oleh

Berikut ini adalah teks presentasi yang disampaikan oleh Carlos Martinez pada Kongres Dunia Keempat tentang Marxisme, yang diselenggarakan pada tanggal 11-12 Oktober 2025 di Universitas Peking (PKU), Tiongkok, oleh Sekolah Marxisme PKU.
Presentasi ini memberikan gambaran tentang kemajuan yang dicapai Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir terkait energi bersih, dan mengajukan pertanyaan: mengapa Tiongkok, bukan negara-negara kapitalis maju, yang muncul sebagai satu-satunya โsuperpower hijauโ di dunia? Carlos berargumen bahwa alasan fundamentalnya terletak pada struktur ekonomi Tiongkok yang โditentukan bukan oleh dorongan modal untuk ekspansi konstan, melainkan oleh kebutuhan dan aspirasi rakyat.โ
Di sisi lain, โkeseimbangan kekuatan di negara-negara kapitalis sedemikian rupa sehingga bahkan pemerintah yang relatif progresif pun kesulitan memprioritaskan kebutuhan jangka panjang penduduk di atas kepentingan modal jangka pendek.โ
Carlos mencatat bahwa, berkat investasi sistematisnya dalam energi terbarukan, kendaraan listrik, sistem transmisi, baterai, dan lainnya, Tiongkok telah menjadi negara pertama yang secara signifikan memutus hubungan antara perkembangan ekonomi dan emisi gas rumah kaca. โSementara pemerintah di Barat membenarkan ketidakpedulian dalam menangani perubahan iklim dengan alasan bahwa hal itu akan merugikan pertumbuhan ekonomi, Tiongkok adalah negara pertama yang menjadikan transisi hijau sebagai pendorong kuat pertumbuhan ekonomi, sehingga memenuhi kebutuhan mendesak rakyat Tiongkok akan modernisasi dan kebutuhan jangka panjang umat manusia akan planet yang layak huni.โ
Kemajuan Tiongkok diperkirakan akan memiliki dampak global yang signifikan. Berkat inovasi dan skala ekonomi Tiongkok yang besar, telah terjadi penurunan biaya secara global, sehingga bagi sebagian besar dunia, tenaga surya dan angin kini lebih efisien secara biaya dibandingkan bahan bakar fosil.
Dan bagi kita yang tinggal di negara-negara kapitalis maju, di mana kekuasaan politik dikuasai oleh borjuasi yang sudah rapuh, contoh Tiongkok dapat digunakan untuk membantu menciptakan tekanan massa agar pemerintah dan kelas penguasa kita menghentikan perusakan planet ini, serta mendorong kerja sama yang bijaksana dengan Tiongkok dalam isu-isu lingkungan.
Kongres tersebut menghadirkan deretan akademisi dan penulis Marxis yang mengesankan, termasuk Gong Qihuang, Presiden Universitas Peking; Li Yi, Wakil Presiden Sekolah Partai Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok (Akademi Nasional Pemerintahan); John Bellamy Foster, Pemimpin Redaksi Monthly Review; Cheng Enfu, Profesor, Sekolah Marxis, Akademi Ilmu Sosial Tiongkok; Radhika Desai, Profesor, Universitas Manitoba; Roland Boer, Profesor, Universitas Renmin Tiongkok; Pham Van Duc, Profesor, Akademi Ilmu Sosial Vietnam; dan Gabriel Rockhill, Profesor, Universitas Villanova. Kongres ini diliput oleh CGTN, termasuk wawancara video singkat dengan Carlos Martinez dan Radhika Desai.
Kami tidak akan pernah lagi mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan. (Xi Jinping)
Ada prasangka yang meluas di Barat bahwa Tiongkok adalah pelaku kejahatan iklimโnegara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, dan negara yang terus membangun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Hal ini terkait dengan persepsi yang lebih luas bahwa pemerintahan sosialis bertentangan dengan perlindungan lingkungan.
Namun, kemajuan luar biasa Tiongkok dalam dua dekade terakhir dalam menangani polusi, melindungi keanekaragaman hayati, dan mengembangkan energi bersih telah membuat narasi ini runtuh.
