13 buku untuk kebutuhan pengetahuan ekonomi-politik kamu

13-ekopol indonesia

Perjamuan Buku (PB) berupaya memberikan buku-buku pilihan sebagai bacaan alternatif. Di antaranya direkomendasikan oleh para tokoh, orang-orang terdekat, hingga pembaca Perjamuan Buku (paperbuk) atau pun pembaca umum.

Tahun-tahun politik mendorong kita untuk mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan politik secara lebih intens. Mulai dari yang praktis hingga dampak panjang yang akan ditimbulkan.***

Kondisi perpolitikan Indonesia saat ini tidaklah lahir begitu saja. Demikian juga dengan dampak yang ditimbulkannya; arogansi politikus, kesenjangan sosial, absennya keadilan hukum, mahalnya pendidikan, beratnya pertarungan mendapatkan pekerjaan dan berbagai persoalan sehari-hari adalah hasil serta cerminan politik kita hari ini.[]

Bertujuan untuk memberikan pengantar pendidikan ekonomi politik, PB telah merilis daftar buku yang dapat menjadi bacaan alternatif buat kamu. Buku-buku ini direkomendasikan secara pribadi, dan mereka akan menginvestigasi, mengintrogasinya, menegasikannya atau bahkan mendukung pemikiranmu tentang persoalan ekonomi politik di Indonesia. Berikut 13 buku untuk kebutuhan pengetahuan ekonomi politik kamu:

Ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan dan survei ahli yang luas, Democracy for Sale menyediakan suatu analisis tentang demokrasi Indonesia yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari rakyatnya. Edward Aspinall dan Ward Berenschot memeriksa jejaring informal dan strategi-strategi politik yang membentuk akses pada kekuasaan dan privilese dalam lingkungan politik kontomporer Indonesia yang morat-marit. Hasil cermatan mereka memperlihatkan bagaimana di setiap tingkatan, institusi-institusi formal dibayang-bayangi oleh dunia gelap koneksi personal dan pertukaran klientelistik.

Indonesia bisa dibilang sebagai negara yang masih berada dalam masa transisi, bahkan kini, dua puluh tahun lebih sejak peralihan dari era otoriter ke demokrasi, dan dari masa krisis ekonomi menuju era pertumbuhan. Faktor-faktor apa yang bisa menjelaskan arah dan jalur peralihan ini? Tantangan apa yang dihadapi negara dengan 270 juta penduduk ini saat kualitas demokrasi terlihat semakin menurun dan ketimpangan sosial-ekonomi menguat?

Tiga peneliti ahli Indonesia penyusun buku ini dengan komprehensif menggali dinamika perpolitikan, perekonomian, serta kehidupan sosial dan budaya Indonesia, termasuk perannya dalam tatanan dunia, dengan menarik kesinambungan dari era prakemerdekaan dan hal-hal yang diwariskannya ke era kemerdekaan, hingga masa pandemi belakangan ini.

Selama 32 tahun berkuasa, Orde Baru telah mengorganisasikan semua lini kehidupan orang Indonesia, dari politik, sosial ekonomi, pendidikan, kebudayaan, juga bentuk keluarga yang baik. Semua gerak diatur dan diawasi. Kejatuhannya pada 1998, yang disusul Reformasi, tidak benar-benar menghapuskan seluruh unsur dan karakteristik pemerintahan Soeharto. Oleh sebab itu, pengetahuan mengenai Orde Baru akan selalu berguna untuk membaca kondisi Indonesia.

Mengenal Orde Baru utamanya ditujukan bagi generasi muda yang memiliki jarak historis dengan Orde Baru. Disusun dalam bentuk ensiklopedis yang mencakup 167 entri, buku ini serupa kamus yang mendedah kata-kata kunci pembentuk Orde Baru: lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat, kelembagaan ABRI, nama-nama penting di lingkar kekuasaan, kebijakan, tragedi kemanusiaan, istilah-istilah khas Orba untuk stigma atau penghalusan makna. Sebuah buku yang berguna untuk menelanjangi kekuasaan.

Buku ini meneroka bagaimana para aktivis kelas-menengah bergumul menentukan dan memaknai posisi mereka dalam gerakan buruh yang terbentuk seturut sejarah panjang perdebatan sengit seputar peran kaum intelektual bukan-buruh. Buku ini melacak diskusi sejarah perburuhan Indonesia serta pemahaman para aktivis perburuhan mengenai pengorganisasian buruh yang berakar pada perdebatan antara kaum Leninis dan Revisionis.

