Risalah RABU Agustus – Sekelompok WNI yang Membaca Buku di Bulan Agustus

Reportase ini ditulis oleh Pak Sam, diterbitkan di sini untuk tujuan pembelajaran.

KAWAN RABU
Kawan-kawan Rasan-Rasan Buku (RABU) yang berkesempatan hadir dalam forum bulanan.

Rasan-Rasan Buku (RABU)1 periode Agustus ini bertemakan kemerdekaan dan cinta tanah air. Bukannya berbicara banyak soal kisah-kisah heroik dari tokoh-tokoh patriot dalam kerangka nasionalisme. Pertemuan kali ini malah memantik ungkapan reflektif  dan diskusi cukup lain dan mendalam mengenai suasana di seputar perubahan: peristiwa sejarah yang kurang begitu populer, memoar aktivis perubahan, hingga kesaksian pedih di sekitar gejolak konflik kedaerahan. RABU ini bisa dicuplik dari ulasan-ulasan buku yang terisalah di bawah ini.

Rabu pertama adalah buku Soe Hok Gie berjudul Catatan Seorang Demonstran yang diterbitkan LP3ES. Mas Kosa sebagai pengulas mengatakan bersyukur membacanya setelah ia lulus kuliah; catatan provokatif Gie ini ia yakin akan membuat mahasiswa yang membacanya akan terpantik turut dalam gelombang aktivisme yang penuh amarah khas mahasiswa kepada bentuk-bentuk ketidakadilan yang juga termaktub rapi dalam catatan-catatan harian Gie tersebut–yang mungkin kini masih terasa kurang lebih sama. Lalu ada Kak Kai yang mendapat kesempatan kedua; buku Laut Bercerita edisi sampul ketiga. Ia mengaku ketika baru tenggelam di bagian awal—yang terdapat adegan cukup sadis dan memilukan, ingatannya terlempar pada peristiwa kelam di masa kecil saat masih tinggal di Ambon, Maluku. Peristiwa itu begitu membekas, membawanya merantau jauh ke pulau Jawa hingga dewasa. Ia adalah satu di antara saksi tentang kejamnya konflik pasca-reformasi tersebut; yang nampak berbalut agama namun sangat kompleks di dalamnya.

Zakheus Pakage–Wacana Keagamaan Pribumi, Perlawanan Sosial-Politik, dan Transformasi Orang Mee, Papua yang ditulis Benny Giay adalah buku ketiga yang diulas oleh Mas Kiki. Buku ini berdasar pada hasil riset doktoral Giay yang dilakukan pada tahun 80an. Buku ini merupakan catatan etnografis atas seorang tokoh misionaris kharismatik, Zakheus Pakage. Zakheus adalah tokoh penting yang mampu mentransformasikan nilai keagamaan menjadi spirit nasionalisme orang papua yang bisa dilihat hingga kini. Keempat adalah cerita menarik seorang Salsabila dengan buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Sang Putra Fajar, Soekarno, milik Sang Ayah. Bila, panggilannya, sempat ingin menjual buku itu namun ternyata buku itu adalah peninggalan bersejarah berharga dari almarhum Kakak Ayahnya yang didapatkan dari Surabaya. Di dalamnya, tak disangka terdapat artefak iuran RT Bapak Gedhe-nya itu, dan tertera nominal  Rp50,-. Angka yang masih berarti berarti pada tahun 80an.

Cece Steffi menjadi pengerabu dengan buku fiksi sejarah Semua untuk Hindia karya Iksaka Banu. Buku tersebut berlatar saat Indonesia masih menjadi bangsa jajahan Hindia Belanda dengan pelbagai pergolakan daerah yang membara. Salah satu nukilannya adalah kisah Diponegoro, tokoh sentral Perang Jawa yang berhasil ditangkap dan dikirim ke pengasingan menggunakan kapal Pollux. Di pengasingan, Diponegoro masih mendapatkan perlakuan sebagai orang terhormat. Hal itu disaksikan oleh seorang tokoh fiksi yang bersaksi mengetahui kejadian itu. Seperti halnya buku cerita sejarah kolonial yang lain, buku ini banyak menggambarkan kondisi sosial masyarakat jajahan dengan segala fenomenanya yang sulit terbayang hari ini.

