Taman Tanpa Aturan: Cerita-Cerita Sangat Pendek untuk Anak dan Orang Tuanya

Taman tanpa Aturan
Gambar: Anak-anak Memanjat Pohon di Douala Park, Kamerun (Kiri) dan sampul buku Taman Tanpa Aturan (Kanan).

Taman Tanpa Aturan adalah buku dengan 24 cerita dalam 62 halaman. Itu membuatnya menjadi buku yang benar-benar memuat cerita mini. Itupun juga masih terdapat ilustrasi-ilustrasi sederhana. Ada cerita yang isinya hanya satu paragraf sedang, satu halaman, dan terlihat mengambang di tengah-tengah. Saya jadinya teringat pernah membaca buku semacam itu yang berjudul Matinya Burung-Burung: Kumpulan Cerita Sangat Pendek Amerika Latin terjemahan Ronny Agustinus. Dalam sebuah cerita sangat pendeknya yang berjudul Dinosaurus karya Augusto Monterroso berbunyi, “Ketika ia bangun, dinosaurus itu masih ada di sana”.

Samsul Wahab adalah guru Sosiologi di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Iya, ceritanya hanya segitu.

Bedanya, Taman Tanpa Aturan adalah buku anak-anak, sedangkan buku itu–yang matinya burung-burung, dari kompleksitas bahasanya sepertinya untuk remaja dewasa.

Meminjam apa yang disampaikan Ronny Agustinus dalam pengantar Matinya Burung-Burung itu, kita hidup di era sosial media yang memiliki kecenderungan konten yang singkat dan padat. Secara bentuk kita bisa mengetahuinya dari adanya aplikasi X yang merupakan mikroblog berisi 140 karakter. Selebihnya mungkin seperti konten-konten kesayangkan kita yang amat memanjakan pada reels di Instagram, tiktok, atau Youtube short dan sejenisnya. Hal semacam itu barangkali juga berlaku dalam ‘wacana pojok’ pada koran yang berisi kata-kata sangat singkat dan menggelitik. Dari situ saya ingin mengatakan bahwa sajian cerita, tayangan, atau pendapat singkat sudah sejak lama ada dan akrab dengan kita, kemudian hari ini mungkin menjadi kecenderungan yang semakin menjadi. Barangkali kita semua sudah akrab dengan apa yang disebut brainrot.

Taman Tanpa Aturan bisa jadi salah satu konten yang memberikan alternatif kecenderungan konsumsi kita terhadap konten-konten pendek dan singkat namun dengan efek yang berbeda. Bagaimanapun kampanye untuk mengkonsumsi teks menurut saya perlu didukung dan memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tayangan meski sama-sama singkat dan menghibur. Buku setidaknya membuat otak lebih aktif membangun mental dan imajinasi. Dengan begitu efek kognitif akan lebih banyak diperoleh dengan membaca buku.***

Buku ini akan saya lihat dengan cara sebagaimana saya yang terbilang sudah dewasa ini melihat. Keterkaitan cerita singkat—yang disebut cerita mini, cerita sangat pendek, dan sejenisnya—itu sesuai dengan aktivitas saya yang sudah terbilang sok sibuk pula, pun dengan kondisi minat membaca yang masih labil. Taman Tanpa Aturan akhirnya tetap terbaca dalam kondisi yang demikian.

Ia mengalir tepat dan amat memuaskan.

Tepat karena singkatnya, dan amat memuaskan karena cerita-cerita mini di buku ini meledakkan pikiran saya yang membuat sekonyong-konyong bilang,

“Oh iya-ya, kenapa gak mikir gitu sejak dulu. Bisa aja nih”.

