Description
Buku ini berkisar tentang pemikiran Benedict Anderson perihal bahasa. Dan itu bukan hanya bahasa Indonesia, melainkan pula bahasa secara umum, terutama peran bahasa dalam kebangkitan nasionalisme, baik itu di Eropa maupun di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Filipina. Di sinilah muncul gagasan untuk menulis satu bab khusus tentang bagaimana persisnya dasar-dasar pemikiran Anderson tentang bahasa. Maka lahirlah bab berjudul “Bahasa bagi Benedict Anderson,” yang diharapkan bisa memberi arah pada tiga bab berikut yang mengembangkan lebih lanjut gagasan Anderson ini.
#MaksudPolitikJahat edisi revisi ini antara lain bisa disimak bahwa:
• Ternyata Benedict Anderson juga mengucapkan terima kasih kepada Joss Wibisono dalam beberapa artikel. Sejauh ini berhasil ditemukan dua artikel: pertama, obituari si orang kuat daripada Orde Baru yang memang dikomentari Joss sebelum terbit dan kedua, terjemahan otobiografi Soetjipto (aslinya ditulis awal 1930an), karena Anderson dibantunya mencari tahu riwayat Hans Overbeck seorang peneliti Jerman yang menyimpan naskah otobiografi Soetjipto itu.
• Walau pun sekarang bahasa Jerman sudah tidak lagi digunakan di Ceko, masih ada kenang-kenangan yang ditinggalkan dan hingga kini tetap dapat dibaca, juga di Indonesia. Franz Kafka (1883-1924) adalah penulis keturunan Yahudi yang lahir, hidup dan dimakamkan di Praha. Kafka menulis segenap karyanya dalam bahasa Jerman, bahasa kalangan atas Bohemia (nama Ceko pada abad ke-19).
• Sampai sekarang belum satu pun sastrawan Belanda yang berhasil meraih hadiah Nobel sastra. Kalau suatu ketika akhirnya ada pula penulis Belanda yang dianugerahi hadiah Nobel sastra, pasti sastrawan atau pegiat sastra Belanda lain tidak akan merasa perlu untuk melobi panitia Nobel supaya memperhatikan karya sastra Indonesia. Kenapa? Karena berlainan dengan penulis-penulis di negara-negara bekas jajahan Prancis, Inggris, Spanyol, mau pun Portugal tidak ada satu pun penulis Indonesia zaman sekarang yang berkarya dalam bahasa Belanda, mengikuti jejak-jejak Kartini atau Soewarsih Djojopoespito.
• Dari uraian profesor Wertheim ini dapat disimpulkan bahwa Abendanon telah melakukan seleksi atau pemilihan surat-surat Kartini: yang ini boleh diterbitkan, yang itu tidak. Paling sedikit Abendanon tidak membuka (kepada publik Belanda) kebiasaan para pejabat kolonial Jawa memiliki garwå padmi dan garwå ampil.