Tahun 2022 dalam 20 Buku

Dari teori radikal, analisis sosial hingga sastra satire, buku-buku berikut bisa menjadi opsi yang baik untuk memahami apa yang terjadi sepanjang tahun ini.

2022 dalam buku
  • Matinya-Epidemiolog-Ekspansi-modal-dan-pandemi-Covid-19-Rob-Wallace-FC
    Original price was: Rp80.000.Current price is: Rp77.600.
    3% off!

Buku ini begitu cemerlang, dengan kedalaman, jangkauan dan keberanian pemikiran yang luar biasa. Rob Wallace memang unik. Dalam buku “Matinya Epidemiolog” memahami pandemi COVID-19 tidak seperti penelitian lain yang pernah saya temui. Buku ini ditulis dengan pemikiran radikal dalam arti yang paling baik. Ditulis dengan sempurna, dengan penuh kekesalan, kefasihan ala punk-rock, dan dengan amarah.
(Ben Ehrenreich, penulis buku “Desert Notebooks: A Road Map for the End of Time”)

Di tengah puing-puing bangunan akibat bencana, para pengusaha dan penguasa datang membawa segepok program dengan dalih untuk pemulihan ekonomi. Dalam buku ini, Naomi Klein menganalisis kondisi tersebut dan menyebutnya sebagai kapitalisme bencana. Baginya, kapitalisme bencana adalah proses politik yang memanfaatkan kepanikan warga akibat bencana, dengan memaksakan berbagai kebijakan yang menguntungkan pemilik modal. Di Indonesia, lahirnya Omnibus Law Cipta Kerja hingga depolitisasi KPK, tidak terlepas dari politik pasca-bencana yaitu pandemi COVID-19. Dalam penyelidikan di buku ini, penulis juga menunjukkan bagaimana kapitalisme bencana telah melemahkan gerakan rakyat dan merugikan masyarakat secara luas, serta potret perlawanan terhadap kebijakan neoliberal pasca-bencana.

McMichael menyuguhkan suatu narasi begitu memikat yang memudahkan kita untuk memandang gambaran besar: dimensi-dimensi geopolitik dan ekonomi-politik dari pangan kita … memahami bagaimana rezim pangan dominan hari ini menyeruak—yang memosisikan sistem pertanian-pangan sebagai pelayan arus keuangan dan sirkuit komoditas transnasional—adalah langkah awal yang tak bias ditawar menuju pembaharuan.
—Olivier De Schutter, Pelapor Khusus United Nations untuk isu hak atas pangan

“Datangnya Pagebluk” yang terus berulang adalah sebuah pertanda, bahwa ada yang salah dalam sistem ekonomi kita saat ini. Mike Davis dalam buku ini menelusuri akar ilmiah dan politik yang memungkinkan virus menjadi sangat berbahaya dan menyebar begitu luas dengan tanpa hambatan. Buku ini merupakan perluasan dari analisis Davis tentang bencana influenza tahun 1918 yang menewaskan sedikitnya 40 juta orang dan wabah flu burung pada awal abad ke-21, kemudian ditambah studi kasus terkait pandemi COVID-19.

Keranjingan Bola adalah memoar seorang penggemar sepakbola. Sebagian besar buku ini bicara tentang Arsenal, klub yang digilai oleh Nick Hornby, penulis buku ini, namun karena rentang waktu yang dicakupnya, yaitu dari akhir ’60an hingga awal ’90an, buku ini juga dianggap sebagai referensi penting bagi sepakbola Inggris, dan secara lebih luas juga sejarah sosial Inggris.

Telah terjual jutaan kopi, dan juga diadaptasi ke dalam dua film, buku ini memenangkan ajang penghargaan paling bergengsi buku olahraga, William Hill Sport Books of The Year, pada 1992, dan dianggap sebagai salah satu buku terpenting bagi kebangkitan kepenulisan sepakbola pada akhir abad ke-20.

Kita mengenal Nawal El Saadawi sebagai feminis sekaligus sastrawan Arab, namun kerap kita tak tahu apa yang ia perjuangkan dari hak-hak perempuan dan dari tradisi feminis mana ia tumbuh. Buku ini, yang berisi kumpulan wawancaranya dengan wartawan-wartawan internasional sekaligus cerpen-cerpen feminisnya, akan mengantarkan kita kepada pemahaman yang kurang-lebih utuh terhadap ketokohan ‘Simone de Beauvoir’-nya Arab itu. Ketika ditanya berasal dari tradisi feminis mana, apakah Marxis, liberal, Freudian, atau yang lainnya, ia menjawab tidak berasal dari tradisi mana pun. Perjuangannya dalam membela perempuan di dunia Arab tidak ada contohnya dalam sejarah. Kemudian, ia membeberkan landasan teoretis dari corak feminisme yang ia kembangkan.

  • CBUL-2021-FCover
    Out of stock
    Original price was: Rp86.500.Current price is: Rp83.040.
    4% off!