Tiongkok baru-baru ini mencapai tonggak sejarah dalam transisi energinya: kapasitas tenaga surya secara kumulatif telah melebihi 1 terawatt, mewakili 45 persen dari total global dan jauh melampaui Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Pada KTT Iklim PBB pada September, Presiden Xi Jinping mengumumkan bahwa Tiongkok berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan polusi lainnya setidaknya 7 hingga 10 persen hingga 2035 โ pertama kalinya Tiongkok menetapkan target konkret untuk mengurangi emisi sebagai bagian dari Kontribusi Nasional yang Ditentukan (NDC) di bawah Perjanjian Paris.
Bukti yang kredibel menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca Tiongkok telah mencapai puncaknya, lima tahun lebih awal dari yang dijanjikan.
Sejak 2013, kapasitas terpasang tenaga surya Tiongkok telah meningkat 180 kali lipat, sementara kapasitas tenaga angin tumbuh enam kali lipat.
Tiongkok mendominasi rantai pasok teknologi hijau global, memproduksi sebagian besar modul surya, wafer, dan komponen baterai.
Salah satu faktor penting yang mengimbangi kebangkitan energi bersih adalah penurunan pangsa batu bara dalam bauran energi Tiongkok. Pada awal abad ke-21, sekitar 80 persen listrik Tiongkok dihasilkan dari batu bara; kini jumlahnya mencapai sekitar 50 persen dan terus menurun. Meskipun pembangkit listrik tenaga batu bara baru terus dibangun, pembangkit-pembangkit ini utamanya merupakan pengganti yang canggih dan efisien atau berfungsi sebagai kapasitas cadangan untuk menstabilkan pasokan energi terbarukan.
Tiongkok memproduksi dua pertiga dari mobil listrik dunia dan lebih dari 95 persen bus listriknya. Negara ini memiliki lebih banyak jalur kereta api berkecepatan tinggi daripada total jalur kereta api berkecepatan tinggi di seluruh dunia.
Tiognkok adalah pemimpin dunia dalam inovasi teknologi bersih, dengan selisih yang cukup jauh. Negara ini memegang 75 persen paten energi bersih global, naik dari hanya 5 persen pada awal abad ini.
Dalam hal reboisasi/penghijauan, Tiongkok kembali menjadi pemimpin dunia, dengan tutupan hutan yang meningkat dua kali lipat dari sekitar 12 persen pada 1980-an menjadi lebih dari 24 persen saat ini.
Singkatnya, Tiongkok sedang membuat kemajuan yang luar biasa menuju visi ekologi yang luas dan berjangka panjangโyang mendorong pembangunan yang seimbang dan berkelanjutan yang diarahkan pada koeksistensi yang harmonis antara manusia dan alam. Visi ini didasarkan pada pemahaman bahwa, seperti yang diungkapkan oleh Presiden Xi Jinping, โmanusia tidak lagi dapat mengabaikan peringatan berulang dari alam dan terus mengikuti jalan lama dalam mengeksploitasi sumber daya tanpa berinvestasi dalam konservasi, mengejar pembangunan dengan mengorbankan perlindungan, dan mengeksploitasi sumber daya tanpa pemulihanโ.
Dan semakin banyak aktivis lingkungan di seluruh dunia yang melihat Tiongkok sebagai model dalam menangani krisis iklim. Mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBB Erik Solheim, misalnya, menggambarkan Tiongkok sebagai โnegara yang tak tergantikan dalam segala hal yang berkaitan dengan lingkunganโ.
Kegagalan kapitalisme
Sains telah jelas dan diterima secara luas: aktivitas industri manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil, telah meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini menyebabkan lebih banyak panas terperangkap di atmosfer Bumi, yang mengakibatkan efek pemanasan global yang menyebabkan peristiwa cuaca yang lebih sering dan parah, kenaikan permukaan laut, kebakaran hutan, kegagalan panen, gelombang panas mematikan, kehilangan keanekaragaman hayati, pandemi, dan perubahan ekosistem.
