Sebuah Pertaubatan Lingkungan

Kerap kali perubahan iklim atau climate change digaungkan di dalam kelas-kelas sekolah sebagai upaya menyadarkan pentingnya menjaga lingkungan, setidaknya di rumah dan tempat terdekat. Namun, dengan sangat sadar juga–manusia masih mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di muka bumi dengan tetap menggunakan energi kotor yang seolah-olah murah.

Sangat penting bagi Saya untuk mengabarkan bagaimana climate change bisa terjadi, siapa yang bertanggung jawab atasnya dan bagaimana kotak pandora akan sedikit terbuka jika masalah lingkungan ini tidak segera teratasi.

Hari ini manusia hidup di zaman keemasannya (**terima kasih pada kapitalisme**). Manusia dapat melakukan semuanya dengan sangat cepat. Berpergian, berkomunikasi, memproduksi, sampai menemukan vaksin COVID-19. yang sebelumnya diprediksi membutuhkan setidaknya 1 tahun pengembangan. Namun, semua kemudahan itu datang bukan tanpa konsekuensi—Metana dan Karbon adalah konsekuensi dari segala kemudahan itu.

Cerobong pembuangan pabrik (Elle-photoart)

Setiap kali kita menyalakan gadget, menyalakan mesin air, pergi berkencan dari hasil match tinder, sampai membaca tulisan ini, ada jejak karbon yang melayang mencemari udara. Mengonsumsi daging sapi atau hewan ternak lain, serta membuang sampah organik yang ujungnya hanya menumpuk di TPA–menghasilkan gas metana yang menahan panas matahari di atmosfer.

Mengetahui bahwa hampir setiap aspek kehidupan Saya sebagai masyarakat urban—menyumbang emisi di setiap gerak, membuat Saya bertanya: Apa yang bisa saya lakukan? Dosakah Saya jika abai akan hal ini? Sedemikian suram kah hidup sebagai manusia?

Johanis Abraham adalah seorang konten kreator. Upaya menulisnya berangkat dari sebuah platform animasi edukasi di Yogyakarta. Menghabiskan hari-harinya sebagai pekerja lepas dan menekuni penulisan rima sebagai rapper.

terdapat banyak diskursus terkait upaya pencegahan serta upaya pemulihan lingkungan. Mulai dari diet plastik, memilah sampah, penggunaan energi baru terbarukan (EBT), mobil listrik, menanam lebih banyak pohon, vegan, dan yang paling ekstrim kembali pada kehidupan primitif.

Sejak isu ini berkembang, semua negara, perusahaan, partai politik, NGO sampai anak pramuka berlomba-lomba melakukan pembentukan hutan (aforestasi). Bukanlah sebuah sains rumit untuk memahami bagaimana cara kerja pohon sebagai bank karbon alami. Secara perhitungan tentu saja menanam pohon menjadi salah satu solusi yang terbilang mudah sehingga kerap kali kita menjumpai program-program aforestasi. Tapi beberapa penelitian terkini menunjukan bahwa selain tidak efektif, upaya aforestasi akan membawa masalah lain[1]Ashraf, Usman. (2018). Marginalized by Conservation: The Billion Tree Tsunami Project.[2]Ge, J., Pitman, A. J., Guo, W., Zan, B., dan Fu, C.: Impact of revegetation of the Loess Plateau of China on the regional growing season water balance, Hydrol. Earth Syst. Sci., 24, 515–533, … Continue reading. Kebanyakan program tidak direncanakan dengan matang seperti memulainya di musim yang tidak tepat, menanam secara monokultur yang bisa mengganggu keragaman hayati, menghabiskan lahan yang seharusnya bisa digunakan untuk agrikultur. Dan lebih sia-sianya lagi, efektivitas hutan buatan tidak lebih dari 3% dibanding hutan alami dan keragaman hayati di dalamnya.[3]Early, Catherine. (2021). The ‘messy’ alternative to tree-planting: Trees are excellent at taking carbon out of the atmosphere and trapping it in their trunks, roots and leaves. But what … Continue reading

Warga Desa Maharashtra meningkatkan penghijauan (IANS)

Dengan sangat bersemangat, Saya akan mengajak kamu untuk menengok sejarah dan akar atas permasalahan ini. Pada tahun 1760 Inggris telah memulai sebuah titik baru—titik di mana revolusi industri muncul dengan masifnya penggunaan mesin uap yang menggunakan batu bara dan makin banyaknya pabrik yang berdiri. Peristiwa tersebut dicatat sejarah sebagai titik kemajuan ekonomi, kecepatan produksi dan tentu saja lonjakan emisi pertama di bumi. Dan sejak saat itu banyak negara begitu teradiksi akan energi fosil dengan dalih perkembangan ekonomi.

