Oleh Saheli Chowdhury
Pandemi telah menyoroti banyak kesalahan kapitalisme, salah satunya adalah masalah tenaga kerja tak berbayar. Istilah kerja tak berbayar umumnya dikaitkan dengan kerja perawatan—perawatan untuk anak-anak, orang tua, orang sakit, dan keluarga—yang sebagian besar dianggap sebagai “pekerjaan perempuan”. Untuk sebagian besar pekerjaan perawatan, kapitalisme tidak memberikan upah apa pun; sebaliknya, “bayarannya” adalah pujian masyarakat terhadap “sifat keibuan” perempuan sambil melanggar semua hak-hak mereka sebagai anggota kelas pekerja, sehingga membuat perempuan menjadi apa yang saya sebut sebagai “kaum proletar dari kaum proletar.”
Meskipun diskriminasi berbasis gender di kelas pekerja telah ada sejak munculnya kepemilikan pribadi, sebagaimana dijelaskan oleh Engels dalam risalah terkenalnya The Origin of the Family, Private Property, and the State(1884), permasalahan ini menjadi fokus yang lebih tajam selama pandemi. Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa pekerja perempuan dibayar lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan bahwa perempuan terkonsentrasi pada pekerjaan dengan upah rendah secara global. Sebagai contoh, sekitar tiga perempat pekerja pertanian di Asia Selatan dan Amerika Latin adalah perempuan, meskipun kita dikondisikan untuk membayangkan laki-laki ketika kita memikirkan petani. Di Eropa yang “beradab”, sebagian besar pekerja yang dipekerjakan dalam pekerjaan berbahaya dan disebut pekerjaan berketerampilan rendah di industri tekstil, pabrik korek api, pembuatan jam tangan, dan juga konstruksi adalah perempuan. Sejak neoliberalisme diperkenalkan pada tahun 90-an, pekerjaan yang sama telah dialihkan ke perempuan miskin di negara-negara Selatan, dan kesenjangan upah berdasarkan gender semakin memburuk.
Menyadari tenaga kerja perempuan dan diskriminasi upah yang mereka derita, Organisasi Buruh Internasional (ILO), dalam Konvensi Pengupahan yang Setara pada tahun 1951, menyerukan “pengupahan yang setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang bernilai sama.” Hal ini terjadi lebih dari 70 tahun yang lalu, namun kesenjangan upah berdasarkan gender sebagian besar masih belum diakui, mengingat dampaknya lebih dirasakan oleh perempuan dengan upah terendah, yang mengalami diskriminasi ganda karena perempuan secara sosial diharapkan untuk melakukan semua “pekerjaan rumah tangga” juga, tanpa bayaran apa pun. Namun, dengan adanya lockdown di seluruh dunia, karena sebagian besar ruang kerja modern berpindah ke “ruang virtual”, atau lebih tepatnya adalah rumah, menjadi jelas bahwa beban pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar justru jatuh pada perempuan yang memiliki posisi lebih tinggi dalam hierarki kapitalisme, seperti guru, pegawai negeri, dan pegawai swasta. Hal ini mendorong PBB untuk menerbitkan laporan tentang Hari Kesetaraan Upah Internasional 2022, yang menyoroti bahwa “perempuan melakukan setidaknya 2,5 kali lebih banyak pekerjaan tak berbayar daripada laki-laki.”
Laporan PBB berfokus pada bagaimana “perempuan telah menjadi salah satu yang paling terdampak oleh pandemi COVID-19, termasuk dalam hal jaminan pendapatan, representasi di sektor-sektor yang paling terdampak, dan pembagian tanggung jawab keluarga secara gender.” Salah satu sektor yang paling terpukul adalah sektor perawatan kesehatan, yang menderita akibat privatisasi dan disinvestasi selama beberapa dekade. Sementara pemerintah dan media memuji pengorbanan para “pekerja esensial”, banyak pekerjaan mereka yang tidak terlihat, terutama pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang menjaga kebersihan fasilitas kesehatan, mereka yang memasak untuk pasien, atau mereka yang memberikan perawatan di rumah untuk orang lanjut usia dan orang yang menderita penyakit kronis—dan sebagian besar pekerjaan ini dilakukan oleh perempuan yang digaji rendah dan terlalu banyak bekerja.
Faktanya, pada tahun 2018, ILO, dalam laporannya yang berjudul Care Work and Care Jobs for the Future of Decent Work, memperkirakan bahwa nilai pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar mencapai 9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global, senilai $11 triliun. Laporan terbaru dari Tricontinental: Institute for Social Research menjelaskan:
Berdasarkan data survei penggunaan waktu yang dikumpulkan di 64 negara, laporan tersebut menemukan bahwa 16,4 miliar jam dihabiskan untuk pekerjaan perawatan tak berbayar setiap hari, dengan 76,2 persen dari total jam kerja perawatan tak berbayar tersebut dilakukan oleh perempuan. Dengan kata lain, pekerjaan perawatan tak berbayar yang dilakukan perempuan di seluruh dunia setiap harinya setara dengan lebih dari 1,5 miliar perempuan yang bekerja selama delapan jam sehari tanpa bayaran.
