Pedagogi dan Kekuasaan Kelas: Merebut Kembali Freire di Era Reaksi

Pedagogi dan Kekuasaan Kelas

Pada dekade-dekade awal abad ke-21, pendidikan telah menjadi garis depan dalam perjuangan ideologis atas masa depan kapitalisme global. Serangan yang terkoordinasi terhadap guru, kurikulum, dan lembaga-lembaga pembelajaran publik bukanlah perang budaya yang terisolasi, melainkan fitur struktural dari pemerintahan neoliberal. Dalam konteks ini, filosofi pedagogi Paulo Freire menuntut perhatian baru—bukan sebagai teori abstrak tentang “pembelajaran yang melibatkan”, tetapi sebagai praksis revolusioner yang berada dalam tradisi Marxis yang lebih luas tentang perjuangan kelas.1

Joe Coleman adalah seorang guru sejarah SMA, pendidik sosialis, dan penulis di Florida. Ia memiliki gelar B.A. di bidang Filsafat dan M.A. di bidang Sejarah. Karyanya berfokus pada persimpangan antara ingatan sejarah dan perjuangan politik kontemporer, menghubungkan isu-isu saat ini dengan akar sejarahnya.

Buku Pedagogi Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed), yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1970, muncul bukan dari ruang-ruang seminar elit, melainkan dari kampanye-kampanye literasi di antara kaum tertindas di Brasil. Pandangan utamanya—bahwa kaum tertindas harus menjadi agen yang sadar akan pembebasan mereka sendiri melalui penyelidikan kritis kolektif—merupakan tantangan langsung terhadap kediktatoran militer dan ideologi kapitalis. Freire bukan hanya seorang pendidik progresif; ia adalah seorang teoretikus transformasi sosial yang berakar pada kondisi material di dunia Selatan. 2 Pedagogi yang ia ajarkan bukan untuk mereformasi sistem yang sudah ada, melainkan untuk melampaui sistem tersebut.

Saat ini, ketika gerakan sayap kanan semakin menguat di Amerika Latin, Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Selatan, karya-karya Freire kembali diserang. Dari dewan sekolah di Florida hingga Kementerian Pendidikan Bolsonaro, Freire secara eksplisit disebut sebagai ancaman terhadap tatanan nasional dan otoritas moral.3 Apa yang dipahami oleh rezim-rezim ini—lebih baik daripada kebanyakan pembela pendidikan liberal—adalah bahwa pedagogi adalah tempat pembentukan kelas. Hal ini mereproduksi hegemoni elit yang berkuasa atau membuka kemungkinan kehancurannya.4

Landasan Material Pedagogi Kritis

Karya Freire tidak dapat dipahami secara terpisah dari kondisi kapitalisme semi-periferal (semi-pinggiran) di mana karya tersebut berkembang. Pedagoginya sangat terkait dengan tradisi teori ketergantungan dan pemikiran anti-imperialisnya Amerika Latin. Seperti Ruy Mauro Marini dan yang lainnya, Freire menyadari bahwa keterbelakangan bukanlah ketiadaan pembangunan, melainkan produk dialektis: eksploitasi pinggiran oleh pusat, yang dipertahankan melalui ekstraksi ekonomi dan dominasi ideologis. 5

Pendidikan, dalam skema ini, tidaklah netral. Pendidikan berfungsi sebagai instrumen dalam reproduksi tenaga kerja dan legitimasi hubungan sosial borjuis. “Model perbankan” pendidikan—sebuah istilah yang diciptakan oleh Freire untuk menggambarkan transfer pengetahuan resmi secara pasif—mencerminkan logika akumulasi kapital: hirarkis, searah, dan mengasingkan. Untuk melawan hal ini, Freire mengajukan pedagogi dialogis yang didasarkan pada praksis—refleksi dan aksi dalam kesatuan dialektis. Ini bukan sekadar teknik pedagogis, melainkan sebuah orientasi politik yang berakar pada antagonisme kelas.6

Pentingnya gagasan ini menjadi lebih tajam di tengah kondisi kapitalisme kontemporer: kebangkitan tenaga kerja digital, ekonomi platform, dan tata kelola algoritmik dalam pendidikan. Sekolah semakin banyak dikelola bukan oleh pendidik, melainkan oleh perangkat lunak yang terstandarisasi, diawasi, dan dimonetisasi. Kurikulum dibentuk oleh kepentingan perusahaan; data siswa menjadi sumber daya untuk ditambang. 7

