Seabad Pramoedya dan warisan perjuangannya

PRAM-ISAK
Dari kiri ke kanan: Yoesoef Isak, Mahbub Djunaedi, Pramoedya.

Pramoedya Ananta Toer, atau yang akrab disapa Pram, adalah sastrawan Indonesia yang namanya tak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan ketidakadilan. Lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, Pramoedya menulis karya-karya yang menggugah kesadaran sosial dan politik. Keterlibatannya dalam dunia sastra dan politik membuatnya sering dikaitkan dengan gerakan kiri, meskipun ia sendiri lebih memilih untuk disebut sebagai humanis. Karya-karyanya, seperti Tetralogi Buru, menjadi bukti bagaimana ia menggunakan sastra sebagai alat untuk menyuarakan perlawanan terhadap penindasan kolonial dan rezim otoriter. Dalam kesempatan lain, Pram mengatakan; bahwa sastra harus memihak pada mereka yang tertindas. Sebuah prinsip yang sejalan dengan semangat gerakan kiri.

Gerakan kiri di Indonesia, terutama pada masa pra dan pasca kemerdekaan, memiliki pengaruh besar dalam membentuk pemikiran Pram. Ia bergabung dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan “kiri” yang mengikatkan diri dalam perjuangan nasional di masa Soekarno. Melalui karya-karyanya, Pram menyuarakan aspirasi rakyat kecil dan mengkritik ketimpangan sosial yang terjadi pada masanya. Pram sering kali menggambarkan perjuangan kelas bawah melawan sistem yang menindas, seperti dalam novel Gadis Pantai, yang mengisahkan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan miskin di bawah sistem feodal. Namun, keterkaitannya dengan gerakan kiri membuatnya harus menghadapi berbagai tekanan politik, terutama setelah peristiwa 1965. Pram dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan selama lebih dari sepuluh tahun karena dianggap sebagai ancaman politik. Buku-bukunya dilarang beredar, dan namanya dianggap tabu untuk disebut.

Meskipun demikian, Pramoedya tetap teguh pada prinsipnya untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan melalui tulisan. Keterkaitannya dengan gerakan kiri bukanlah sekadar ikatan ideologis, melainkan lebih pada komitmennya untuk membela mereka yang tertindas. Melalui karya dan hidupnya, Pramoedya mengajarkan pentingnya keberanian untuk melawan ketidakadilan, sebuah warisan yang terus menginspirasi hingga hari ini.

Saat ini, kurang lebih 50 karya Pram yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke 42 bahasa. Banyak yang melihatnya sebagai lambang pemberian harapan, keberanian, kejujuran dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Cuplikan-cuplikan kalimat dalam karya Pram juga sering dicomot untuk berbagai kepentingan, di antaranya “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Dari situ kemudian banyak kalangan berbondong-bondong menulis. Sayangnya mungkin hanya untuk pengakuan. Padahal, sekali lagi, dalam wawancaranya (Saya Pupuk Bawang Lekra), Pram menceritakan kenapa dia dengan keras mengkritik orang-orang yang menulis “bebas”. Orang-orang yang berkarya tanpa ada hubungannya sama sekali dengan realitas sosial, dengan hubungan-hubungan sosial yang sedang terjadi.***

Pram meninggalkan banyak warisan berharga; bahwa dalam setiap zaman, selalu ada ruang untuk memperjuangkan kebenaran dan kemanusiaan. Mari kita terus belajar dari perjalanan hidupnya dan meneruskan semangatnya dalam bentuk yang relevan dengan konteks kekinian. Dan jika Pram terdengar berpesan menulislah untuk keabadian, maka tulisan yang abadi adalah yang mencerahkan, menyehatkan dan menerjang ketidakadilan!

Selamat ulang tahun guru Pram! Panjang umur warisan perjuanganmu!

Buku-buku Pram dan tentang Pram yang ada di rak PB*

Share your thoughts

Open chat
Tanyakan sesuatu!
Lal Salaam!
Tanyakan sesuatu. Kami adalah manusia sungguhan.