Meskipun kaya dengan data empiris, tetapi sumbangan terpenting buku ini terletak pada penumbuhan pemahaman teoritis mengenai Indonesia zaman Orde Baru. Robison menunjukkan bagaimana kapitalisme berkembang pesat saat Soeharto berkuasa sehingga suatu kelas kapitalis domestik muncul dengan negara sebagai katalisatornya. Ia menjelaskan bagaimana evolusi negara dari zaman kolonial, masa pascakolonial awal serta Orde Baru berhubungan erat dengan pertumbuhan kelas kapitalis itu. Akhirnya, kelas tersebut menjadi penting dalam ekonomi politik Indonesia sehingga setiap pembuatan kebijaksanaan negara di bidang pembangunan harus mempertimbangkan kepentingannya. Bahkan saking perkasa negara pun sudah nyaris dicengkeram dan dikuasai olehnya. Dikotomi penguasa-pengusaha pun jadi tidak relevan sebab keduanya telah menyatu melalui persetubuhan antara modal dan birokrasi negara yang melahirkan keluarga-keluarga politik birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh mekasisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Gagasan-gagasan seperti ini disokong dalam buku Robison oleh penelitian empiris yang begitu rinci sehingga sebagai bonus, para pembaca mendapatkan data tentang seluk-beluk rezim Soeharto yang agak sulit didapatkan karena begitu ketatnya sensor terhadap informasi.

Buku ini berkisar tentang pemikiran Benedict Anderson perihal bahasa. Dan itu bukan hanya bahasa Indonesia, melainkan pula bahasa secara umum, terutama peran bahasa dalam kebangkitan nasionalisme, baik itu di Eropa maupun di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Filipina. Di sinilah muncul gagasan untuk menulis satu bab khusus tentang bagaimana persisnya dasar-dasar pemikiran Anderson tentang bahasa. Maka lahirlah bab berjudul “Bahasa bagi Benedict Anderson,” yang diharapkan bisa memberi arah pada tiga bab berikut yang mengembangkan lebih lanjut gagasan Anderson ini.

Didasarkan pada riset lapangan yang intens dan panjang, buku ini menyuguhkan analisis komprehensif mengenai hubungan yang berubah antara kelompok-kelompok ini dengan pihak berwenang dan kekuasaan politik pasca Orde Baru. Dalam mengonsolidasi kuasa kewilayahan mereka di tingkat lokal, kelompok-kelompok ini pada taraf tertentu berhasil merebut legitimasi yang tidak semata-mata dilandaskan pada tindak pemalakan dan kekerasan. Dalam konteks demokrasi elektoral di Indonesia, mereka pun berhasil menjadi perantara antara politik informal jalanan dengan politik formal parlemen. Bagaimana mereka memanfaatkan posisi ini untuk meningkatkan daya tawar mereka, dan bagaimana dunia politik formal memanfaatkan “layanan” mereka akan sangat memengaruhi masa depan kehidupan sosial-politik di Indonesia.

Reformasi 1998 merupakan episode sejarah Indonesia penting yang mengantarkan kita sampai di titik saat ini. Buku ini mengajak pembaca untuk berhenti di kalender itu, tahun dari puncak-puncak kekerasan politik yang masif.

Tidak semua brutalisme kekerasan politik itu ditampilkan di sini. Buku ini hanya menyoroti secara spesifik pada soal penculikan dan penghilangan paksa para aktivis prodemokrasi.

Buku ini adalah drama lima babak yang ceritanya terjalin lewat operasi penglipingan. Seperti halnya drama, ada babak perkenalan pemain bintang yang diikuti tampilan masalah dan alasan-alasan penculikan (lanskap politik militerisme beserta institusinya).

Lalu, disusul plot cerita yang dijalin banyak sekali tokoh pendukung; dari para jenderal hingga elite-elite politik sipil; dari korban penculikan, keluarga dari korban yang dihilangkan, hingga para bayangkara hukum yang setia menemani dan membuka pintu gelap “kapal selam” kekerasan yang membungkus wajah kemanusiaan). Drama dipungkasi dengan antiklimaks dan gamangnya ruang pengadilan militer.

