Description
Pernah suatu ketika, hampir setengah abad yang lalu, bangsa ini, di depan mata dunia yang telanjang, menyaksikan kekejian yang tiada duanya, sehingga untuk mati dengan iringan selenting doa, merupakan satu kemustahilan. Ratusan ribu orang digiring dengan kasar dan hardikan, ditutup matanya, atau dibiarkan begitu saja, lalu ditembak atau dipenggal dengan parang atau kelewang, dan tubuh-tubuh itu terjungkir atau dijungkirkan ke dalam aliran sungai, ke lubang yang mereka gali sendiri, atau luweng, yang ditemukan dengan sengaja atau tidak oleh si jagal. Ratusan ribu lagi, yang bernasib sedikit lebih baik, dicampakkan ke dalam kamp militer dan bui dan dibiarkan menunggu dengan cemas tanpa batas, apakah mereka juga akan menemukan kematian dengan jalan darah seperti kawan-kawan yang telah mendahului.
Harus dicatat, pada penggalan sejarah dalam perjalanan bangsa ini untuk mati dengan baik-baik, diiringi doa dari istri atau suami, ayah atau ibu, cucu atau kakek dan nenek serta handai tolan saja merupakan kehendak paling sederhana yang musykil untuk dipenuhi. Martin Aleida mengangkat dan menyajikan sejarah yang hitam itu sebagai latar dari sejumlah cerita pendeknya yang dihimpun dalam buku Mati Baik-Baik, Kawan.
Untuk pertama kali buku tersebut diterbitkan penerbit Akar di Yogyakarta tahun 2009. Kini, Ultimus dengan syahdu memutuskan untuk menerbitkan ulang sebagai pengingat bahwa pada suatu waktu, nyaris setengah abad lalu, senjata dan hati yang buta pernah melebihi dan mempermalukan kuasa Tuhan, manakala sebaris doa yang pendek saja untuk mengiringi kematian adalah sebuah cita-cita yang harus digapai di daratan yang jauh. Sejumlah cerita pendek dan beberapa kajian mengenai karya penulis memperkaya edisi kedua Mati Baik-Baik, Kawan ini.