Seporsi Review Pedas untuk Novel Ngawur

Gambar: Generated with AI

Ale memutuskan untuk bunuh diri di hari ulang tahunnya ke-37, tapi ia mendapatkan berbagai halangan ketika hendak melaksanakan keputusan itu. Ini adalah premis dari Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati, novel karya Brian Khrisna yang saya kategorikan satu rak dengan Tuesdays with Morrie, The Alchemist, atau buku-buku lain soal pengembaraan nilai-nilai kehidupan. Namun, satu rak tidak berarti sama dalam kualitas.

Fian Kurniawan, pembaca buku yang rutin berdiskusi soal sastra Indonesia di @kolonibaca

Buku ini dibuka dengan upaya penulisnya membangun apa yang melatarbelakangi tokoh utama hingga ia sampai pada titik ingin bunuh diri. Ale adalah seorang perantau di Jakarta yang menjalani hidup secara monoton dan sendirian, tanpa memiliki hubungan berarti dengan orang lain. Ia didiagnosis depresi oleh psikiaternya dan merasa hidupnya tak lagi menyenangkan untuk dijalani.

Pagi di hari ia akan bunuh diri, ia ingin makan mie ayam langganannya untuk terakhir kali. Sayangnya, penjual mie ayam tidak buka hari ini. Dengan penuh tekat, ia mencari si penjual karena ia harus makan mie ayam itu untuk terakhir kali. Dari sini, plot cerita mulai berjalan. Ale terbawa ke petualangan yang tidak ia kehendaki dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Dari tiap orang ia belajar makna hidup, sampai akhirnya ia bisa menghargai hidupnya lagi.

Masalah utama saya dengan buku ini adalah betapa susahnya untuk berempati kepada Ale. Sepanjang cerita, Brian Khrisna tidak berhasil memperlihatkan semenyakitkan apa hidup Ale sehingga bunuh diri adalah solusi satu-satunya bagi Ale. Ia hanya memborong semua kesengsaraan yang bisa ia pikirkan lalu menerapkannya secara dangkal di karakter Ale. Sebagai premis cerita yang juga menjadi judul buku, seharusnya ini penting. Nyatanya, ia hanya menggunakan hal ini sebagai alat untuk menggerakkan cerita di awal saja.

Dengan tinggi 183 cm, berat 138 kg, kulit hitam, dan badan bau, masalah utama Ale adalah insecurity dengan fisiknya:

“Bayangan wajahku terpantul samar di bekas bir yang menggenang. Kenapa aku harus terlahir dengan bentuk seburuk ini? Bertahun-tahun aku mencoba memahami, tetapi tetap saja aku tak menemukan jawabannya di mana-mana.” (Hal. 12)

Ya tentu saja Ale tidak akan menemukan jawaban, selama perspektif yang ia gunakan masih “terlahir”, alih-alih pakai perspektif kebiasaan. Literally, di paragraf sebelumnya dia bilang:

“Wajahku yang gelap seperti terpapar sinar matahari terus-menerus, bibirku yang hitam karena rutin merokok, kuku jariku yang banyak noda nikotin, dan badanku yang selalu berkeringat adalah kombinasi terburuk untuk seonggok tubuh manusia.” (Hal. 12)

Apakah Ale sudah berusaha berbenah? Ya, tapi hanya setengah-setengah. Simak kutipan berikut:

“Aku sudah pakai deodoran! Percayalah. Bahkan aku juga rela menghabiskan tabunganku yang tak seberapa itu untuk membeli parfum mahal. Namun jika memang pada dasarnya orang gemuk selalu mengeluarkan bau yang tak sedap, lantas aku bisa apa?! Aku juga sudah berusaha!” (Hal. 7)

Sekedar mengingatkan saja, nih, Mas Ale. Coba kamu berhenti beli parfum mahal dan alihkan uangmu untuk bayar membership Fithub dan beli skincare. Kurangi merokok dan minum alkohol, lalu baca bukunya Ken Watanabe Problem Solving 101 supaya kamu tahu punya fisik buruk rupa tidak harus jadi masalah hidup, asal kamu mau berusaha berbenah. Kalau orang yang mirip jenglot saja bisa mengepalai parpol dan jadi menteri, harusnya kamu juga bisa keluar dari “takdir” buruk rupa itu.

Dengan tinggi di atas rata-rata, kamu bisa jadi model, lho, asal disiplin latihan gym dan merawat kulit.