Alat-alat kecerdasan buatan menjanjikan “pembelajaran yang dipersonalisasi,” tetapi sering kali berfungsi untuk menurunkan keterampilan atau bahkan mendiskualifikasi guru dan memprivatisasi pengajaran. Logikanya jelas: pendidikan seharusnya menghasilkan pekerja yang fleksibel dan terdepolitisasi yang dilengkapi dengan keterampilan teknis yang cukup untuk melayani keuntungan tanpa menantang kekuasaan. Dalam konteks ini, pedagogi Freire—yang berpusat pada agensi kolektif, kesadaran historis, dan identifikasi penindasan—bertentangan langsung dengan jalur yang dominan. 8

Serangan Global terhadap Pendidikan Kritis

Penindasan terhadap pedagogi kritis juga harus ditempatkan dalam konteks peralihan yang lebih luas ke arah otoritarianisme dan neoliberalisme. Ketika kesenjangan semakin dalam dan lembaga-lembaga tradisional kehilangan legitimasi, kelas penguasa beralih ke nasionalisme, pembuatan mitos, pengawasan, dan kontrol budaya. Pendidikan menjadi medan bukan hanya untuk kebijakan ekonomi tetapi juga untuk homogenisasi ideologi.9

Di India, rezim Modi telah merombak kurikulumnya menjadi nasionalisme Hindu, menghapus kasta dan perlawanan terhadap kolonial. Di Brasil, pemerintah Bolsonaro telah menjelek-jelekkan Freire secara langsung, menyerukan agar dia disingkirkan dari program pendidikan guru dan berupaya mengkriminalisasi guru yang mempromosikan “indoktrinasi politik.” 10 Di Hungaria, pemerintah Viktor Orbán melarang studi gender dan menempatkan universitas di bawah yayasan yang berafiliasi dengan pemerintah. Di Amerika Serikat, tindakan legislatif berusaha mengkriminalisasi pengajaran ras, gender, dan kelas melalui apa yang disebut sebagai undang-undang “anti-CRT” dan perintah pembatasan kurikulum. 11

Tindakan-tindakan tersebut tidaklah terpisah: mereka mencerminkan upaya bersama untuk mendelegitimasi pendidikan sebagai ruang perbedaan pendapat dan mengkonfigurasinya kembali sebagai mekanisme kontrol ideologis. Aksi-aksi tersebut mengungkapkan kerapuhan hegemoni ideologi neoliberalisme: selama pendidikan masih menjadi tempat yang potensial bagi kesadaran kritis, maka pendidikan harus diawasi. Pedagogi Freire, yang bersikeras untuk menamai penindasan dan bertindak berdasarkan penindasan tersebut, pada dasarnya tetap berbahaya bagi proyek-proyek semacam itu.12

Reaksi keras juga dimediasi melalui media reaksioner, filantropi perusahaan, dan rezim teknologi pendidikan yang digerakkan oleh data. Istilah-istilah seperti “berpikir kritis” dan “kesetaraan” dihilangkan substansi politisnya atau dijelek-jelekkan secara langsung. “Pilihan sekolah” menjadi eufemisme untuk disinvestasi, dan “hak orang tua” menjadi kode untuk reaksi rasial dan kebencian kelas. Desakan Freire bahwa pembebasan dimulai dengan menamai dunia apa adanya menjadi revolusioner dalam lanskap yang dipenuhi dengan eufemisme dan kabut ideologis.13

Melampaui Ruang Kelas

Meskipun mendapat serangan institusional, pedagogi Freire terus berkembang di luar sekolah formal. Gerakan Pekerja Tak Bertanah (MST) di Brasil, misalnya, mengoperasikan sekolah-sekolah pedesaan yang tertanam dalam perebutan tanah yang berpusat pada pembelajaran kooperatif dan kesadaran sosial. 14 Di Palestina dan Afrika Selatan, program-program literasi dan pendidikan masyarakat mengaitkan metode-metode dialogis Freire dengan hak atas perumahan, pengorganisasian kaum feminis, dan perlawanan terhadap penjajahan. 15

Di Afrika Selatan, program-program pendidikan orang dewasa yang didasarkan pada metode Freire telah membantu masyarakat untuk menyelidiki warisan apartheid, perampasan tanah, dan ekstraksi neoliberal yang sedang berlangsung. Di Palestina, program-program pemuda menanamkan penyelidikan kritis dalam perlawanan terhadap pendudukan dan kekerasan pemukim. Di Filipina, sekolah-sekolah adat Lumad mengintegrasikan metode Freire ke dalam pertahanan tanah dan kelangsungan hidup budaya—sering kali di bawah ancaman langsung dari aparat negara.