Setelah mengamati ulasan yang beragam serta kritis akan sejarah pada proses perubahan yang pelik. Rian menawarkan sebuah buku karya Ilmuwan Sosial asal Indonesia, Vedi R Hadis berjudul Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Buku itu akan berguna untuk membaca kondisi WNI kenapa bisa “seperti ini”. Rian merefleksikan gerakan-gerakan sosial yang terjadi dewasa ini Reformasi Dikorupsi, Indonesia Darurat, dan seterusnya itu sebagai dinamika akibat politik oligarkis yang dijalankan pada kekuasaan negeri. Selanjutnya diskursus Madilog Tan Malaka muncul dari Mbak Nabila. Ia awalnya bercerita proses pendekatannya dengan buku ‘kiri’ yang selama ini ia sikapi dengan skeptis. Sebuah inspirasi yang ia dapat dari rekan kantornya membuatnya sampai pada buku Bapak Republik itu. Hal yang cukup berkesan adalah anjuran sikap rasional yang perlu dimiliki oleh ‘WNI’ yang ditawarkan melalui bab logika dalam Madilog. Namun ia tetap bersikap kritis pada logika mistika, bahwa ada hal yang memang tidak bisa dipikir dalam kerangka logika—terutama pada unsur mistika.

Lalu ada Kak Jo tampil dari lini belakang, maju ke depan, mata tertuju pada sebuah jajanan: Putu Ayu bertabur parutan kelapa. Berangkat dari buku Jose Kecil dalam Dirimu (stolen children) karya Sastrawan Makassar bernama Kaisar DM. Kak Jo dengan Putu Ayu di tangan memberi kesaksian yang memperkaya perspektif sebagai anak yang pernah hidup di daerah yang kini menjadi negara merdeka, Timor Leste. Sebuah wilayah bekas provinsi itu ternyata adalah hasil aneksasi negaranya kini—Indonesia. Proses kemerdekaan Timor Leste sebagai mana dirinya yang bisa dibilang pelarian, diwarnai dengan fenomena ‘stolen children’, anak Timor Leste yang “diculik” dan dibawa ke berbagai daerah untuk dijadikan pekerja-pekerja rumahan. Cerita Kak Jo seakan menegaskan bahwa pertemuan RABU kali ini  teman-teman melihat fenomena kemerdekaan tidak secara konvensional–dengan cerita patriotik nasionalismenya. Teman-teman seperti membuka tabir yang menyelimuti kemerdekaan dari segi “ke-WNI-annya” masing-masing terutama yang menjadi saksi-saksi sejarah.

Ulasan intertekstual dilakukan oleh Miss Fajri. Ia mengulas empat buku sekaligus: Masyarakat & Perang Asia Timur Raya–Sejarah dengan Foto yang Tak Terceritakan karya Aiko Kurasawa; “Creeping Coup d’Etat Mayjen Soeharto” karya Sukmawati Soekarno; Rayuan Maut Soekarno karya M Soedarsono; dan Kawi Matin di Negeri Anjing karya Arafat Nur. Jika diurutkan, maka Miss Fajri coba membentangkan sejarah melalui buku–yang dirabuin–itu mulai dari negeri yang masih dalam nuansa kolonial Jepang. Aiko Kurasawa penulis buku pertama di atas, berusaha menyingkap tabir yang “tak kurang bermasalah”; klaim penamaan kolonialisasi Jepang sebagai Perang Asia Timur Raya, alih-alih Perang Pasifik yang dilabelkan oleh Amerika adalah upaya menghindari sebutan fasis bagi Jepang. Dalam buku fotografinya tersebut, terdapat footage-footage langka yang belum pernah diterbitkan sebelumnya; warisan perpolitikan juga dijabarkan seperti adanya sistem RT-RW.

Selanjutnya, Miss Fajri mengaku pertama kali ngefans sama Soekarno disebabkan oleh buku Sukmawati Soekarno tersebut. Desoekarnoisasi era Orde Baru Soeharto juga berpengaruh pada perlakuan yang tidak pantas di akhir hidup Sang Proklamator dengan hanya mengijinkan seseorang berinteraksi dengannya, yaitu Ibu Fatmawati. Sukmawati adalah anak Soekarno yang paling dekat dengan Soekarno sendiri yang, saat itu menjadi saksi bagaimana permintaan terakhirnya agar bisa beristirahat dengan tenang di Bogor tidak dipenuhi mengikuti keputusan politik waktu itu harus dimakamkan di Blitar. Dari bacaan ketiga, Miss Fajri menceritakan bahwa Soekarno yang kala itu telah berusia 65 ternyata pernah memiliki seorang istri yang dinikahi pada usia 18 tahun, bernama Yurike.

