dihancurkan hanya dengan sebuah deklarasi—dan memang tidak. Namun, ini tetap merupakan awal. Bagi Israel, hal ini menandai hilangnya kredibilitas mereka yang terparah.
Namun, pada 16 Desember 1991, sepuluh hari sebelum pembubaran Uni Soviet, resolusi yang disahkan pada 1975 dibatalkan berdasarkan usulan yang diajukan secara pribadi oleh Presiden AS saat itu, George H. W. Bush.12 Di antara negara-negara sosialis yang sebelumnya mendukung resolusi tersebut, Kuba menentang pembatalannya. Vietnam dan Korea Utara juga menyatakan penolakan mereka. Namun, Uni Soviet, yang berada di ambang kehancurannya, bersama dengan negara-negara sosialis yang tersisa, terpaksa abstain.
Apa yang terjadi? Sekali lagi, zaman telah berubah. Marx dan Marxisme telah (sekali lagi) dinyatakan “mati”; komunisme konon telah ‘dikalahkan’ oleh kapitalisme; itu adalah “perpisahan” bagi rakyat pekerja. Amerika Serikat, yang kini menikmati kemuliaan yang diklaimnya telah “dimenangkan” dari Perang Dingin, tampak tak tertandingi. Ini adalah saat bagi Amerika Serikat untuk membentuk dunia sesuai dengan citranya sendiri. Gerakan antiperang, antirasisme, dan antikapitalisme yang menandai tahun 1970-an telah memudar atau tenggelam oleh teriakan kemenangan kelas kapitalis.

Perjuangan Pembebasan Palestina Tanpa Uni Soviet
Dengan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991, seluruh kerangka hubungan Soviet–PLO runtuh. Rusia kapitalis di bawah Yeltsin mengarahkan diri ke Barat di semua bidang, termasuk Timur Tengah. Dalam situasi baru ini, Palestina kehilangan perisai diplomatiknya. Tanpa veto Soviet, mereka terpaksa ikut serta dalam Konferensi Madrid 1991 yang disponsori AS, terintegrasi dalam delegasi Yordania. Perjanjian Oslo 1993 ditandatangani sepenuhnya di bawah hegemoni AS.
Pada saat yang sama, pasokan senjata dan pelatihan militer Soviet mengering. Kapasitas militer PLO melemah, dan kepemimpinannya terpaksa beralih dari perjuangan bersenjata ke negosiasi yang dimediasi AS, terikat erat oleh ketergantungan. Tanpa Uni Soviet, narasi imperialis berhasil mereduksi Palestina menjadi sekadar “sengketa teritorial” yang harus “diselesaikan” melalui pembicaraan bilateral, menghilangkan makna anti-kolonial dan anti-imperialisnya.
Keruntuhan Uni Soviet memiliki dampak yang melemahkan dan menghancurkan bagi gerakan pembebasan nasional di seluruh dunia. Seperti yang diamati oleh Frederic Jameson pada saat itu, “tradisi revolusioner Marxisme dan komunisme tiba-tiba hilang dan tidak terjangkau.”13 Salah satu konsekuensi paling luas dari kekosongan ini, yang masih terasa hingga saat ini, adalah munculnya fundamentalisme Islam, yang hadir sebagai lawan utama kebijakan imperialis Israel di kawasan tersebut. Gerakan seperti Hamas dan Jihad Islam mengisi kekosongan tersebut, namun tanpa dukungan negara adidaya, mereka menghadapi pengepungan dan isolasi.
Saat Palestina mengalami kerugian-kerugian ini dan banyak lainnya, Israel naik ke posisi hampir kebal hukum. Monopoli veto AS di Dewan Keamanan PBB memastikan bahwa setiap resolusi melawan Israel dihentikan sejak awal. Dulu veto Soviet melindungi Palestina, kini veto AS melindungi Israel dari kritik simbolis sekalipun. Tanpa dukungan Soviet, pemerintah Arab bergegas menuju normalisasi. Perjanjian damai Yordania-Israel 1994, Perjanjian Abraham 2020, dan kerja sama de facto monarki-monarki Teluk, semuanya menunjukkan betapa cepatnya rezim-rezim di kawasan itu menyesuaikan diri di bawah hegemoni AS.
Dengan bubarnya Uni Soviet, Rusia kapitalis mengejar strategi integrasi ke dalam sistem imperialis yang dipimpin AS, secara radikal mengubah kebijakannya terhadap Timur Tengah. Dukungan diplomatik, militer, dan ideologis yang pernah diberikan kepada perjuangan Palestina selama periode Soviet digantikan setelah 1991 dengan normalisasi dan pendekatan terhadap Israel.14 Hubungan diplomatik dipulihkan pada 1991 dan disempurnakan dengan pembukaan kedutaan besar pada 1992.15 “Perisai Soviet” yang pernah melindungi Palestina kini digantikan oleh Moskow yang bersahabat dengan Tel Aviv.
