Description
Sepertiga abad orde baru berkuasa (1965–98), sejarah Indonesia dipelintir dan dibelokkan demi kepentingan penguasa. Propaganda dan teror merajalela. Hanya boleh ada satu versi sejarah Indonesia, sejarah versi orba.
Tumbangnya orde baru memunculkan berbagai upaya pelurusan sejarah. Terbit buku-buku, tulisan-tulisan, hasil-hasil penelitian, kesaksian-kesaksian, film-film dokumenter, dan sebagainya, yang menguak kebohongan sejarah versi orba tersebut. Itu pula yang mendasari digelarnya berbagai forum seminar, pertemuan dan diskusi, bedah buku, pemutaran film, dan lain-lain.
Namun demikian, meskipun sudah selama 17 tahun masa reformasi (1998–2015), masih ada saja pihak-pihak yang melakukan represi, teror, dan propaganda keji kepada masyarakat dengan memakai referensi sejarah versi orde baru. Sebut saja beberapa contoh kasus yang terkait persoalan 1965 selama pemerintahan Jokowi–JK ini: (i) Pelarangan, baik film, diskusi, pertemuan, maupun pemutaran film sebanyak 17 kasus; (ii) Pembubaran paksa – 4 kasus; (iii) Intimidasi – 3 kasus; (iv) Deportasi – 1 kasus, yang dialami Tom Iljas, eksil yang kini tinggal di Swedia; (v) Penangkapan sewenang-wenang – 1 kasus; dan (vi) Pembredelan – 1 kasus, yang dialami oleh majalah mahasiswa Fikom UKSW Salatiga Lentera. (Sumber: Elsam, 2015)
Dengan semakin banyak orang mempelajari dan memahami sejarah yang benar dengan jujur, berharap kekerasan-kekerasan yang masih merajalela sampai sekarang itu akan semakin berkurang. Buku ini memang berniat mendorong pembaca untuk tertarik mempelajari buku-buku sejarah lebih lanjut.
Tidak ada yang baru dari apa yang tertulis pada setiap halaman demi halaman buku ini. Semua sudah pernah ditulis dan disampaikan dalam berbagai buku, artikel, penelitian, berita, film dokumenter, kesaksian, seminar, diskusi, dan lain sebagainya. Yang baru adalah, semua itu diringkas dan digambar sehingga memudahkan dan menarik bagi pembaca tingkat “pemula” untuk mengenal dan memahami bagaimana sesungguhnya sejarah Indonesia. Sebagian daftar referensi dan bacaan itu terlampir di bagian belakang. Untuk beberapa halaman peristiwa sejarah yang masih kontroversi dan masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan, kami sisipkan referensi sebagai catatan kaki.
Untuk mengenal sejarah gerakan kiri di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dari sejarah 65 yang kelam itu: tentang Peristiwa G30S dan tentang pembantaian massal tahun 1965–66. Lalu kenapa buku ini tidak fokus membahas sejarah 65 saja? Sebab, membicarakan sejarah tidak bisa sepotong-sepotong. Sebuah peristiwa sejarah, apalagi sedahsyat Peristiwa 65 yang mengubah arah perjalanan bangsa Indonesia dari yang tadinya menuju Sosialisme Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno menjadi bangsa yang mengekor nekolim di bawah kepemimpinan orde baru, harus dilihat dari peristiwa-peristiwa sejarah yang mendahuluinya, dan juga perkembangan sejarahnya kemudian. Lagipula, sudah banyak sejarawan yang fokus penelitiannya adalah soal-soal mendalam tentang Peristiwa 65. Itu memang tugas sejarawan.