Menyimak Pola yang Berulang dalam Laut Bercerita—Sebuah Review

Gambar: Buku Laut Bercerita

Laut Bercerita sudah bukan buku baru lagi. Terbitnya tahun 2017. Sudah banyak yang mengulas novel ini juga. Aku mulai membaca novel ini tanggal 16 Agustus 2025, mendekati berita tunjangan DPR disiarkan. Menyelesaikannya dengan kebetulan di saat Indonesia sedang ricuh. Seperti mengalami resonansi batin, tentunya ini menjadi pengalaman membaca yang berkesan! Maka akan aku ceritakan kesan membaca novel ini.

Anggi Dameria saat ini menjadi diaspora di Tanah Australia. Hobinya baca buku dan sedang terbuka untuk baca buku apapun genrenya. Bisa ditemukan di Instagram @_readtreat

Novel ini terbagi menjadi dua bagian; Bagian pertama adalah cerita dari sisi Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM, dan juga aktivis pro-demokrasi. Karakter Laut diceritakan bahwa dia bukan anak yang neko-neko, ia sangat menyayangi keluarganya, tumbuh dalam keluarga hangat penuh integritas. Ayahnya adalah seorang wartawan, sehingga ia memiliki akses untuk membaca banyak buku-buku sejak ia masih kecil. Kegemarannya membaca buku menjadikan dia pribadi yang kritis dan idealis. Didukung dengan hangatnya didikan orang tuanya, menjadikan Laut adalah sosok yang jujur, penyayang, dan sensitif.

Biru Laut dan kawan-kawan di kampusnya sering melakukan pertemuan-pertemuan untuk sekedar mengulas buku, hingga merapatkan aksi untuk melawan pemerintah. Aksi berbahaya dan beresiko ini telah kita ketahui akhirnya. Ia dan kawan-kawannya diculik paksa, disiksa habis-habisan, hingga akhirnya dipaksa bungkam selamanya.

Kutipan dalam buku Laut Bercerita

Ada satu bagian yang menggerakkan hatiku, ketika Laut bertanya kepada Kinan, ketua perkumpulannya, apakah yang mereka perbuat hingga disiksa dan mati pun, akan membuahkan hasil? Jawaban Kinan; Hasil yang kau cari mungkin tidak dapat kau lihat sekarang, namun tiap langkah kecil yang kau buat, akan berdampak nantinya. Tidak ada aksi yang sia-sia. Jawaban Kinan tentu membakar semangat Laut, bahkan juga aku. Bila tanpa perjuangan pemuda pemudi pada masa itu, tak akan mampu kita semua bebas membaca segala buku. Bahkan buku Pramoedya Ananta Toer yang sempat dilarang saja sudah sampai difilmkan. Sungguh segala kebebasan yang kita alami ini, adalah buah manis hasil perjuangan mereka yang melawan kediktatoran.

Bagian kedua adalah cerita dari sudut pandang Asmara Jati, adik perempuan Biru Laut. Seperti kakaknya, Asmara juga adalah pribadi yang kritis. Dia sangat pintar dan pragmatis. Dia mengambil kuliah kedokteran dan memutuskan mengambil spesialis forensik untuk membantu identifikasi jenazah-jenazah tanpa identitas. Bagian ini lebih menceritakan dampak yang didapat para keluarga aktivis yang hilang. Bagaimana mereka melalui kekecewaan, pencarian yang tak berujung, melalui rasa trauma, rasa sedih, hingga para keluarga yang ditinggalkan memutuskan untuk bersama membuat gerakan Kamisan yang masih sering dilakukan hingga saat ini.

Leila mendapatkan narasumber yang akurat untuk penulisan novelnya ini, yaitu Nezar Patria, salah satu korban tangkap paksa ‘98 pada masa pemerintahan Soeharto. Nezar Patria pernah menuliskan pengalamannya dalam sebuah artikel “Di Kuil Penyiksaan Order Baru” yang diterbitkan di Majalah Tempo pada tahun 2008 tanpa melalui penyuntingan editor. Artikel orisinil inilah yang akhirnya menginspirasi Leila. Bahkan terdapat bagian dalam novel ini yang ia tulis sama hampir persis dengan artikel Nezar.

Membaca Laut Bercerita di momen ini seperti sedang membaca skenario yang langsung dilakukan oleh pemerintah hari ini. Seperti kamu dapat membaca pola yang sama terjadi lagi saat ini. Dan hal ini membuatku sulit sekali untuk diam dan tidak menyuarakan protes.

Berita mengenai tewasnya para demonstran di televisi atau media sosial saat ini, pasti membuat rasa kemanusiaan kita gerah. Terlebih lagi bila kamu membaca buku ini. Leila memberikan rincian yang detail tentang bagaimana para aktivis diculik, dianiaya, dibunuh, dihilangkan keberadaannya. Bisa jadi itulah yang dialami orang-orang yang sedang diculik saat ini, bahkan lebih?

Bukannya sulit untuk menyangkal bila ini sesuatu yang mirip dengan kerusuhan ‘98? Kerusuhan besar dan nir empati ini terjadi lagi setelah 27 tahun berlalu. Benar, selama itu masalah ini belum tuntas! Pola yang sama terulang bisa jadi karena kita sempat lengah merasa pemerintahan kita aman-aman saja sehingga mengawasi pemerintah jadi buang-buang waktu, mempelajari politik bukan sesuatu yang menarik, isu kemanusiaan jadi basi.

Secara pribadi, setelah membaca buku ini, aku menjadi semakin tertarik mempelajari isu politik, lebih peduli mempelajari sejarah. Mengingat politik ini sangat dekat dengan diri kita, bohong kalau ada yang bilang kehidupan kita tidak ada sangkut pautnya dengan politik. Bila ada yang mengatakan bahwa demo-demo ini tidak ada guna dan tidak menghasilkan apa-apa, itu salah besar. Beruntungnya kita ada pada momentum bersejarah ini dan menjadi saksi dari perubahan besar yang terjadi di Indonesia. Jangan biarkan sejarah direvisi versi pemerintah yang menghilangkan bukti-bukti kekejaman mereka terhadap rakyat sendiri.

Aku sangat merekomendasikan buku ini untuk kamu yang ingin memulai mengenal sejarah dan politik Indonesia. Bacalah buku ini, menilik kembali apa yang telah terjadi pada tahun 1998, menjadikannya refleksi agar kita tidak diam, karena diam pun menyumbang suara pada yang jahat. Bacalah buku ini, sebagai bentuk perlawanan kepada mereka yang menganggap nyawa hanya sebatas angka. Bacalah buku ini, untuk merasa lebih ‘ada’ dalam situasi saat ini.

 

***

Informasi buku yang diulas:

Buku ini berjudul Laut Bercerita. Ditulis oleh Leila S. Chudori dan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada Desember 2017. Memiliki ketebalan sekira 400 halaman.

Share your thoughts

20% September