Pada 21 Februari 1848, sebelum seluruh pemberontakan terhadap monarki di Eropa terjadi, Karl Marx dan Friedrich Engels menerbitkan Manifesto Komunis (selanjutnya Manifesto). Berawal dari premis-premis yang hampir tak terlihat di zamannya, Marx dan Engels menggambarkan kesimpulannya. Dan perkembangan sejarah, sepenuhnya diverifikasi. Menjadikan Manifesto satu-satunya teks yang ditulis pada pertengahan abad ke sembilan belas bertahan dengan baik.1 “Para pekerja sedunia, bersatulah!”, “Kita memiliki dunia untuk dimenangkan”, tulis Marx dan Engels, tetap berlaku 177 tahun kemudian. Memang, tulisan-tulisan Marx yang lebih matang tentang moda produksi kapitalis terbit kemudian. Namun semangat Manifesto tetap tak terlampaui. Bahkan di negara kita, Indonesia, pamflet tersebut mengilhami berbagai gerakan yang berkaitan dengan perjuangan kelas dan perubahan sosial.
Pasca kekalahan gerakan kiri pada 1965, dan rezim kanan Soeharto berkuasa, segala hal yang berkaitan dengan “kiri” dilarang. Teks-teks dan buku-buku kiri dibakar. Penerbitan-penerbitan dibredel. Aturan-aturan ditetapkan. Cerita-cerita mengerikan tentang kiri dikarang dan disebarkan. Hal itu membuat kiri; Sosialisme/Komunisme, Marxisme, dan segala hal tentangnya, menjadi asing bahkan tabu untuk dipelajari. Manifesto dibuka dengan kalimat tajam “Ada momok bergentayangan di Eropa”. Kini momok tersebut juga bergentayangan di Indonesia lebih dari 1 abad, bahkan setelah 2 dekade lebih runtuhnya rezim otoriter Soeharto.
Sementara itu, di luar yang jauh lebih baik, sayap kanan juga menargetkan penulis, penerbit, dan penjual buku-buku kiri. Melawan Marxisme dan pemikiran rasional, sayap kanan telah mendorong ide-ide yang tidak ilmiah dan mengaburkan kemanusiaan.2 Melawan hal tersebut, penerbit buku LeftWord Books dan jaringannya menyerukan agar Hari Buku Merah (Red Books Day) diadakan pada 21 Februari 2020. Orang-orang di seluruh dunia diminta untuk pergi ke tempat umum dan mengadakan pembacaan Manifesto dalam bahasa mereka sendiri. Upaya tersebut segera didukung oleh Majelis Rakyat Internasional dan oleh beberapa partai politik, penerbit, toko buku, penulis, dan seniman. Desainer India Orijit Sen membuat logo; Tricontinental: Institute for Social Research mengembangkan serangkaian poster.3
Mengutip booklet “Red Books Day Celebrated on Each Continent”, menggambarkan perayaan Hari Buku Merah;
Dari situlah Hari Buku Merah terus menyebar dan tiba di Indonesia lewat penerbit Marjin Kiri yang tergabung dalam Serikat Penerbit Kiri Internasional (IULP). Kemudian disambut oleh para pembaca dan penjual buku kiri. Perayaan Hari Buku Merah bukan semata merayakan atau memperingati terbitnya Manifesto, tetapi ia adalah bagian dari pergulatan budaya yang lebih luas guna membela hak untuk menulis, menerbitkan, dan membaca buku-buku kiri dan melawan gagasan-gagasan obskurantis kontemporer yang menjungkirbalik nalar[!]4
Kawan, tidakkah kamu tertarik untuk bergabung dan memperingati Hari Buku Merah?
***
Baca juga: Suka Cita Membaca