Pornografi sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Papirus Mesir dari masa 1150 SM telah menggambarkan berbagai adegan yang bisa dipersamakan dengan foto-foto di majalah porno era 1970an. Saat reruntuhan kota Pompeii yang ditelan oleh letusan Gunung Vesuvius pada 79 M ditemukan kembali, berbagai artefak dengan gambaran yang sangat seksual juga turut dijumpai di sana.

Seiring dengan perkembangan teknologi, mulai dari mesin cetak hingga internet, hasrat dan fantasi seksual manusia pun kini diarsipkan, dicetak, disimpan, dan disebarluaskan. Siapa pun kini yang memiliki ponsel berkamera sudah bisa membuat karya pornografinya sendiri. Bukan rahasia pula bila banyak orang yang mengutuki seks dan pornografi di ruang publik, diam-diam juga menikmatinya secara pribadi. Big data dari perilaku berinternet masyarakat menunjukkan bukti yang tak bisa ditutupi oleh moralisme publik.

Odessa tak hanya sebuah tempat. Ia kisah tentang Benya “Sang Raja” Krik, Froim Grach Si Mata Satu, Lyubka Kazak, serta para gangster, polisi, prajurit, hingga aktor panggung dari Italia. Kisah mereka yang memiliki cara pandang tersendiri tantang apa itu keadilan. Ia juga kisah tentang kaum Yahudi miskin, para pengemis penghuni tanah permakaman, yang dengan senang hati berbagi kisah tentang mereka yang telah dikuburkan. Mereka yang harus kehilangan tempat tinggal dan kehidupan oleh kebengisan pogrom, sebagaimana juga kisah bocah kecil pembohong. Cerita-cerita abadi yang lahir dari tangan Isaak Babel, salah satu warisan kesusastraan dunia dari Rusia abad kedua puluh.

Didasarkan pada riset lapangan yang intens dan panjang, buku ini menyuguhkan analisis  komprehensif mengenai hubungan yang berubah antara kelompok-kelompok ini dengan pihak berwenang dan kekuasaan politik pasca Orde Baru. Dalam mengonsolidasi kuasa kewilayahan mereka di tingkat lokal, kelompok-kelompok ini pada taraf tertentu berhasil merebut legitimasi yang tidak semata-mata dilandaskan pada tindak pemalakan dan kekerasan. Dalam konteks demokrasi elektoral di Indonesia, mereka pun berhasil menjadi perantara antara politik informal jalanan dengan politik formal parlemen. Bagaimana mereka memanfaatkan posisi ini untuk meningkatkan daya tawar mereka, dan bagaimana dunia politik formal memanfaatkan “layanan” mereka akan sangat memengaruhi masa depan kehidupan sosial-politik di Indonesia.

Kesehatan memang mahal. Ongkos obat dan rumah sakit membumbung tanpa kontrol. Adanya penyakit membuat banyak pihak mendapat untung. Sudah biayanya mahal, setiap kesalahan medis sangat sulit untuk diadili. Mahalnya ongkos masih juga diperuncing oleh beredarnya obat palsu.

Soal kesehatan yang tak beres membuat bangsa ini rutin dikunjung wabah. Dari demam berdarah, malaria, TBC, bahkan hingga AIDS. Toh, penyakit ternyata jadi alat pelindung bagi para koruptor. Tiap sidang akan digelar, dengan cepat mereka sodorkan surat dokter ke para hakim. Surat dokter bagi para koruptor, nilainya seperti surat pengampunan.

Orang Miskin-lah yang jadi korban dari sistem kesehatan yang diktator ini. Buku ini meluapkan kembali kemarahan kita akan sistem kesehatan yang tak adil dan diskriminatif. Bagi Anda yang pernah menjadi korban penanganan dokter atau rumah sakit, buku ini menjadi teman berjuang yang tepat. Ayo kita lawan sistem kesehatan yang menindas ini!

Tochtli tinggal di dalam sebuah istana. Ia senang mengoleksi topi, membaca kamus, menonton film samurai, dan mengagumi orang-orang Prancis serta alat pemotong kepala. Ia bisa mendapatkan semua yang ia inginkan sebab ayahnya seorang bandar narkoba. Tapi yang paling Tochtli inginkan saat ini adalah kuda nil kerdil Liberia, dan sayangnya hewan itu tidak bisa dibeli di toko hewan piaraan, lebih-lebih Tochtli hidup di Meksiko, sebuah negara dunia ketiga yang celaka—meski terkadang juga luar biasa.

Sebagai orang Indonesia, yang negerinya, Republik Indonesia (diproklamasikan tahun 1945) termasuk negara pertama mengakui berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (1949), … Aku pun ingin mengerti dan memahami sekitar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan politik seperti apa yang ditempuh Tiongkok dewasa ini.

Bukankah Ir. Soekarno—salah seorang pemimpin besar perjuangan kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, Bapak Nasion, Proklamator Kemerdekaan Indonesia, serta Presiden pertama Republik Indonesia—dengan tegas menunjukkan bahwa untuk tujuan keadilan, kemakmuran, dan kejayaan, Indonesia harus membangun negara yang sosialis. Kalau kita bertolak dari Undang-Undang Dasar dan dasar falsafah negara, yaitu Pancasila, maka jalan yang hendak ditempuh Indonesia, adalah jalan sosialisme.