Selama tahun 1990-an, Rusia memperdalam kerja samanya dengan Israel di bidang teknologi, pertanian, kedokteran, dan khususnya modernisasi militer.16 Proses ini secara tidak langsung berkontribusi pada kemampuan Israel dalam perang, sehingga melemahkan perlawanan Palestina. Para politisi dan pemimpin borjuis di Moskow semakin mendefinisikan masalah Palestina bukan sebagai perjuangan nasional yang mandiri, melainkan hanya sebagai “bagian dari proses perdamaian.” Ini, tentu saja, berarti penyerahan diri terhadap kerangka yang ditetapkan oleh Amerika Serikat.17
Perubahan arah strategis ini, yang merupakan hasil dari kontra-revolusi yang menghancurkan Uni Soviet dan blok sosialis, tidak hanya merampas dukungan diplomatik Palestina tetapi juga melemahkan legitimasi Palestina di mata opini publik dunia. Dengan demikian, kemungkinan adanya suara penentang yang kuat dan menakutkan dari Moskow terhadap genosida Israel di Gaza telah lenyap. Contoh terbaru terjadi hanya beberapa hari yang lalu, ketika Rusia memberikan sinyal persetujuannya terhadap rencana yang disebut “Rencana Gaza” yang disusun oleh Trump dan Netanyahu, sebuah rencana yang bertujuan untuk memaksakan perlawanan Palestina untuk “menyerah”.18
Rakyat Palestina, di era pasca-Soviet, telah dipaksa untuk menanggung beban tidak hanya dari permusuhan yang tak henti-hentinya dari Washington, tetapi juga dari pengkhianatan politik Moskow ke kubu lawan—Moskow yang pernah berdiri di sisi mereka.
Sebuah tinjauan singkat terhadap sejarah gerakan perlawanan menunjukkan bahwa sejarah berbicara dengan jelas: perjuangan pembebasan tidak dapat bertahan tanpa sekutu yang mampu menghadapi imperialisme di tingkatnya sendiri (cetak tebal oleh penerjemah). Kita memiliki contoh ini di negara asal penulis, Turki. Tanpa dukungan material dari Uni Soviet yang baru lahir setelah Revolusi Oktober Sosialis, anti-imperialisme pragmatis dan lemah Mustafa Kemal tidak akan memiliki peluang besar untuk mengalahkan kekuatan imperialis. Demikian pula, dukungan Soviet, meskipun seringkali berhati-hati, terkadang didorong oleh motif tersembunyi, dan kadang-kadang mengecewakan, tetap memberikan Palestina ruang diplomatik, kapasitas militer, dan legitimasi ideologis.
Hari ini, tanpa dukungan semacam itu, Palestina terlibat dalam perjuangan putus asa untuk bertahan hidup melawan negara kolonial pemukim paling militerisasi di bumi, mesin perang yang didanai oleh kekuatan imperialis terkemuka dunia. Genosida yang terjadi di Gaza menunjukkan bahwa tanpa penyeimbang anti-imperialis, genosida tidak hanya mungkin terjadi tetapi juga dapat disiarkan secara terbuka dan langsung ke seluruh dunia. Membangun kembali penyeimbang semacam itu, sebuah blok yang berkomitmen bukan untuk mengelola penindasan tetapi untuk menghilangkannya, tidak dapat dianggap sebagai “nostalgia.” Sebaliknya, hal itu merupakan salah satu prasyarat untuk bertahan hidup.
Baca juga buku-buku berikut
Catatan
- Galia Golan, The Soviet Union and the Palestine Liberation Organization (New York: Praeger, 1980), 6.
- Golan, The Soviet Union and the Palestine Liberation Organization, 5–6.
- “Weapons and Ideology: Files Reveal How China Armed and Trained the Palestinians,” Haaretz, August 4, 2019.
- Golan, The Soviet Union and the Palestine Liberation Organization, 7.
- Golan, The Soviet Union and the Palestine Liberation Organization, 10–11.
- Golan, The Soviet Union and the Palestine Liberation Organization, 11–12.
- Golan, The Soviet Union and the Palestine Liberation Organization, 9.
- Golan, The Soviet Union and the Palestine Liberation Organization, 14.
- Golan, The Soviet Union and the Palestine Liberation Organization, 14–15.
- United Nations General Assembly, Resolution 3379 (XXX), “Elimination of all forms of racial discrimination,” November 10, 1975.
- Kofi Annan, “L’antisémitisme a été le signe avant-coureur de la discrimination,” Chronique de l’ONU, 2004.
- George H. W. Bush, “Address to the 46th Session of the United Nations General Assembly in New York City,” September 23, 1991.
- Fredric Jameson, “Five Theses on Actually Existing Marxism,” Monthly Review 47, no. 11 (April 1996).
- Ruyard Kazan, “The Israeli–Soviet/Russian Relations,” Lebanese Army National Defense Magazine 48 (2004): 145–47.
- Kazan, “The Israeli–Soviet/Russian Relations,” 146.
- Kazan, “The Israeli–Soviet/Russian Relations,” 147–48.
- Kazan, “The Israeli–Soviet/Russian Relations,” 149.
- Trump’s 20-Point Gaza Plan in Full,” BBC News, October 3, 2025; “Kremlin Says It ‘Supports and Welcomes’ Trump’s Gaza Plan,” Moscow Times, September 30, 2025.