Oleh Anggi Dameria*

Penulis buku ini sempat menceritakan bagaimana kerabatnya mengernyitkan dahi keheranan ketika mendengar judul buku ini. Mereka bertanya-tanya, kenapa harus mencuci piring? Kenapa tidak dengan berolahraga, memasak, melukis, membuat lagu? Terasa lebih normal gitu, loh. Lagi pula, apa menariknya kegiatan mencuci piring sampai bisa menghalau duka? Tadinya pun aku pikir begitu. Malah sempat kupikir ini sok-sok an edgy aja judulnya.
Anggi Dameria saat ini menjadi diaspora di Tanah Australia. Hobinya baca buku dan sedang terbuka untuk baca buku apapun genrenya. Bisa ditemukan di Instagram @_readtreat
Aku pernah berikrar untuk tidak mau membaca buku self-help. Karena rasanya seperti disuruh-suruh. Dibuat melawan apa yang aku tahu harus aku lawan, dihadapkan realitas kalau ‘Ya, mau nggak mau kamu harus melakukan ini, karena inilah hidup’. Alasan inilah yang membuat aku tidak tertarik untuk membaca buku ini di awal. Aku tidak akan pernah tertarik membaca buku motivasi, self-improvement, dan kawan-kawannya. Karena aku percaya segala perubahan dan rasa butuh pertolongan itu datangnya ya dari diri sendiri.
Hingga seorang teman memberikan satu kalimat ulasan yang sederhana, tapi cukup membuat aku tertarik: Sedihku ditemani oleh buku ini. Sebagai pribadi yang dasarnya suka sad-core, aku jadi penasaran. Aku lalu melontarkan pertanyaan, “Rasanya seperti disuruh-suruh bahagia nggak sama buku ini?”. Jawab temanku “Nggak, rasanya malah dimengerti”. Okay, kuputuskan untuk mencoba membacanya.
Aku senang pada akhirnya aku tidak menuruti kata-kataku sendiri untuk tidak membaca buku self-help. Terlalu sombong untuk mengatakan aku tidak butuh pertolongan. Padahal dengan mengganti pikirku bahwa ini adalah buku memoar, instead of self-help, membuat aku jadi lebih terbuka. Aku mulai tertarik karena di awal buku sang penulis, dr. Andreas Kurniawan, menceritakan dahulu bagaimana kronologi dia kehilangan ayah, lalu anaknya. Apa yang terjadi dengan gangguan kesehatan ayah dan anaknya dengan bahasa kedokteran yang sederhana. Jadi aku merasa seperti baca novel sedih (favoritku!). Lalu pelan-pelan dia memberikan teori tentang kesehatan jiwa. Menceritakan pengalamannya dalam melalui duka berdasarkan teori yang selama ini dipelajari dan bahkan dia minta praktikan kepada pasien-pasiennya. Ironisnya, ia merasa kesulitan melakukan teori yang dulu dia anjurkan tersebut.
Efeknya, setelah membaca buku ini, aku jadi melihat duka sebagai teman. Sesuatu yang harus ada untuk kita bisa lebih menghargai bahagia, menghargai waktu, dan melambatkan waktu untuk melihat dunia yang indah ini. Terdengar klise, ya? Tapi tidak seklise itu kok isi buku ini. Apalagi baru aku tahu bahwa manusia tidak sanggup seterusnya bahagia. Dijelaskan oleh dr. Andreas bahwa dopamin yang ada di otak kita bekerja dengan kontras oleh perubahan. Jadi apabila stimulus bahagia diulang-ulang, justru otak kita jadi terbiasa dan dopamin kita akan turun. Iya, kita tidak bisa seterusnya bahagia dengan alasan yang sama. Tapi kita bisa terus menerus bersedih karena hal yang sama. Karena otak kita bekerja untuk menggali emosi, menggali kenangan, memicu amigdala dan sistem stress sehingga rasa sedih itu terpanggil kembali. Sedih menjadi ada dan bertahan lama, karena fungsinya adalah untuk memproses kehilangan dan memberikan makna.