Menambah khazanah ulasan dengan nuansa pergolakan daerah; buku keempat yang diulas Miss Fajri menceritakan kisah fiksi dari Tanah Rencong, Kawi Matin di Negeri Anjing oleh Arafat Nur. Kawi Matin, tokoh utamanya diceritakannya sebagai orang yang tak begitu good looking dibanding saudara-saudara kandungnya; dia cacat. Perlakuan tidak menyenangkan itu berkelindan dengan konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) vis a vis Republik Indonesia. Matin, sebagai orang Aceh berada di sisi GAM; namun ketika dua kelompok berdamai, Matin masih mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan bahkan oleh bekas pasukan GAM sendiri. Dari situ muncul kutipan favorit, “Negara ini negeri anjing. Jika aku tidak diterima sebagai orang baik, aku akan menjadi orang jahat.” (hlm. 135)

Rabu kali ini juga memunculkan nama pengarang yang telah lama tidak muncul untuk diulas, Andrea Hirata. Bro Arul saat itu menceritakan bagaimana Sang Pemimpi berkait erat dengan kehidupannya saat masih kecil. Hidup di desa yang memiliki Taman Bacaan Masyarakat (TBM) –Gelaran Buku Jambu–menjadi cerita tersendiri bagi orang yang di masa kecilnya yang pernah berkontribusi di majalah Horizon itu. Bro Arul seperti selalu haus dengan cerita-cerita yang bisa memberikannya inspirasi menulis. Ulasan Sang Pemimpi ini merefleksikan bagaimana kemerdekaan perlu diisi; perjalanan hidup yang naik turun sempat membuatnya sebagai orang “tanpa mimpi” dan berhasil membuatnya bahagia selama beberapa tahun hingga ia menemukan buku The Magic of Thingking Big yang ditulis David J. Scwartz. Sebelum mimpi menjelma sesal di hari tua, Arul memutuskan untuk melanjutkan cerita–mengisi kemerdekaan–dengan bermimpi dan berpetualang.

Rabu ini dipungkasi oleh kesaksian hidup di daerah pedalaman, bukan di negeri sendiri tapi di negeri gajah putih. Mbak Amina adalah mantan relawan yang mengajar di dua wilayah pelosok yang cukup memprihatinkan. Satu daerah di Patthani yang merupakan daerah rawan konflik dengan pemerintah kerajaan Thailand, bayangkan saja, sekadar mengucap salam Sawa De Kha dengan salam namaste bisa amat berbahaya dengan ancaman kelompok militan daerah tersebut. Daerah kedua adalah Kerambi, wilayah Thailand yang menjadi daerah perkebunan sawit. Ia hidup di pedalaman, dengan penggambaran jenaka “hidup bersama lima tokek yang tidak pernah mengeluarkan bunyi khasnya—tttokkkkeeeeekkk” di rumah seperti mess petani pekerja sawit.

Tak disangka Rasan-Rasan Buku ini berjalan tidak kurang dari tiga jam setengah. Berbagai perspektif; insight; rekomendasi buku muncul dengan nilai berharganya masing-masing yang beragam. Namun ada benang merah menarik, kita WNI yang melihat riuh kemerdekaan dengan cara yang tidak biasa. Sayangnya beberapa teman berhalangan hadir, mungkin masih ada urusan yang lebih WNI.

Sekian, sampai jumpa di RABU September Ceria bulan depan. 📚✨

Catatan

  1. Rasan-Rasan Buku (RABU) adalah klub buku yang berdiri sejak Februari 2024 di Sio Punci Coffee and Bookshop. Dalam beberapa kesempatan, RABU melawat ke beberapa tempat seperti Griya Padminingsih dan Perjamuan Buku, untuk secara sederhana, berbagi bacaan; pengalaman membaca serta mengajak siapa saja yang ingin bergabung dan belajar bersama.

Share your thoughts

20% September