Konsentrasi gas rumah kaca akan terus meningkat, dan masalah ekologi yang terkait akan semakin parah, kecuali kita mengurangi konsumsi energi kita secara drastis atau beralih ke bentuk energi yang tidak menghasilkan emisi. Gagasan untuk mengurangi konsumsi energi umat manusia secara keseluruhan jelas tidak realistis dalam konteks global di mana miliaran orang membutuhkan lebih banyak energi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan mereka. Kita harus dengan tegas menolak fantasi Malthusian bahwa negara-negara Selatan harus ditolak haknya untuk berkembang; bahwa negara-negara maju di Utara harus menarik tangga modernisasi di belakang mereka.
Oleh karena itu, satu-satunya opsi realistis untuk mencegah keruntuhan iklim adalah melakukan transisi global besar-besaran ke energi hijau: memenuhi kebutuhan energi umat manusia tanpa melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer dan tanpa menyebabkan kerusakan permanen pada lingkungan.
Sejak awal tahun 1990-an, telah ada konsensus global mengenai masalah ini, namun kemajuan di negara-negara kapitalis pusat tetap sangat terbatas. Negara-negara ini mempertahankan subsidi bahan bakar fosil, serta terus memperluas pengeboran minyak dan gas, dan tentu saja terlibat dalam aktivitas militer yang merusak lingkungan. Meskipun emisi gas rumah kaca mereka telah berkurang, hal itu sebagian besar dicapai melalui pemindahan industri ke negara-negara industri di belahan bumi Selatanโterutama Tiongkok.
Antropolog ekonomi Jason Hickel menulis bahwa โsetengah abad terakhir dipenuhi dengan tonggak-tonggak ketidakberdayaanโฆ KTT Iklim InternasionalโKongres Pihak-pihak PBBโtelah diadakan setiap tahun sejak 1995 untuk bernegosiasi mengenai rencana pengurangan emisi. Kerangka kerja PBB telah diperpanjang tiga kali, dengan Protokol Kyoto pada 1997, Kesepakatan Kopenhagen pada 2009, dan Perjanjian Paris pada 2015. Namun, emisi CO2 global terus meningkat setiap tahun, sementara ekosistem hancur dengan kecepatan mematikan.โ
Diskursus politik dan ekonomi arus utama di Barat telah didominasi oleh gagasan bahwa โpasar akan menyelesaikan segala masalahโ, sejalan dengan paradigma neoliberal yang telah mendominasi selama beberapa dekade terakhir. Kekuatan penawaran dan permintaan diyakini akan membawa transisi hijau, seiring dengan meningkatnya harga bahan bakar fosil dan menurunnya harga energi terbarukan.
Karena hal ini gagal terwujud, fantasi neoliberal lain muncul: bahwa konsumen individu dapat menyelamatkan planet ini dengan mengubah gaya hidup mereka. Kita hanya perlu mengendarai mobil listrik, mengurangi konsumsi daging, mendaur ulang lebih banyak, mengurangi penerbangan, mandi lebih singkat, dan sebagainya. Krisis pun diindividualisasikan, dan sistem kapitalis dibebaskan dari segala tanggung jawab.
Pemerintahan Trump bahkan telah menghilangkan pretensi sekecil apa pun untuk berpartisipasi dalam perjuangan bersama umat manusia untuk menjaga Bumi tetap layak huni. Beberapa hari sebelum pengumuman Xi Jinping di KTT Iklim PBB, Trump menyebut perubahan iklim sebagai โpenipuan terbesar yang pernah dilakukan di duniaโ, dan mengklaim bahwa peralihan ke energi terbarukan adalah tipuan yang dirancang untuk mendukung ekspor Tiongkok.
Pemerintahan Biden setidaknya lebih baik secara retorika, tetapi pada kenyataannya memprioritaskan konfrontasi geopolitiknya dengan Tiongkok dan Rusiaโserta melayani kepentingan modal korporasi terbesarโdi atas kerja sama internasional dalam isu lingkungan. Di bawah kepemimpinan Biden, AS memberlakukan sanksi terhadap panel surya dan polysilicon Tiongkok, serta mengenakan tarif besar-besaran terhadap mobil listrik Tiongkok. Perang proxy melawan Rusia telah memberikan dorongan luar biasa bagi sektor gas shale (gas serpih) di AS. Gas ini diekstraksi melalui fracking (rakahan hidrolik) โyang merupakan proses berbahayaโdan kemudian didinginkan hingga minus 70 derajat Celsius untuk melikuidkannya, sebelum dikirim melintasi Samudra Atlantik. Sebuah absurditas ekologis.
