Oleh Isaac Saney*

Dalam salah satu aksioma integritas revolusioner yang paling abadi, Amílcar Cabral—teoretikus pembebasan Afrika, pejuang kemerdekaan, dan martir—mendesak mereka yang terlibat dalam perjuangan pembebasan dan keadilan untuk “Jangan berbohong, jangan mengklaim kemenangan mudah.” Prinsip ini menuntut kejujuran, kerendahan hati, dan konfrontasi tanpa henti dengan kenyataan. Prinsip ini menentang demagogi, penyangkalan, dan godaan untuk mengaburkan kebenaran yang sulit demi penampilan.
Isaac Saney adalah seorang profesor dan sejarawan studi Kuba dan Kulit Hitam di Universitas Dalhousie.
Di Kuba masa kini, di tengah perjuangan menghadapi dampak mendalam perang ekonomi AS dan tantangan sosial internal, pernyataan-pernyataan terbaru Presiden Miguel Díaz-Canel, yang membantah pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai (paling tidak) dari seorang menteri yang kini telah mengundurkan diri tentang ketimpangan dan kerentanan sosial, menegaskan kembali komitmen Revolusi Kuba terhadap prinsip Cabral. Alih-alih menyembunyikan kesulitan-kesulitannya, Revolusi telah memilih jalan kejujuran, etika, dan humanisme—jalan yang sulit namun berprinsip.
Pengepungan ekonomi AS terhadap Kuba bukan sekadar upaya untuk mendestabilisasi perekonomian negara tersebut; melainkan strategi yang disengaja untuk mencekik. Tujuannya adalah memicu ketidakpuasan internal, mendistorsi citra pemerintah Kuba, dan pada akhirnya menghancurkan pencapaian Revolusi Kuba. Ini adalah perang atrisi, yang dilancarkan tidak hanya dengan sanksi keuangan dan pembatasan perdagangan, tetapi juga dengan rentetan misinformasi dan perang psikologis. Dalam iklim ini, setiap kesalahan langkah pemerintah Kuba atau kekurangan dalam masyarakat Kuba dibesar-besarkan dan dijadikan senjata. Akibatnya, kelemahan yang melekat pada setiap sistem politik dan ekonomi—terutama di bawah tekanan—ditampilkan sebagai kegagalan unik sosialisme. Namun, ini bukanlah tanda-tanda keruntuhan ideologis, melainkan indikator betapa gigihnya Revolusi diserang.
Terlepas tekanan yang terjadi secara terus-menerus, para pemimpin revolusioner Kuba terus melakukan evaluasi diri secara kritis. Dalam pidatonya di hadapan Komisi Kesetaraan Pemuda, Anak, dan Perempuan di Majelis Nasional, Presiden Díaz-Canel tidak segan-segan mengakui bahwa negara tersebut menghadapi tantangan serius: mulai dari distorsi ekonomi dan ketimpangan yang semakin parah hingga perilaku sosial yang mencerminkan putusnya ikatan sosial, komunal, dan keluarga. Namun, alih-alih menyangkal atau mencari kambing hitam, ia menyerukan solusi yang berakar pada etika dan keadilan. “Revolusi tidak menyembunyikan masalahnya,” tegasnya. “Revolusi menghadapinya dengan etika dan keadilan sosial, bahkan di tengah situasi ekstrem.”
Kejujuran ini bukanlah kelemahan—melainkan kekuatan revolusioner. Inilah yang diserukan Cabral: kejujuran yang tak tergoyahkan yang tidak meremehkan kesulitan tetapi juga tidak meninggalkan harapan. Pernyataan Díaz-Canel bahwa semua ini adalah “masalah kita”—tunawisma kita, komunitas kita yang rentan, ketimpangan sosial kita—merupakan bukti panggilan humanis Revolusi yang abadi. Ini bukanlah pemerintahan yang mengingkari kaum terpinggirkan; melainkan merangkul kewajibannya kepada mereka. Ada pengakuan bahwa kerentanan bukanlah penyimpangan dalam masyarakat revolusioner, melainkan konsekuensi dari tekanan internal dan eksternal, dan oleh karena itu menuntut tindakan yang terkoordinasi, penuh kasih, dan gigih.