Ada beberapa bagian yang linger dalam benakku, salah satunya adalah ketika ia membahas tentang manusia sebagai produk penyelesai masalah. Ketika manusia menghadapi masalah, salah satu kekuatannya adalah dengan adaptif memikirkan jalan keluarnya. Sayangnya, manusia adalah produk penyelesai masalah yang buruk. Sering kali cara yang dipilih manusia untuk menyelesaikan masalahnya adalah dengan menghilangkan masalah tersebut, bukan menyelesaikannya. Sehingga banyak masalah yang sebenarnya tidak selesai, dihilangkan paksa, padahal masih ada, dan hanya menunggu bom waktu untuk meledak.
Analogi itulah yang digunakan dr.Andreas dalam buku ini: duka=piring kotor. Dia sifatnya akan selalu ada, dan perlu dibersihkan. Dibersihkan bukan dengan harapan duka itu akan lenyap selamanya. Toh, sama dengan piring kotor, dia akan selalu ada lagi walau setiap hari kita sudah cuci piring. Piring-piring itu juga kan harus digunakan lagi untuk kita makan. Kita sebagai manusia pun juga begitu. Kau bisa menjadi seseorang yang sedang kehilangan, tapi kau tetap menjadi seorang pegawai di perusahaan tempatmu bekerja dan, kau adalah teman dari kawan-kawanmu yang menantikan ceriamu hadir kembali. Iya, kita harus ‘berfungsi’ lagi.
Sebagian manusia juga berpikir ke belakang. Mencari penyebab dari masalah yang dihadapi. Apakah ada hubungannya dengan karma baik dan karma buruk? Dan inilah yang lumayan menggelitik. Baru kusadari bahwa karma tidak bekerja dengan cara seperti itu (ah, kemana aja aku!). Hal baik dan hal buruk akan tetap terjadi kepada mereka semua, Si Baik dan Si Jahat. Dan karmamu adalah respon orang-orang di sekitarmu. Bila karmamu baik, orang-orang akan bersimpati dan menolongmu. Namun bila karmamu buruk, mungkin orang-orang akan berpikir kau pantas mendapatkan hal buruk tersebut.
Buku ini benar-benar mengajarkan untuk mengakui segala perasaan. Memberikan wadah yang aman dan nyaman untuk mengakui segala jenis emosi. Mengingat bahwa semua perasaan itu sama, tidak ada yang positif dan negatif. Sehingga ketika kita jujur mengakui apa yang kita rasakan, kita menjadi lebih bisa meregulasi perasaan tersebut.
Akhirnya, aku juga jadi ingin berterima kasih kepada dr. Andreas Kurniawan. Membaca buku ini seperti sedang mengikuti sesi dengan psikiater yang biasanya biayanya mahal sekali per pertemuan, tapi kita bisa mendapatkannya dengan membaca buku ini. Buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring bukan sekadar bacaan tentang teori psikologi atau motivasi yang klise. Tapi kisah nyata seorang manusia yang rapuh. Yang mau jujur pada dukanya dan mengajarkan kita bahwa kehilangan bukan untuk dilawan atau dihapuskan. Melainkan dipeluk dan dijalani. Dengan gaya bahasa yang sederhana dan bermakna, dr. Andreas berhasil membuat pembaca merasa dimengerti, bukan digurui. Sebuah buku yang bisa menjadi teman perjalanan, terutama bagi siapa saja yang tengah belajar berdamai dengan luka dan kehilangan.
***
Informasi buku yang diulas:
Buku ini berjudul Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring. Ditulis oleh dr. Andreas Kurniawan dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU) pada Desember 2023. Memiliki ketebalan sekira 212 halaman dengan bersampul apik yang digambar oleh Withly.