Pada pertengahan tahun 2022, ILO menerbitkan laporan lain tentang tenaga kerja perempuan yang tidak dibayar atau dibayar rendah, dengan fokus pada sektor perawatan kesehatan. Laporan tersebut menyoroti bahwa meskipun perempuan merupakan 67% dari sektor ini, mereka memperoleh penghasilan rata-rata 24% lebih rendah daripada rekan-rekan laki-laki mereka, sebagian kecil dari angkatan kerja perempuan di bidang layanan kesehatan berada pada eselon manajemen yang lebih tinggi, dan kesenjangan upah antara administrator rumah sakit dan perawat—yang sebagian besar adalah perempuan—terus melebar. Menurut ILO, perempuan dibayar lebih rendah bukan karena mereka kurang terampil atau tidak terampil—yang merupakan istilah kapitalis yang diskriminatif, tetapi karena bidang perawatan kesehatan seperti keperawatan atau memasak untuk pasien dianggap sebagai “pekerjaan perempuan”, yang terus menerus direndahkan di seluruh dunia.
Laporan ini juga menyoroti “kesenjangan peran ibu” dalam hal upah, yang tidak hanya terjadi di sektor perawatan kesehatan tetapi juga di semua industri. Ketika perempuan, terutama di usia 20-an dan 30-an, harus keluar dari dunia kerja atau mengurangi jam kerja mereka “untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan pengasuhan anak yang tidak dibayar,” dan mereka memilih untuk kembali ke industri ini di kemudian hari, mereka kehilangan kenaikan gaji dan promosi yang diterima oleh rekan-rekan pria mereka, dan dengan demikian menerima upah yang lebih rendah selama masa kerja mereka dibandingkan dengan pria yang melakukan pekerjaan yang sama. Hal ini terutama terjadi pada pekerjaan dengan sedikit atau tanpa jaminan kerja, yang mencakup sekitar 90% pekerjaan yang dilakukan perempuan, seperti yang ditunjukkan oleh serikat pekerja dan organisasi perempuan.
Meskipun kapitalisme menghukum perempuan karena menjadi ibu, tidak benar bahwa kapitalisme tidak ingin perempuan memiliki anak. Sebaliknya, bagi kapitalisme, perempuan adalah sumber produksi yang tidak dibayar untuk menghasilkan pekerja di masa depan. Kapitalisme bergantung pada patriarki untuk mengagung-agungkan peran sebagai ibu dan pengorbanan perempuan untuk anak-anak dan keluarga mereka, sehingga melegalkan diskriminasi kriminal dan memastikan bahwa perempuan tidak perlu dibayar untuk memproduksi dan mengasuh serta menciptakan lebih banyak pekerja untuk dieksploitasi.
Untuk mengatasi masalah ini, World March of Women menyerukan untuk mengganti ekonomi kapitalis dengan “ekonomi feminis”, yang dapat dianggap sebagai “ekonomi sosialis dengan karakteristik feminis”. Selain menuntut “akses perempuan terhadap tanah, benih, air, bahan baku, dan semua dukungan yang diperlukan untuk produksi dan komersialisasi di bidang pertanian, perikanan, peternakan, dan kerajinan tangan,” platform feminis kelas pekerja juga menyerukan sesuatu yang bersifat revolusioner secara sosial:
Reorganisasi pekerjaan rumah tangga dan perawatan sehingga tanggung jawab untuk pekerjaan ini dibagi secara merata antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga atau komunitas. Agar hal ini menjadi kenyataan, kami menuntut pengadopsian kebijakan publik untuk mendukung reproduksi sosial (seperti tempat penitipan anak, binatu kolektif dan restoran, perawatan lansia, dll.), serta pengurangan jam kerja tanpa pemotongan gaji.
“Menentang pembagian kerja secara seksual, naturalisasi pekerjaan perempuan di ranah domestik, dan menghargai pekerjaan produktif di atas pekerjaan reproduktif,” adalah slogan World March of Women.
Untuk mengakhiri segala diskriminasi, pekerja di seluruh dunia bersatulah!
PL/SC
Baca juga buku-buku berikut:
-
Bisnis Perbudakan Seksual
Original price was: Rp94.000.Rp90.240Current price is: Rp90.240.4% off! -
3% off!
-
Cerita-Cerita Lumbung
Original price was: Rp77.000.Rp73.920Current price is: Rp73.920.4% off! -
4% off!