Apakah Ale cukup mampu secara finansial untuk berbenah? Ya. Ia adalah karyawan tetap di sebuah gedung perkantoran di tengah ibukota yang, meskipun gajinya terpotong setengah akibat dijebak kolega, ia tetap mampu untuk:

  1. tinggal di sebuah apartemen tower 20 lantai 34A
  2. memberi sebagian gaji ke orang tua yang tidak pernah menganggap keberadaannya
  3. membeli rokok dan bir
  4. beli parfum mahal!

Tapi tentu saja, mampu tidak berarti mau–klise mendayu-dayu inilah yang dipakai penulisnya untuk menjustifikasi keputusan Ale bunuh diri. Sementara Ale sibuk mengemis simpati ke pembaca, karakter-karakter yang ia temui sepanjang perjalanan cerita sibuk memberi wejangan hidup untuknya. Dan pembaca sibuk berusaha terhubung secara emosional dengan buku ini.

Semua karakter yang Ale temui selama perjalanan cerita tak ubahnya Mario Teguh dalam berbagai wujud dan rupa yang tanpa tedeng aling-aling memberi Ale petuah hidup. Brian Khrisna berhasil memutarbalikkan rumus show, don’t tell, karena pembaca tidak pernah mendapatkan kesempatan mendalami jiwa dan emosi tiap karakter secara utuh. Hanya ada dialog penuh kebijaksanaan, seolah tiap karakter baru saja pulang dari seminar motivasi gratis untuk orang miskin.

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati adalah versi cetak dari program televisi Jika Aku Menjadi. Seseorang dari kelas menengah mendadak hidup dan beraktivitas bersama orang-orang dari kelompok marjinal, dan selama perjalanan si tokoh utama berkali-kali kaget ketika tahu ada orang lain yang lebih susah darinya. Kemudian dia bersyukur. Setelahnya, ia bersyukur. Dan pada akhirnya, ia bersyukur.

Sesungguhnya, saya mulai menganggap enteng buku ini ketika tahu bagaimana Ale akan bunuh diri:

“Pukul satu siang, aku pergi mengambil seluruh sisa tabunganku lalu pergi mengunjungi psikiater. Aku meminta dibuatkan resep baru dengan dosis yang lebih tinggi sekaligus memutuskan untuk berhenti berkunjung ke sana. Psikiaterku sempat bertanya aku hendak ke mana. “Aku akan pulang kampung. Ke tempat yang jauh.” (hal. 23)

Sampai halaman terakhir, pembaca tidak pernah tahu bagaimana bisa si psikiater begitu saja menuruti permintaan Ale tanpa mengungkit kode etik profesinya. Apakah karena saking berempatinya dia pada penderitaan kelas menengah Ale? Atau karena dia gampang disuap? Atau jangan-jangan terpaksa karena ditodong pistol oleh Ale? Kita tidak akan pernah tahu. Yang saya tahu adalah penulisnya menganggap enteng perkara ini. Maka, saya sebagai pembaca yang sudah membeli buku ini juga akan menganggap enteng apa yang ia tulis.

Pembaca waras akan sering mengerutkan dahi selama membaca novel ini. Namun, jika kamu adalah jenis orang yang, pada saat menyaksikan orang lain menderita, hal paling pertama yang kamu lakukan adalah bersyukur, maka buku ini cocok untukmu.

Satu hal positif yang layak saya berikan untuk buku ini adalah potensinya untuk diadaptasi menjadi film. Meskipun dipenuhi dengan dialog yang sok iye, plotnya berjalan dengan logis dan naluriah. Selama membaca saya bisa membayangkan buku ini jatuh di tangan penulis naskah yang tepat yang bisa mengolahnya menjadi film bergenre slice of life/adventure seperti Janji Joni, Mendadak Dangdut (Titi Kamal’s Version), atau The Secret Life of Walter Mitty. Tentu saja angan-angan ini harus dibarengi dengan doa yang lebih kencang dibanding doa Jokowi supaya Gibran bisa maju capres di 2029, satu genre tidak berarti sama dalam kualitas.

Informasi buku yang diulas:

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

Buku ini berjudul Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati. Ditulis oleh Brian Khrisna dan diterbitkan Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) pada Januari 2025. Memiliki ketebalan sekira 216 halaman.

Share your thoughts

20% September