
Awal September 2025 negara kita, Indonesia diwarnai aksi demonstrasi. Dalam aksi tersebut, bentrokan antara massa dengan aparat yang memanas membuat demo mengarah ke kerusuhan. Gedung-gedung DPRD dibakar. Pos-pos polisi diserang dan dibakar tanpa perlawanan berarti dari aparat.
Aksi demo tersebut memiliki karakter cukup unik jika dibandingkan dengan aksi-aksi sebelumnya. Banyak yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan massa aksi dipicu para pejabat yang “kurang ajar” terhadap rakyat. Bersamaan dengannya, banyak pula yang berspekulasi bahwa kerusuhan yang terjadi didalangi oleh penguasa jahat untuk mendiskreditkan rakyat Indonesia.
Terlepas dari itu, ada satu yang pasti. Rakyat Indonesia marah. Marah kepada para pejabat. Kepada pemerintahan yang kurang ajar. Yang mempersusah kehidupan rakyat dan menari di atas penderitaannya. Bersamaan dengannya, beberapa cukup mengalami kebingungan. Tentang harus bagaimana selanjutnya. Tentang kenapa kok pemerintah dan aparatur negara menjadi sangat bebal.***
Mencoba memberikan pengantar, kami telah merilis daftar bacaan untuk mengenal Indonesia. Mencari tahu apa yang terjadi sekarang lewat sejarah-sejarah yang menyusunnya dan, menjadikan kondisi saat ini sedemikian rupa. Semuanya kami daftar dalam buku-buku yang mungkin sudah tak asing bagi kamu. Yang darinya, beberapa jawaban-jawaban alternatif untuk pertanyaan “sekarang apa?” mungkin dapat ditemukan.
Mengenal Orde Baru utamanya ditujukan bagi generasi muda yang memiliki jarak historis dengan Orde Baru. Disusun dalam bentuk ensiklopedis yang mencakup 167 entri, buku ini serupa kamus yang mendedah kata-kata kunci pembentuk Orde Baru: lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat, kelembagaan ABRI, nama-nama penting di lingkar kekuasaan, kebijakan, tragedi kemanusiaan, istilah-istilah khas Orba untuk stigma atau penghalusan makna. Sebuah buku yang berguna untuk menelanjangi kekuasaan.
“Saat moralitas dibangun di atas kuburan massal dan diamankan melalui teror serta kebohongan, kehampaan moral tak syak lagi terjadi. Wijaya Herlambang dengan cemerlang menganalisa perkembangan historis dan dinamika diskursif dari kehampaan ini, menguak gagasan-gagasan yang membuat kebohongan tampak benar.” —Joshua Oppenheimer, sutradara film dokumenter The Act of Killing
Di mana utusan Zending dan misionaris Belanda yang ada di Indonesia pada saat-sat krisis kemanusiaan itu? Menarik membaca buku Pembingkaian dan Penekanan: 50 Tahun Kemudian (Refleksi kritis utusan Zending & Missi Belanda atas G30S dan peristiwa dramatis sesudahnya) ini. Ternyata kalangan gereja juga mengalami kegagapan dan kegamangan dalam membaca situasi. Sebagian besar mensyukuri kehancuran kaum kiri dan kejatuhan Sukarno karena hal ini mengakibatkan gereja mengalami panen umat. Hanya sedikit di antara para utusan Zending dan misionaris Belanda yang merasa terganggu hati nuraninya. Mereka membuat sejumlah catatan atas tragedi kemanusiaan di Indonesia yang hingga kini masih meninggalkan berbagai tanda tanya.
- 20% off!
Ketika Orde Baru berada di senja kala kekuasaan, ada banyak elemen prodemokrasi yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD), termasuk kelompok-kelompok anarkis. Namun, keberadaan kelompok tersebut tidak berlangsung lama karena PRD gagal menampung berbagai varian politik dan mengalami problem yang tak bisa dikompromikan dengan nilai-nilai anarkisme. Blok Pembangkang merekam kelompok dan afinitas yang muncul di berbagai momen penting. Di Indonesia, gerakan anarkisme tak benar-benar mati. Ia tumbuh, berganti generasi, sembari menunggu waktu bersemi kembali.
Buku ini adalah penyuntingan dari gabungan catatan dan rekaman Siauw Giok Tjhan tentang G30S. Ia menyimpulkan bahwa G30S adalah rekayasa politik untuk menghancurkan PKI dan konsep persatuan politik yang dicanangkan oleh Soekarno, Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Sebuah rekayasa politik yang kemudian didukung oleh blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia. Ia yakin bahwa G30S tidak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Yang melakukan kudeta secara bertahap dan melakukan kejahatan negara adalah Jenderal Soeharto. Kejahatan negara berbentuk pembunuhan massal, penangkapan massal, dan persekusi massal yang terburuk di dunia setelah Perang Dunia II. Kejahatan negara yang melanggar hukum, melanggar Pancasila, dan melanggar HAM.
Buku ini selain berisikan riwayat perjalanan hidup, ada yang kiranya lebih penting lagi, yaitu semacam “kesaksian” Rewang seputar G30S, tentang perjuangan bersenjata di Blitar Selatan, dan mengenai bagaimana proses lahirnya “Otokritik Politbiro CC PKI”.
Proses penulisan buku ini sendiri telah dilakukan jauh sebelum Rewang wafat 29 Oktober 2011 di Solo karena sakit tua.
Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa
Original price was: Rp160.000.Rp153.000Current price is: Rp153.000.4% off!
