Author (with AI) by Moh. Fikri Zulfikar*

Di masa lalu, kita mengenal penyensoran buku sebagai tindakan represif yang gamblang: buku-buku disita, dibakar, atau dilarang beredar karena dianggap subversif, berbahaya, atau bertentangan dengan ideologi penguasa. Sejarah mencatat peristiwa-peristiwa semacam ini sebagai bentuk kekerasan terhadap kebebasan berpikir, mulai dari pembakaran buku oleh Nazi di Jerman hingga larangan terhadap karya-karya sastra di era Orde Baru Indonesia. Namun, seiring waktu, bentuk penyensoran itu mengalami transformasi yang lebih subtil, tidak lagi dilakukan dengan kekerasan fisik, tetapi melalui kebijakan dan ketidakpedulian yang sistemik.

Saat ini, penyensoran buku tidak datang dari api unggun di alun-alun kota, melainkan dari tag harga yang melambung tinggi di rak-rak toko buku. Setiap tahun, harga buku mengalami kenaikan yang signifikan, menjadikannya barang mewah alih-alih kebutuhan pokok intelektual. Bahkan untuk buku pelajaran sekalipun, orang tua siswa di sekolah-sekolah negeri kerap mengeluh karena harus membeli buku-buku yang seharusnya bisa diakses secara gratis atau melalui perpustakaan sekolah. Inilah bentuk penyensoran yang tak kasatmata: membatasi akses melalui mekanisme pasar yang tidak ramah terhadap masyarakat kelas bawah.
Moh. Fikri Zulfikar adalah pengajar di Universitas Islam Tribakti Lirboyo dan Universitas Negeri Malang (UM). Mengambil program Sastra Indonesia di UM, ia mempertahankan tesisnya berjudul Resistensi Kaum Tani dan dalam Cerpen-Cerpen Sastrawan Lekra di Harian Rakjat: Kajian Pragmatik. Ia juga sempat menjadi wartawan Jawa Pos Radar Kediri (2014-2018). Dan saat ini menjadi redaktur penerbit progresif Bara Books.
Lebih ironis lagi, perpustakaan—yang semestinya menjadi pusat akses literasi—tak luput dari persoalan. Banyak perpustakaan sekolah atau yang diprakarsai oleh komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang sibuk mengurus proposal bantuan dana ketimbang mengembangkan koleksi dan layanan baca yang inklusif. Alih-alih menjadi ruang belajar yang hidup, perpustakaan malah terjebak dalam siklus birokrasi dan proyek, hanya aktif saat ada anggaran yang turun. Buku-buku yang tersedia pun seringkali ketinggalan zaman, kurang relevan, atau tidak menarik minat pembaca muda. Padahal, akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas adalah hak dasar yang seharusnya dipenuhi negara.
Dalam konteks seperti ini, membaca menjadi sebuah tindakan perlawanan. Ia bukan lagi sekadar aktivitas kognitif atau hobi personal, melainkan bentuk perjuangan untuk bertahan di tengah keterbatasan akses, kebijakan yang abai, dan budaya komersialisasi ilmu pengetahuan. Membaca berarti melawan ketidaktahuan yang dipelihara oleh sistem yang enggan mencerdaskan. Membaca berarti memilih untuk tidak tunduk pada kebijakan-kebijakan yang menyuburkan ketimpangan akses informasi.
Perlawanan ini juga berarti meredefinisi hubungan kita dengan buku dan literasi. Banyak anak muda yang kini beralih ke buku-buku digital atau komunitas baca mandiri sebagai alternatif dari ketertutupan akses formal. Gerakan tukar buku, perpustakaan jalanan, klub-klub diskusi yang lahir dari inisiatif warga menjadi bukti bahwa masyarakat tidak diam. Mereka bergerak, mereka melawan, dan mereka mencari celah di balik tembok kebijakan yang tak ramah.

Namun, kita tak bisa terus membiarkan literasi menjadi tanggung jawab individu semata. Negara dan institusi pendidikan harus bertanggung jawab untuk membuka akses yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara. Literasi bukanlah komoditas yang dijual mahal di pasar bebas, melainkan bagian dari hak asasi manusia. Bila akses terhadap buku dibatasi dengan cara apa pun—baik melalui harga, distribusi, maupun infrastruktur—maka sejatinya negara tengah melakukan penyensoran dalam versi yang lebih halus namun tak kalah mematikan.
Penyensoran hari ini memang tidak lagi membakar buku. Tapi ia bisa membakar harapan dan rasa ingin tahu manusia. Ia bisa mengasingkan rakyat dari pengetahuan yang membebaskan. Dan dalam kondisi seperti ini, membaca bukan hanya kegiatan sunyi dalam ruang pribadi, tetapi juga pernyataan sikap: bahwa kita menolak untuk dibungkam, kita menolak untuk dijauhkan dari sumber-sumber pengetahuan.
Maka, siapa pun yang hari ini masih membaca, masih berbagi buku, masih menghidupkan diskusi—mereka adalah pejuang. Di tengah sunyinya dukungan terhadap budaya baca, keberadaan mereka adalah harapan. Membaca adalah perlawanan, dan perlawanan itu adalah bentuk paling awal dari kebebasan.[]
Buku-buku untuk dibaca
- 3% off!
Parnassus Keliling
Original price was: Rp65.000.Rp63.700Current price is: Rp63.700.2% off!- 2% off!
Enggan Jadi Keluarga Fasis
Original price was: Rp88.000.Rp86.240Current price is: Rp86.240.2% off!Keep The Aspidistra Flying
Original price was: Rp89.000.Rp86.330Current price is: Rp86.330.3% off!- 3% off!
- 3% off!