Pembingkaian etis politik presiden Kuba ini menggemakan wawasan mendasar Cabral lainnya: bahwa perjuangan revolusioner bukan hanya tentang keuntungan materi, tetapi tentang martabat, kebenaran, dan nilai-nilai. Díaz-Canel mengutip intelektual revolusioner Kuba Armando Hart untuk menekankan bahwa “hukum sebagai ekspresi keadilan sosial” dan “etika sebagai ekspresi kebenaran” harus memandu Revolusi. Dengan demikian, ia menegur analisis yang dangkal atau tidak berperasaan tentang kesulitan-kesulitan sosial Kuba. Ia memperingatkan terhadap arogansi dan keterpisahan, sebaliknya menyerukan “kepekaan”, “kehangatan manusia”, dan “perilaku yang baik” dalam mengatasi luka-luka sosial terdalam di negara itu.
Untuk tujuan tersebut, Revolusi telah meluncurkan lebih dari tiga puluh program sosial yang terarah, bertujuan meringankan kondisi rakyat yang rentan. Program-program ini bukanlah gestur simbolis, melainkan komitmen material, yang didanai meskipun di bawah tekanan blokade yang berat, yang berupaya menghalangi Kuba, bahkan sumber daya dasar yang dibutuhkan untuk pemerintahan. Keberadaan program-program ini—yang didukung oleh kemauan politik, kejelasan etika, dan partisipasi rakyat—menunjukkan bahwa Revolusi belum menyerah pada janji-janji dasarnya. Revolusi terus berjuang, dalam kondisi yang sangat sulit, menuju masyarakat di mana tidak seorang pun tertinggal.
Yang membuat sikap Kuba sangat kuat adalah penolakannya untuk mengklaim kemenangan mudah. Memang menggoda, terutama di tengah terkepung, untuk memproyeksikan citra kesuksesan yang tak tergoyahkan oleh krisis. Namun Revolusi menolak ilusi-ilusi yang memuji diri sendiri seperti itu. Sebagaimana dinyatakan Díaz-Canel, “Kita tahu masalah kita semakin memburuk… Namun Revolusi mengakui bahwa ada sebab-sebab yang menyebabkan masalah-masalah seperti ini, sehingga Revolusi harus… memproyeksikan bagaimana kita akan menyelesaikannya, meskipun menyadari bahwa ini adalah perjuangan yang panjang.” Pengakuan bahwa kemajuan akan lambat dan tidak merata, bahwa tidak semua masalah dapat diselesaikan sekaligus, merupakan bukti kedewasaan revolusioner—bukan kekalahan.
Kejelasan politik dan moral ini semakin penting mengingat narasi-narasi dehumanisasi yang dipromosikan oleh media imperialis dan media monopoli, yang berusaha menggambarkan Kuba sebagai negara gagal. Di tengah hiruk-pikuk sinisme ini, Revolusi Kuba menegaskan kebenaran yang berbeda: bahwa rakyat yang jujur tentang kesulitan mereka, yang tetap berkomitmen pada keadilan dalam menghadapi kesulitan, dan yang mempertahankan solidaritas sebagai prinsip panduan, tidak akan kalah.
Bertahan dan terus berkembang di bawah tekanan, terus membangun masyarakat yang berakar pada martabat, kesetaraan, dan etika meskipun menghadapi kelangkaan dan agresi eksternal, bukanlah sebuah kegagalan. Melainkan sebuah pencapaian revolusioner. Dengan demikian, Revolusi Kuba tetap setia pada perintah Cabral—tidak hanya dalam penolakannya untuk berbohong atau mengklaim kemenangan mudah, tetapi juga dalam upayanya yang berkelanjutan untuk berjuang, menghadapi, dan peduli.
Di tengah perang ekonomi yang berkelanjutan yang dirancang untuk menghancurkan kapasitas pemerintah Kuba dalam memenuhi janji dan komitmennya kepada rakyat Kuba serta mengikis tatanan sosial negara kepulauan tersebut, Kuba telah memilih jalan yang lebih sulit namun lebih berprinsip. Kuba menghadapi masalahnya secara langsung, mengakui kekurangannya, dan mencari solusi melalui aksi kolektif dan tanggung jawab moral. Komitmen terhadap etika revolusioner dan humanisme ini mungkin merupakan bukti paling kuat bahwa Revolusi Kuba, terlepas dari apa yang mungkin dianggap mustahil oleh sebagian orang, tetap hidup, bermartabat, dan revolusioner.
Memuliakan dan mengamalkan apa yang disampaikan Amílcar Cabral, menunjukkan kepada dunia apa artinya memperjuangkan keadilan dan emansipasi sejati dengan kejujuran, keberanian, dan tekad.