Setelah dua dekade reformasi, Indonesia telah mengalami demokratisasi secara mengagumkan, khususnya ketika torehan-torehan demokrasinya ditempatkan dalam perspektif komparatif. Namun, ketika kita menilik lebih dekat secara analitis untuk menyigi rezim politik Indonesia, ekonomi-politiknya, serta bagaimana mobilisasi berbasis identitas telah menyeruak, maka akan tampak jelas bahwa Indonesia pasca-Orba masih punya banyak tantangan dalam membangun demokrasi. Beberapa tantangan itu bahkan sangat menekan kuat hingga dapat mengikis atau membalikkan banyak capaian demokrasi yang telah diupayakan dengan susah payah sejak lengsernya penguasa otoriter Soeharto dua dekade silam. Meskipun berhasil mewujudkan banyak inovasi, proses demokratisasi di negara-bangsa ini juga masih dihambat oleh penyakit-penyakit kronik yang menyebabkan kejumudan dan keterbelahan ekstrem (polarisasi). Melalui buku ini, Jamie S. Davidson menggiring kita pada serangkaian pertanyaan: Berapa lama demokrasi Indonesia akan bertahan? Apakah akhir demokrasi sudah dekat? Apakah demokrasi Indonesia bakal runtuh di bawah tekanan nasionalisme Islam garis keras, kekuatan oligarki, dan militer?

Buku ini memberikan gambaran yang relatif rinci, analitis, kritis, mengenai penanganan pemerintahan terhadap hoaks. Dengan menggunakan teori dan metode genealogis Rony melacak upaya pemerintah melakukan pengendalian terhadap hoaks melalui berbagai macam cara. Pertama, dengan menyebarkan pengertian khusus, yang bernada negatif, antara lain dengan mencampuradukkannya dengan pengertian “ujaran kebencian”, “fitnah”, dan sejenisnya. Kedua, dengan memobilisasi kaidah-kaidah jurnalisme konvensional atau cetak yang berbasis teknologi mekanik. Ketiga, dengan menetapkan sebuah perangkat peraturan khusus yang dinamakan Undang-Undang ITE. Semuanya itu dijalankan melalui sebuah proses yang panjang, lika-liku kontestasi, dan negosiasi yang rumit.
— Prof. Dr. Faruk

Banyak perbincangan tentang pekerja, seringkali lebih banyak membahas hubungan mereka dengan negara beserta pilihan politik yang mereka ambil. Masih jarang yang membahas relasi pekerja dengan majikannya, yang dalam konteks kapitalisme kontemporer, para majikan itu telah mengambil bentuk sebagai kelas kapital. Buku ini menawarkan ‘tinjauan awal’ terhadap relasi kelas pekerja dan kapital di berbagai sektor ekonomi Indonesia.

Berbagai ilustrasi relasi kelas pekerja dan kapital pada buku ini sedikit banyak menyingkap bentuk-bentuk pengontrolan kapital dan perlawanan pekerja yang menyertainya. Sebagai suatu ‘tinjauan awal’ terhadap relasi kelas pekerja dan kapital di Indonesia, buku ini diharapkan mampu menyediakan ilham, seberapa pun kecilnya, bagi studi-studi yang lebih menyeluruh di kemudian hari.

Berdasarkan riset selama tujuh tahun, buku ini meneliti bagaimana digitalisasi telah membuat industri media massa di Indonesia mengalami pemusatan dan konglomerasi, yang memungkinkan para oligark pemilik media menjadi semakin kaya sekaligus berpengaruh secara politik. Namun, media digital sebaliknya juga membuka peluang bagi warga biasa untuk menyuarakan kepentingannya dan memperjuangkan perubahan. Dilengkapi wawancara-wawancara langsung bersama para oligark media, politisi, dan pelaku jurnalisme di lapangan, buku ini menunjukkan bagaimana media digital kian menjadi kancah tempur bagi kepentingan yang saling bertabrakan antara oligarki dan warga.

Buku ini mempersoalkan klaim di atas dengan menganalisis dampak penyesuaian neoliberal terhadap melimpahnya surplus populasi relatif, yakni suatu kombinasi antara pengangguran dan proletariat informal di negeri-negeri pinggiran. Berfokus pada lintasan pemba­ngunan Indo­nesia, bu­ku ini berusaha menunjukkan bahwa alih-alih menjadi peng­usaha mikro, mayoritas pekerja informal cenderung menjadi proletariat informal yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai pekerja. Mereka bekerja di luar sektor inti dari produktivitas kapitalis dalam kondisi rentan, terengah-engah untuk sekadar bertahan hidup. Orientasi pembangunan yang dipimpin pasar global, bertentangan dengan klaim untuk menghapus pekerjaan informal, justru cenderung mengabadikannya.

Temukan daftar bacaan lainnya yang direkomendasikan dan disusun berdasarkan tren, kategori, tema hingga daftar yang secara pribadi diberikan kepada Kamu dalam Reading List.

Mulai percakapan
Hai PAPERBUK!
Ada yang bisa kami bantu?

Kami adalah manusia sungguhan, coba hubungi kami!