Menuju Ekonomi Politik Asia

Menuju Ekonomi Politik Asia
Gambar: Tricontinental: Institut Penelitian Sosial

Apakah Asia mungkin? Provokasi ini berasal dari intervensi terbaru Tricontinental Asia, yang merupakan bagian dari serangkaian analisis konjungtur tentang benua Asia.

Semakin banyak pengakuan bahwa pusat gravitasi ekonomi dunia sedang bergeser ke Asia. Sebagai rumah bagi 60% populasi dunia, benua ini berkontribusi sebesar 70% terhadap pertumbuhan ekonomi global, 40% terhadap perdagangan barang dunia, dan 57% terhadap nilai tambah manufaktur global.

Shiran Illanperuma adalah jurnalis dan ekonom politik asal Sri Lanka. Ia adalah peneliti di Tricontinental: Institute for Social Research dan co-editor Wenhua Zongheng: A Journal of Contemporary Chinese Thought.

Berbagai organisasi Asia, seperti Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO), dan Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), menandakan kecenderungan menuju regionalisme. Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang berpusat di Asia merupakan blok perdagangan bebas terbesar di dunia.

Bahkan, dapat dikatakan bahwa dinamika Asia menggerakkan suasana baru di Selatan Global. Lima dari sepuluh negara anggota BRICS berada di benua Asia (enam jika termasuk Rusia, yang membentang di Eropa dan Asia). Sekitar 83% populasi dan 82% produk domestik bruto (PDB) negara-negara anggota BRICS berasal dari Asia.

“Kerja sama antar negara tidak dapat dipertahankan kecuali mereka terikat erat dalam hal mode produksi, rantai pasokan, dan kepentingan ekonomi,” kata Yang Ping, pendiri dan editor jurnal Tiongkok Wenhua Zongheng (Beijing Cultural Review).

Berbicara pada peluncuran intervensi Tricontinental Asia di Shanghai, di sela-sela Forum Akademik Global Selatan 2025, Yang Ping menyoroti bahwa serikat ekonomi regional yang paling tahan lama hingga saat ini terdapat di Eropa (blok sosialis COMECON dan Uni Eropa kapitalis) karena integrasi yang mendalam dalam rantai industri. Namun Integrasi di Asia, masih beragam karena perkembangan yang tidak merata dan ketimpangan regional yang kuat.

Pembagian kerja di Asia

Pada tahun 1972, Marxis Mesir Samir Amin mengklasifikasikan benua Afrika menjadi empat zona berdasarkan fungsi ekonomi yang dialokasikan dalam pembagian kerja internasional: ekonomi perdagangan kolonial di Afrika Barat dan Tengah, konsesi pertambangan di lembah Sungai Kongo, cadangan tenaga kerja di Afrika Timur dan Selatan, serta negara-negara seperti Ethiopia yang bersifat feodalistik. Mengadopsi pendekatan Amin, metode serupa dapat digunakan untuk mulai memahami Asia.

Asia Timur merupakan inti industri. Wilayah ini mencakup Jepang, negara non-Eropa pertama yang melakukan industrialisasi, serta Tiongkok, yang menyumbang lebih dari 30% nilai tambah manufaktur global dan merupakan satu-satunya negara di dunia yang memproduksi barang dari setiap kategori Klasifikasi Industri PBB. Tiongkok juga memimpin dalam 37 dari 44 teknologi kritis.

Asia Tenggara terdiri dari ekonomi perdagangan kolonial yang telah bertransisi menjadi ekonomi platform ekspor. Meskipun kemampuan manufakturnya meningkat, negara-negara seperti Malaysia dan Thailand kekurangan teknologi asli dan perusahaan yang kompetitif secara global. Di banyak ekonomi negara ini juga, reformasi agraria masih belum selesai dan ketimpangan masih tinggi, sehingga menekan potensi pasar domestik.

Asia Selatan merupakan cadangan tenaga kerja yang memasok negara-negara Global Utara dan negara-negara Teluk. Bahkan, perannya tidak banyak berubah sejak zaman kolonial, ketika anak benua ini menyediakan buruh kasar, tentara bayaran, dan administrator untuk negara kolonial. Ekonomi seperti Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka tetap bergantung pada remitansi (kiriman uang dari luar). Upaya industrialisasi yang berpusat pada sektor otomotif (India) dan transisi ke ekonomi berbasis ekspor (Sri Lanka dan Bangladesh) hanya mendapatkan hasil yang terbatas.

Asia Tengah paling mirip dengan konsesi pertambangan karena ketergantungannya yang berat pada pendapatan sumber daya alam. Wilayah yang kurang dipelajari ini secara strategis penting karena cadangan energinya yang potensial, termasuk minyak, gas, uranium, dan tenaga air. Wilayah ini juga kaya akan komoditas dan mineral penting yang sangat dibutuhkan dalam persaingan teknologi hijau dan digital.

Terakhir, Asia Barat, yang didominasi oleh para kapitalis petrodolar Dewan Kerjasama Teluk. Negara-negara ini menyumbang 28% dari penjualan minyak global dan mendaur ulang surplus tersebut dalam kompleks militer-industri-keuangan AS. Upaya pembangunan yang berpusat pada diri sendiri telah dihancurkan melalui perang hibrida, invasi, sanksi, atau penyerahan diri elit lokal (di Mesir, Suriah, Irak, Yaman, dan Iran). Hubungan militer-minyak-keuangan di kawasan ini sangat penting untuk mempertahankan imperialisme di Asia dan seluruh dunia Selatan.

