Description
Aparat Presiden Soeharto selalu mengikuti gerak-geriknya sehingga ia kehilangan hampir seluruh hak-hak sipil yang seharusnya ia miliki sebagai seorang warga negara yang sah. Ia selalu merasa menjadi seekor binatang yang selalu diburu.
Inilah roman cinta yang berlatar kisah nyata dan menggetarkan. Bukan sembarang kisah, melainkan sebuah pengalaman hidup yang dahsyat. Pelaku utama novel ini adalah seorang bekas aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI), partai terbesar pada masa Presiden Soekarno. Akan tetapi, ia dituduh terlibat dalam pemberontakan komunis tahun 1965. Ia ditahan di Nusakambangan selama 4 tahun.
—Ahmad Tohari, Penulis Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Kami bersikeras pada pendirian bahwa kami ke luar kota untuk mencari penghidupan. Tidak ada setitik pun kehendak untuk menyusun kekuatan ataupun melakukan gerilya politik seperti tuduhan dan dakwaan tentara-tentara itu. Dakwaan-dakwaan itu timbul dari rasa kekhawatiran dan ketakutan mereka sendiri karena kekejaman-kekejaman mereka terhadap golongan komunis dan Soekarnois. Kekhawatiran itu akan terus dipelihara sampai kapan pun. Padahal itu tak pernah akan terjadi. Mereka saja yang berteriak komunis itu kejam. Pembunuh, pemerkosa, penyiksa.
Masih ada saja tangan-tangan gatal, yang ingin selalu mencelakakan orang lain, melapor pada bos agar aku dipecat. Orang itu panas hatinya ketika aku mampu memberi kenyang perut anak-anak, ketika aku mampu membeli pakaian untuk anak-anak. Mereka terus menganggapku sebagai sampah yang pantas dibuang di tong sampah. Aku menggelengkan kepala, manusia macam apa penghuni Indonesia ini? Orang-orang semacam itu adalah orang-orang yang sudah dicuci otaknya oleh indoktrinasi Orde Baru di bawah lars sepatu militer. Tanpa malu-malu, tiada hari tanpa teriakan, “Awas bahaya laten komunis! Basmi komunis sampai ke akar-akarnya!”
NH. Atmoko, lahir di Pati, April 1937. Menamatkan pendidikan SR, SMP, dan SMA di Pati, kemudian melanjutkan pendidikan di Akademi Penilik Kesehatan di Jakarta. Tahun 1960 diangkat menjadi pegawai negeri Departemen Kesehatan Pusat di Jakarta. Pada tahun 1963, dipindahtugaskan ke Jepara. Di Jepara ia memimpin Partai Nasional Indonesia sebagai Ketua IV dan Kesatuan Buruh Kesehatan/Buruh Marhaenis sebagai Ketua Cabang Kabupaten Jepara. Setelah Peristiwa G30S, ditangkap, ditahan, disiksa, dan dibuang ke pengasingan Pulau Nusakambangan. Dibebaskan tahun 1969, namun masih harus menjalani tahanan kota bertahun-tahun.