Sementara itu, militer AS adalah penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia. Jika dianggap sebagai negara, militer AS sendirian akan menempati peringkat ke-47 secara global dalam emisi, di atas Swedia dan Portugal.
Tidak adanya kemajuan yang berarti di Barat, tidak dapat dimaafkan. Dan kesalahan harus disasarkan pada akar persoalan, yakni sistem kapitalis yang mengutamakan keuntungan di atas planet. Ketika masyarakat diatur dengan tujuan untuk mengejar keuntungan pribadi; ketika ekonomi diarahkan hampir secara eksklusif pada produksi nilai tukar daripada nilai guna; pertanyaan tentang menyelamatkan planet tidak akan pernah menjadi prioritas utama.
Solusinya: sosialisme
Keseimbangan kekuatan di negara-negara kapitalis sedemikian rupa sehingga bahkan pemerintah yang relatif progresif pun kesulitan memprioritaskan kebutuhan jangka panjang penduduk di atas kepentingan jangka pendek modal. Sementara itu, di Tiongkok, John Bellamy Foster menunjukkan bahwa โdi mana-mana dan di semua tingkatan, upaya besar-besaran sedang dilakukan untuk memulihkan lingkungan.โ
Bellamy Foster melanjutkan: โMeskipun Tiongkok telah mengambil langkah-langkah untuk menerapkan konsepsi radikal tentang peradaban ekologi, yang terintegrasi dalam perencanaan dan regulasi negara, gagasan Green New Deal belum mengambil bentuk konkret di Barat. Saat ini, itu hanyalah slogan tanpa dukungan politik yang nyata dalam sistem.โ
Alasan mendasarnya adalah bahwa Tiongkok, sebagaimana disebutkan dalam laporan Presiden Xi kepada Kongres Nasional ke-20, adalah โnegara sosialis dengan diktatur demokratik rakyat di bawah kepemimpinan kelas pekerja berdasarkan aliansi antara pekerja dan petani; seluruh kekuasaan negara di Tiongkok adalah milik rakyat.โ
Sistem ekonomi Tiongkok terstruktur sedemikian rupa sehingga prioritas politik dan ekonomi ditentukan bukan oleh dorongan modal untuk ekspansi konstan, melainkan oleh kebutuhan dan aspirasi rakyat. Pemerintah, BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta bekerja sama dalam ekosistem bersama ekonomi pasar transisi-sosialis yang diatur oleh negara dan mengikuti rencana tingkat tinggi.
Bank-bank terbesar di Tiongkok dimiliki oleh negara, artinya keputusan-keputusan penting terkait alokasi modal diambil demi kepentingan jangka panjang rakyat.
Investasi besar-besaran Tiongkok dalam energi terbarukan, efisiensi energi, transportasi listrik, reboisasi, baterai, transmisi listrik, energi nuklir, pengelolaan limbah sirkular, dan sebagainya sebagian besar dilakukan oleh bank-bank negara, dan banyak proyek besarnya dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan milik negara.
Ekonom Italia-Amerika, Mariana Mazzucato, menulis bahwa โyang membedakan Tiongkok dari negara-negara lain adalah keberaniannya untuk berkomitmen pada energi terbarukan dan inovasi dalam jangka pendek maupun panjangโ. Hal ini mencerminkan sesuatu yang penting dalam kepemimpinan Tiongkok, tetapi โkeberanianโ sebenarnya bukan masalah utama di sini; melainkan, soal kekuasaan politik. Profesor Hu Angang menyoroti inti permasalahan: โModel pengembangan kapitalis memiliki kontradiksi fundamental dan tak dapat didamaikan antara ekspansi modal yang tak terbatas dan sumber daya alam yang terbatasโ.