Gerakan-gerakan ini menunjukkan bahwa pedagogi kritis tidak terbatas pada ruang kelas. Pedagogi ini hidup di koperasi, sekolah-sekolah akar rumput, dan jaringan informal gotong royong. Pedagogi kritis tumbuh subur dalam pendidikan di penjara, koperasi pekerja, dan program-program pendidikan politik gerakan buruh. Apa yang menyatukan ruang-ruang ini adalah komitmen bersama terhadap gagasan bahwa pendidikan seharusnya tidak mempersiapkan orang untuk beradaptasi dengan penindasan –pendidikan seharusnya mempersiapkan mereka untuk mengalahkannya.16

Ini adalah pedagogi solidaritas, bukan sertifikasi; praksis, bukan metrik kinerja. Pedagogi ini berpandangan bahwa pengetahuan bukanlah milik kaum elit, melainkan warisan kolektif kaum tertindas. Justru orientasi inilah yang membuat Freire begitu subversif—dia tidak menyerukan sekolah yang lebih baik dalam kapitalisme, tetapi sekolah yang membuat kapitalisme menjadi usang dan terlampaui.

Merebut Kembali Freire untuk Perjuangan Panjang

Di era ketika para pembela pendidikan liberal mundur ke proseduralisme dan netralitas teknokratis, inti radikal Freire harus ditegaskan kembali. Pedagoginya bukanlah sebuah model lokakarya—ia adalah sebuah teori revolusioner tentang humanisasi, yang berakar pada perjuangan.17 Namun, bahkan banyak institusi progresif yang mereduksi karyanya menjadi kata kunci: “pembelajaran yang berpusat pada siswa,” “keterlibatan,” “suara.” Dilucuti dari muatan politisnya, istilah-istilah ini digunakan untuk melayani hibah, pencitraan, dan reformasi yang hampa.

Untuk merebut kembali Freire hari ini berarti menolak pelemahan ini. Itu berarti menegaskan bahwa pendidikan adalah medan pertempuran material. Perang kelas tidak hanya terjadi di lantai pertokoan dan garis demonstrasi, tetapi juga di ruang kelas, dewan sekolah, dan platform digital. Mereka yang mengontrol pengetahuan membentuk batas-batas imajinasi. Jika kita ingin membangun masa depan sosialis, kita harus mengorganisasi pikiran dan juga gerakan. Dalam tugas ini, Paulo Freire bukan hanya sebuah referensi sejarah, tetapi juga sebuah panduan strategis.

Membaca Freire secara serius berarti menerima sebuah kewajiban politik: berorganisasi dengan kaum tertindas, membangun institusi-institusi tandingan terhadap hegemoni, dan melawan penjajahan atas kesadaran. Proyeknya masih belum selesai—tetapi jauh dari kata tidak aktif.

Tulisan ini sebelumnya diterbitkan di MR Online dengan judul Pedagogy and Class Power: Reclaiming Freire in an Age of Reaction. Diterjemahkan dari bahasa Inggris dan diterbitkan ulang di sini sebagai pembelajaran.

Untuk kritik serta saran yang membangun, silakan tulis di halaman kontak.

Catatan

  1. Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (Continuum, 1970).
  2. Peter McLaren, “Revolutionary Pedagogy,” Monthly Review 57, no. 10 (2006).
  3. Vanessa Barbara, “Bolsonaro’s War on Education,” New York Times, May 8, 2019.
  4. Henry A. Giroux, On Critical Pedagogy (Bloomsbury, 2011).
  5. Ruy Mauro Marini, “Dialectics of Dependency,” Monthly Review 23, no. 3 (1974).
  6. Marini, “Dialectics of Dependency.”
  7. Audrey Watters, “The Algorithmic Future of Education,” Hack Education, 2017, hackeducation.com.
  8. Neil Selwyn, “Ed-Tech and the Ideology of Silicon Valley,” Learning, Media and Technology 41, no. 3 (2016).
  9. Wendy Brown, In the Ruins of Neoliberalism (Columbia University Press, 2019).
  10. Barbara, “Bolsonaro’s War on Education.”
  11. Giroux, On Critical Pedagogy.
  12. Freire, Pedagogy of the Oppressed.
  13. MST Brazil, “Our Education Practices,” MST Official Website, 2022, http://mstbrazil.org.
  14. South African and Palestinian grassroots education reports, compiled by Education International.
  15. McLaren, “Revolutionary Pedagogy.”
  16. Giroux, On Critical Pedagogy.
  17. Freire, Pedagogy of the Oppressed.