Penerbitan kumpulan tulisan Onghokham tentang riwayat Tionghoa peranakan di Jawa ini bukan saja menarik dan pantas dilirik, tetapi juga menjadi penting karena memuat gagasan-gagasan nation building, proses mengindonesia dalam sejarah. Ditulis dengan gamblang, tidak menggebu-gebu dan sesederhana apapun tulisannya didasarkan penelitian. – Harry Tjan Silalahi, Peneliti senior CSIS
Mahasiswa, Nasionalisme & Penjara
Original price was: Rp120.000.Rp117.000Current price is: Rp117.000.3% off!
“Buku Perhimpunan Indonesia memberi penjelasan yang lengkap mengenai aktivitas organisasi Perhimpunan Indonesia di masa puncaknya. Penelitian mendalam yang dilakukan oleh Ingleson dengan mendasarkan argumen-argumennya pada koleksi arsip-arsip berharga yang ditambah dengan sejumlah wawancara dengan pihak- pihak terkait dengan itu menghasilkan studi yang jelas dan mendalam atas organisasi tersebut.” —Akira Nagazumi, sejarawan dan penulis buku The Dawn of Indonesian Nationalism: The early years of the Budi Utomo, 1908-1918 (Tokyo, Institute of Developing Economies, 1972).
Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945
Original price was: Rp78.000.Rp62.400Current price is: Rp62.400.20% off!
Sampai sekarang, karya ini merupakan salah satu karya yang terbaik tentang proklamasi yang ditulis oleh pelakunya sendiri dengan gaya penulisan yang bersahaja. Judulnya yang sederhana itu, “Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945”, mengisyaratkan kalau dia hendak memaparkan bagaimana latar belakang peristiwa, tokoh-tokoh, dan bagaimana jalannya kejadian itu dari hari ke hari. Ditulis beberapa tahun sesudah proklamasi, buku ini dapat dikatakan sebagai pandangan pelaku terhadap peristiwa penting itu. Jikalau dia absen dalam peristiwa yang dikisahkan, bisa diduga dia memperoleh informasi dan cerita dari teman-temannya yang terlibat langsung di dalamnya sehingga akurasinya cukup terjaga. — Arief Djati
- 20% off!
Buku ini mengisahkan tentang perjalanan panjang sejarah tentara di Indonesia dalam tiga zaman, yaitu zaman Hindia Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan zaman awal kemerdekaan Indonesia. Tiga zaman itu ditengarai sebagai masa pembentukan yang menentukan arah tentara di Indonesia. Kemudian, kisah-kisah mereka yang harus hidup dan bergelut di dalam organisasi bernama KNIL, Heiho, PETA, dan Gyugun. Lalu bagaimana, pola kemiliteran di dua zaman itu membentuk pola militer di Indonesia? Bagaimana sejarah tentara yang sebenarnya? Share
Kamisan
Original price was: Rp71.000.Rp56.800Current price is: Rp56.800.20% off!
Sebagai gerakan kolektif korban pelanggaran HAM dan masyarakat sipil yang dilandasi oleh keteguhan, solidaritas, dan kerelawanan, melalui buku ini Aksi Kamisan mencoba merefleksikan makna kelahiran dan perjalanannya selama 18 tahun.
Dalam tulisan-tulisan mereka, para keluarga korban dan penyintas menunjukkan kegigihannya dalam menuntut agar para pelaku pelanggaran HAM yang hari ini bercokol di pusaran kekuasaan diadili. Sementara anak-anak muda dengan lugas menceritakan pengalaman dan pelajaran yang mereka ambil dari Aksi Kamisan. Hasilnya pun suatu pemaknaan yang personal sekaligus beragam terhadap Aksi Kamisan—sebagai refleksi spiritual dan teologis ikhtiar melawan ketidakadilan, sebagai usaha menumbuhkan kesadaran kritis, sebagai wahana untuk mengangkat isu-isu lokal, sebagai refleksi kerentanan sekaligus perlawanan perempuan, serta sebagai upaya merawat memori kolektif dan solidaritas antargenerasi.
Di tengah impunitas yang semakin dinormalisasi, Aksi Kamisan akan terus hadir untuk melawan arus pewajaran bahkan pembenaran atas kejahatan-kejahatan HAM yang diperbuat oleh negara tersebut.
Aceh semasa perlawanan Gerakan Aceh Merdeka. Empat orang perempuan sedang turun ke rawa bernama Paya Nie untuk mengumpulkan purun danau buat dijadikan tikar. Kilas balik-kilas balik dalam obrolan mereka membawa kita ke masa lalu paya, masa lalu kampung-kampung sekitarnya, masa lalu militerisme, serta masa lalu diri mereka masing-masing. Desas-desus, legenda lokal, laporan saksi mata, dan mungkin juga bualan-bualan bercampur aduk dengan memukau. Tanpa mereka sadari, seregu marinir Indonesia sedang menyiapkan serangan skala besar ke rawa yang diduga menjadi tempat persembunyian gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka itu.
Buku ini berkisar tentang pemikiran Benedict Anderson perihal bahasa. Dan itu bukan hanya bahasa Indonesia, melainkan pula bahasa secara umum, terutama peran bahasa dalam kebangkitan nasionalisme, baik itu di Eropa maupun di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Filipina. Di sinilah muncul gagasan untuk menulis satu bab khusus tentang bagaimana persisnya dasar-dasar pemikiran Anderson tentang bahasa. Maka lahirlah bab berjudul “Bahasa bagi Benedict Anderson,” yang diharapkan bisa memberi arah pada tiga bab berikut yang mengembangkan lebih lanjut gagasan Anderson ini.