Di Barat, perusahaan bahan bakar fosil memiliki pengaruh politik yang besar dan itu mengkhawatirkan. Perusahaan minyak besar telah menghabiskan ratusan juta dolar untuk melobi untuk menentang aksi iklim dan berusaha melemahkan perjanjian internasional, serta mendanai kampanye disinformasi untuk meragukan ilmu pengetahuan seputar perubahan iklim. Masalah semacam itu tidak ada di Tiongkok, karena sistem sosialisnya telah memutus korelasi antara kekayaan ekonomi dan kekuasaan politik.
Presiden Tiongkok dapat mengatakan sesuatu yang tidak terbayangkan di Barat: โKami tidak akan pernah lagi mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan lingkungan.โ Namun, secara kebetulan, Tiongkok telah mampu memanfaatkan keunggulan sosialisme untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sambil sekaligus melindungi lingkungan. Memang, orientasi negara ini terhadap kekuatan produktif baru โ โteknologi tinggi, efisiensi tinggi, dan kualitas tinggiโ โ sepenuhnya konsisten dengan transisi hijau, dan tidak mengherankan bahwa kekuatan produktif baru yang paling menonjol adalah energi terbarukan, kendaraan listrik, dan baterai.
Menurut analisis Lauri Myllyvirta, analis utama di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih, teknologi energi bersih menyumbang lebih dari 10 persen dari ekonomi Tiongkok pada tahun 2024, dan sektor-sektor ini tumbuh tiga kali lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi Tiongkok secara keseluruhan, menyumbang 26 persen dari seluruh pertumbuhan PDB pada tahun 2024. Hal ini berarti, sementara pemerintah di Barat membenarkan tidak adanya tindakan dalam menangani perubahan iklim dengan alasan bahwa hal itu akan merugikan pertumbuhan ekonomi, Tiongkok menjadi negara pertama yang menjadikan transisi hijau sebagai pendorong kuat pertumbuhan ekonomi, sehingga memenuhi kebutuhan mendesak rakyat Tiongkok akan modernisasi dan kebutuhan jangka panjang umat manusia akan planet yang layak huni.
Signifikansi global
Hal di atas menunjukkan bahwa sosialisme adalah kerangka politik dan ekonomi satu-satunya yang layak untuk menyelamatkan planet ini.
Sayangnya, hanya sedikit negara yang menganut paham sosialis, sementara krisis lingkungan berdampak pada seluruh dunia. Dan masalah ini cukup mendesak sehingga dunia tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu materialisme historis berjalan sesuai jalannya.
Beruntungnya, dunia dapat memanfaatkan kepemimpinan Tiongkok. Investasi dan inovasi berkelanjutan Tiongkok dalam energi terbarukan telah menyebabkan penurunan biaya global, sehingga di banyak bagian dunia, tenaga surya dan angin lebih efisien secara biaya daripada bahan bakar fosil. Menurut Badan Energi Internasional, investasi besar Tiongkok dalam energi hijau telah โberkontribusi pada penurunan biaya lebih dari 80 persen, membantu tenaga surya PV menjadi teknologi pembangkit listrik paling terjangkau di banyak belahan duniaโ.
Negara-negara di Afrika Sub-Sahara, misalnya, di mana setengah populasi masih tidak memiliki akses ke listrik, kini dapat melompati bahan bakar fosil dan langsung beralih ke energi terbarukan, berkat teknologi Tiongkok yang murah.
Dan bagi kita yang tinggal di negara-negara kapitalis maju, di mana kekuasaan politik didominasi oleh borjuasi yang merosot, contoh Tiongkok dapat digunakan untuk menciptakan tekanan massa agar pemerintah dan kelas penguasa kita menghentikan perusakan planet ini, serta mendorong kerja sama yang bijaksana dengan Tiongkok dalam isu-isu lingkungan.
Mao Zedong mengatakan pada tahun 1956 bahwa pada awal abad ke-21, Tiongkok akan menjadi โnegara industri sosialis yang kuatโ dan bahwa โia seharusnya telah memberikan kontribusi yang lebih besar bagi kemanusiaan.โ Kepemimpinan Tiongkok dalam menangani krisis lingkungan dan dalam membangun peradaban ekologi tentu merupakan kontribusi besar bagi umat manusia.
Baca juga
Sukarno, Tiongkok & Pembentukan Indonesia
Original price was: Rp130.000.Rp125.000Current price is: Rp125.000.4% off!