Oleh karena itu, seyogianya Indonesia menarik pelajaran dari negeri-negeri lain yang juga membangun sosialisme, a.l. dari Republik Rakyat Tiongkok.

Untuk tujuan tersebut, selain menjenguk kawan-kawan seperjuangan lama orang-orang Tiongkok dan teman-teman Indonesia yang bermukim di Tiongkok, selama dua minggu, dari 26 Mei s.d. 8 Juni 2013, bersama Murti, aku berkunjung (lagi) ke Tiongkok.

“Buku karya Wildan Sena Utama ini memberikan tinjauan terkini tentang studi mengenai KAA dan menempat­kannya dalam konteks historisnya. Yang lebih penting lagi, risetnya didasarkan pada penelitian arsip multinasional. Selain dokumen yang pernah diterbitkan, Wildan telah melakukan penelitian di Institut Internasional Sejarah Sosial di Belanda dan Arsip Nasional Republik Indonesia. Penggunaan dokumen-dokumen Indonesia secara khusus memberikan wawasan baru mengenai kebijakan negara tuan rumah—dan de­ngan demikian mengembalikan peran Indonesia dalam sejarah internasional abad ke-20.”
— Jürgen Dinkel

Esai-esai dalam buku ini, merupakan kolom mingguan Impian Nopitasari di Detik kurun Februari 2021-Januari 2022. Ditulis ketika pandemi mengepung kita dalam kecemasan dan ketegangan.

Ia menyuguhkan kisah keseharian yang diperoleh dari interaksi dunia nyata maupun dunia maya. Menawarkan cara pandang terhadap peristiwa dengan gaya penyampaian yang terkesan “julid” dan “humoris”, namun diam-diam kita nikmati dan ikut mengamini.

Buku Dari Belakang Gawang merupakan kumpulan esai karya Darmanto Simaepa dan Makhfud Iwan. Buku ini berfokus pada persoalan sepak bola di berbagai negara. Sebelumnya, Mahfud dan Darmanto menulis esai-esai sepak bola di blog Belakang Gawang tahun 2010. Sejak saat itu, Belakang Gawang menjadi tolak ukur penulisan esai sepak bola yang ditulis oleh generasi lebih muda. Buku ini akan menyoroti tiga kompetisi internasional terbesar, yaitu Piala Dunia, Euro atau Piala Eropa, dan Copa America.

Dalam buku ini, Trotsky sungguh efektif dan militan dalam memperjuangkan gagasan moral di medan perjuangan rakyat. Pembelaan monumental atas moralitas revolusioner itu ditujukan Trotsky kepada kaum intelektual di zamannya yang merasionalisasi Marxisme revolusioner sebatas sebagai ide abstrak tentang moralitas demi menyalurkan kegenitan intelektual mereka dan bukan untuk memenuhi kebutuhan perjuangan kelas yang sesungguhnya.

Memang, sejak saat itu hidup saya banyak berubah. Prioritas hidup saya berganti. Ada banyak hal yang harus saya pikirkan dan rancang ulang. Selanjutnya, saat bulan Agustus berganti jadi September 2019, status saya pun kontan berganti. Saya beralih dari status pegawai kantoran menjadi pengurus domestik di rumah. Ada hal-hal yang tak bisa saya dapat lagi seperti sebelumnya. Saya tak bisa lagi leluasa bertemu kawan dan kenalan di luar rumah kapanpun saya mau. Buku ini merupakan kumpulan surat untuk anak dari seorang ayah yang memilih tinggal di rumah dan mengambil wilayah domestik dengan penuh sadar.

Lorenzo Fioramonti membongkar “kandungan” PDB dan menguak kepentingan-kepentingan politik yang memungkinkannya mendominasi perekonomian dunia saat ini. Ia juga menunjukkan beragam alternatif yang tengah diuji oleh berbagai negara, lembaga, dan organisasi sebagai ganti PDB.

Terinspirasi dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Coelho sendiri, Veronika Memutuskan Mati mempertanyakan arti kegilaan dan merayakan individu-individu yang dianggap tidak normal berdasarkan standar yang berlaku di masyarakat. Berani dan mencerahkan, kisah ini menggambarkan wanita muda yang berada di persimpangan, antara putus asa dan keinginan untuk bebas, serta apresiasi atas setiap hari yang membawa harapan baru.

Paling sedikit dua belas tahun waktu dihabiskan untuk bersekolah. Masa yang lama dan menjemukan jika sekadar mengisinya dengan duduk, mencatat, mendengarkan guru berceramah di depan kelas, dan sesekali bermain.

Sekolah memang bisa mencetak seseorang menjadi pejabat, tetapi juga penjahat.

Masihkah pantas sekolah mengakui diri sendiri sebagai pemeran tunggal yang mencerdaskan dan memanusiakan seseorang?

Pertanyaan sederhana ini dikedepankan kepada mereka yang terutama masih sangat percaya pada keampuhan satu lembaga yang bernama SEKOLAH!

Open chat
Tanyakan sesuatu!
Lal Salaam!
Tanyakan sesuatu. Kami adalah manusia sungguhan.