Bagaimana tidak, ledakkan dahsyat itu hanya berasal dari hal-hal yang sederhana dan barangkali hampir semua pernah memikirkan dan mengalaminya. Misalnya seperti dalam cerita Rambut Jeruk Alma. Dulu ketika masih kecil saya pernah berdebat dengan teman kalau makan buah beserta bijinya bisa membuat buah bisa bertumbuh di dalam perut. Waktu itu, saya dan teman-teman saya tentu sangat takut akan jadi sakit “usus buntu” dan akhirnya selalu memisahkan biji setiap makan buah..
Jujur saja, cerita Rambut Jeruk Alma itu sering saya bacakan secara lantang ke teman-teman saya yang berusia 30an dan kebanyakan respon mereka juga kurang lebih tertawa dan bilang “oh iya-ya!”.

Cerita-cerita mini dalam buku ini tidak disusun urut dan bisa kita ambil secara acak– sambil merem, dari belakang, dari depan, dari tengah-tengah, dari tengah-tengah agak depan, lalu udah dapat satu, kita ambil, dan kita lempar: boom!

Selanjutnya, saya juga akan mengatakan buku ini sebagai buku yang sangat serius. Ia lugu, lugas, dan menohok. Terutama untuk orang-orang dewasa. Mereka akan berpikir beberapa kali dari pesan yang disampaikan. Buku ini bisa menjadi diskusi yang mendalam antara anak-anak, remaja, dan orang dewasa, juga pemerintah, negara, pemimpin dunia, anggota Dewan Keamanan PBB, alien, dan terutama Israel yang jahat, tanpa terpisah dari keadaan sesungguhnya. Buku ini menjadikan pihak-pihak yang berdiskusi di sana tersebut, akan merasakan pengalaman bersama, mengalami dan dialami, lalu mencoba merumuskan solusi bersama. Lihat saja nanti kalau baca pada cerita Perang Hebat Dua Negara.

Cerita bermanfaat lain bagi relasi interpersonal juga ada dalam cerita Cendera Air Mata. Ia kritik simbolis, kritik yang amat pedas bagi orang-orang yang suka menjual kesedihan. Maksudnya, bagi yang suka memanfaatkan kesedihan bukan untuk menolong tapi demi keuntungan pribadi.

Atau bahkan buku ini memang sengaja ditulis untuk mengkritik kehidupan orang dewasa dengan cara sebagaimana cerita anak atau bagaimana anak-anak berpikir: jujur dan lugu. Aku mulai curiga dengan itu di dalam cerita yang cukup kurang ajar berjudul Nenek yang Senang Makan Es Krim. Mungkin ini upaya Noor H. Dee, pengarangnya, dalam mengkritik kehidupan mapan dan penguasa dunia, yaitu orang-orang dewasa melalui perspektif anak-anak. Kehidupan orang dewasa ini selain penuh dengan intrik dan kebohongan; kejahatan; mereka terkadang lebih kekanak-kanakan dari anak-anak. Dasar orang dewasa Drompil!

Buku ini terbitan Marjin Kiri dalam seri Pustaka Mekar. Karya bacaan yang diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja. Saya telah membaca tiga judul dalam seri ini, termasuk buku ini. Dan semuanya, bagi saya masih selalu berhasil menghibur, menggelitik, menginspirasi, sekaligus secara tak sadar juga memahami realitas dan permasalahan sosial yang memang terjadi, yang sudah maupun belum diketahui. Saya apresiasi ide seri ini, dan barangkali kurasinya juga memang hebat-hebat.

Menyudahi agar tidak lebih panjang, saya berpesan bahwa buku ini memang sangat cocok untuk mengisi waktu-waktu yang terjepit. Namun janganlah sampai kita selanjutnya, mencap buku lain yang tidak lebih atau sama pendeknya sebagai buku yang membosankan dan tidak menyenangkan. Jika seperti itu ingatlah proses dari belajar: memang sulit dan tidak menyenangkan!
Belajar, seberapapun tidak menyenangkan itu, selalu tetap lebih baik bagi kita sebagai pembaca daripada hanya ketagihan tayangan-tayangan pendek di genggaman, yang membuatnya larut merebah seharian buat scrolling. Itu berbahaya Drompil!

Samsul Wahab adalah guru Sosiologi di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Buku yang diulas

Share your thoughts

20% September