Sebelum terpapar ekonomi politik, ada beberapa hal yang coba saya lakukan sebagai upaya ikut andil dalam penyelamatan bumi. Mengurangi penggunaan plastik, thrifting, mandi dengan air yang lebih sedikit, belajar berkebun secara organik, memilah sampah, sampai menjadi vegan setelah menonton cowspiracy. Namun, tentu saja.. Climate change tetap terjadi dan mengancam anak–cucu saya kelak.

Saya sadar betul bahwa semua perubahan dimulai dari diri sendiri, mengajak orang lain untuk ikut peduli juga dapat dilakukan.Tapi sampai kapan ini semua menjadi beban yang harus ditanggung oleh semua orang? Apakah beban ini juga harus dipikul oleh orang-orang Baduy Dalam? Apakah desa-desa di Kabupaten Belu masih harus gelap gulita di malam hari? Apakah masyarakat Indonesia tetap harus diet daging sapi? Saya rasa tidak.

Saya yakin bahwa kapitalisme dan pemilik modal yang harus bertanggung jawab atas permasalahan lingkungan ini. Kebutuhan akan profit yang harus dipenuhi setiap tutup buku menghasilkan berbagai upaya dalam memasarkan produk dan membuat masyarakat untuk berhasrat mengkonsumsi dan terus mengkonsumsi. Kenapa ada banyak sekali diet yang dibebankan kepada orang-orang—tapi tidak dengan profit yang jelas-jelas mengabaikan nilai guna dan fungsi dari aktivitas produksi?

PLTU Cirebon (Dinda, Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon)

Mari lihat PLN yang pada saat ini masih memproduksi listrik sampai melebihi daya serap sampai dengan rata-rata 40% di setiap daerah[4]Muliawati, Firda Dwi. (2023). Alamak, 40% Listrik Indonesia ‘Nganggur’. CNBC Indonesia. Saya rasa wajar untuk mulai mempertanyakan: lantas kenapa masih membakar batu bara? Apakah warga Jakarta menghirup polusi yang sia-sia? Bagaimana dengan industri lain? Berapa banyak makanan yang dimasak dan berakhir di tempat sampah karena tidak terjual? Berapa banyak baju yang hanya tertumpuk di warehouse menunggu untuk terjual? Berapa jumlah karbon dan metana yang dihasilkan dari moda produksi seperti ini?

Dengan mengabaikan polusi udara saja, terdapat 7 juta kematian prematur setiap tahunnya[5]Air pollution; impact. WHO. Diakses pada 6 September 2023.. Secara statistik, 3 kali lebih mematikan daripada COVID-19 yang berlangsung selama 3 tahun. Diprediksi jika manusia tidak melakukan sesuatu untuk merubah climate change, suhu global akan naik 4 derajat di tahun 2060. Dengan demikian akan ada lebih banyak pengungsi, lebih banyak gagal panen, lebih banyak banjir dan cuaca ekstrim, dan profit tidak bisa melindungimu.

Dan untuk saat ini yang paling kita butuhkan untuk tetap bertahan hidup bukan hanya diet. Namun bertanya lebih jauh. Apakah alasan ekonomi cukup untuk membuatmu merelakan bumi? Apakah ini saat yang tepat untuk merubah sistem? Apakah sosialisme adalah yang benar-benar kita butuhkan? Karena tampaknya climate change tidak mempedulikan pertobatan lingkungan individu.

References

References
1 Ashraf, Usman. (2018). Marginalized by Conservation: The Billion Tree Tsunami Project.
2 Ge, J., Pitman, A. J., Guo, W., Zan, B., dan Fu, C.: Impact of revegetation of the Loess Plateau of China on the regional growing season water balance, Hydrol. Earth Syst. Sci., 24, 515–533, https://doi.org/10.5194/hess-24-515-2020, 2020.
3 Early, Catherine. (2021). The ‘messy’ alternative to tree-planting: Trees are excellent at taking carbon out of the atmosphere and trapping it in their trunks, roots and leaves. But what if planting them wasn’t the solution?. BBC.
4 Muliawati, Firda Dwi. (2023). Alamak, 40% Listrik Indonesia ‘Nganggur’. CNBC Indonesia
5 Air pollution; impact. WHO. Diakses pada 6 September 2023.

Buku yang tak ingin Anda lewatkan

Share your thoughts

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Mulai percakapan
Hai PAPERBUK!
Ada yang bisa kami bantu?

Kami adalah manusia sungguhan, coba hubungi kami!