Ketergantungan finansial dan pengepungan militer

Namun, ketidakmerataan perkembangan Asia juga merupakan kekuatan. Benua ini memiliki semua faktor dasar yang diperlukan untuk pembangunan regional yang berpusat pada diri sendiri: tenaga kerja, sumber daya alam, teknologi, dan modal. Namun, Asia tetap terfragmentasi karena berbagai alasan.

Selain lima zona yang diuraikan di atas, terdapat “pangkalan terdepan” imperialisme di Asia. Ini termasuk koloni pemukim (Israel, Australia, dan Selandia Baru) serta negara-negara yang diduduki secara militer atau patuh (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Turki yang merupakan anggota NATO). Terletak di sayap timur dan barat Asia, negara-negara ini bertindak sebagai pengganggu sinyal yang mendestabilisasi dan mengacaukan kawasan demi kepentingan modal Barat. Mereka didukung oleh ratusan pangkalan militer AS yang tersebar di seluruh benua Asia.

Bersamaan dengan pengepungan militer ini adalah subordinasi finansial. “Laporan Integrasi Ekonomi Asia 2025” (Asian Economic Integration Report 2025) yang diterbitkan oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) mencatat bahwa Asia adalah kawasan terintegrasi kedua di dunia setelah Uni Eropa dan Inggris. Dalam Indeks Integrasi Regional ADB, Asia tampil baik dalam perdagangan, pergerakan orang, dan investasi asing langsung. Namun, integrasi Asia paling lemah di bidang keuangan.

Integrasi antara hidrokarbon Asia Barat dan dolar AS, serta orientasi industri Asia Timur dan Tenggara ke pasar Global Utara, memastikan pelanggengan hegemoni dolar. Hal ini membuat kawasan tersebut rentan terhadap tindakan Sistem Federal Reserve AS, yang mengendalikan mata uang cadangan dunia. Dalam hal keuangan, Asia masih membayar upeti kepada Washington dan Wall Street.

Memulihkan sejarah untuk menciptakan masa depan

Prajurit pertama yang mengibarkan bendera Soviet di atas Reichstag adalah seorang Asia: Raqymjan Qoshqarbaev dari Republik Sosialis Soviet Otonom Kirghiz, yang kini dikenal sebagai Kazakhstan. Tidak ada foto dari peristiwa ini, yang terjadi pada malam hari. Gambar ikonik “Mengibarkan Bendera di Atas Reichstag” karya Yevgeny Khaldei hanyalah rekonstruksi artistik dari momen tersebut. Qoshqarbaev sendiri tidak mungkin ada dalam foto tersebut.

Studi terbaru oleh Tricontinental: Institute of Social Research adalah sejarah “restoratif” Perang Dunia II, atau Perang Anti-Fasis Dunia. Peran Asia dalam perang ini telah dihapus oleh Dunia Utara dan dilupakan bahkan di sebagian wilayah Asia. Sekitar 35% kematian dalam Perang Anti-Fasis Dunia terjadi di Tiongkok, Hindia Belanda, Indochina Prancis, dan Filipina. Menambahkan Uni Soviet ke dalam campuran ini meningkatkan proporsinya menjadi 66,5%.

Studi ini menegaskan bahwa awal sebenarnya Perang Dunia II terjadi pada 1931, dengan Insiden Jembatan Marco Polo, yang menandai kemajuan militerisme Jepang di Tiongkok. Memulihkan sejarah Asia sebagai tempat perlawanan anti-kolonial dan anti-imperialis memungkinkan kita untuk mulai merumuskan kemungkinan Asia.

Yang Ping mencatat bahwa, meskipun kapitalisme terus mendorong globalisasi produksi dan menghancurkan batas-batas nasional, sistem ini tetap bergantung pada negara-negara dan batas-batas teritorial untuk berfungsi. Ia berpendapat bahwa globalisasi kapitalis secara fundamental rapuh karena ketidaksetaraan antara pusat dan pinggiran, posisi hulu dan hilir dalam rantai nilai global, serta dalam cara distribusi keuntungan.

“Hari ini kita menyaksikan gelombang de-globalisasi, dengan kapitalisme memasuki fase anti-globalisasi. Dari perspektif ini, kemampuan kapitalisme untuk mempertahankan integrasi antarnegara menghadapi batasan yang semakin besar,” kata Yang Ping.

“Tanpa menemukan mode produksi dan organisasi sosial yang lebih unggul dari kapitalisme, atau menemukan mekanisme integrasi ekonomi dan politik yang lebih mendalam, sangat sulit untuk melampaui struktur kapitalis dan mewujudkan persatuan tingkat benua.”

Analisis ini sebelumnya diterbitkan di Peoples Dispatch. Kemudian diterjemahkan dan diterbitkan di sini oleh Kurator PB untuk tujuan pendidikan dan untuk menunjukkan insignifikansi posisi dan daya tawar pemerintah Indonesia yang korup dalam tatanan ekonomi politik Asia.

Untuk saran dan perbaikan terjemahan, hubungi kami di halaman kontak!

Baca juga buku-buku berikut:

Diskon 2025-akhir