Description
“Dalam sejarah Indonesia, Pulau Buru tahun 1969–1979 bukan hanya sebuah lokasi terjadinya kerja paksa, hinaan, siksaan, dan kematian yang dipaksakan oleh anak-anak bangsa terhadap sesama anak bangsa. Ia juga tempat jiwa-jiwa sekuat baja digembleng untuk mampu bertahan hidup di tengah kerja paksa, hinaan, siksaan dan kematian yang dipaksakan itu. Goresan-goresan sketsa Pak Greg dalam buku ini, berikut catatan-catatan yang mengiringinya, ialah saksinya. Mencermati serpihan kisah-kisah menarik dan personal yang terungkap dalam buku ini, kita tidak hanya diajak untuk “berziarah” ke pulau penuh kenangan duka itu. Kita juga dipanggil untuk bersama-sama bertanya: sejauh kita belum berani meratapi dan merefleksikan masa lalu kelam kita, layakkah kita melangkah dan menatap masa depan dengan mata berbinar penuh harapan?”
–Baskara T. Wardaya S.J., sejarawan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
“Jenderal Besar Soeharto meniru setepat-tepatnya metode penjinakkan Orde Kolonial terhadap “pembangkang” atau kaum yang dijadikan tumbal dari sebuah persekongkolan mahajahat. Seperti Digul yang diciptakan untuk “pembangkang ‘26”, Buru dibikin untuk menyapu sisa-sisa Genosida ‘65 bagi orang Komunis atau terkoneksi dengan kultur progresif komunis atau pendukung garis keras Sukarno. Sebagaimana pemusnahan perlahan-lahan ala kolonial Digul itu, Buru sukses melemahkan sisa kiri, tapi tak bisa merampas kehidupan dari pemanggulnya. Mereka melawan pembinasaan dengan cara-cara paling dasar: menulis, bercerita, bikin drama, dan menggambar. Pram memilih menulis untuk mempertahankan kewarasan, sementara yang lain dengan cara menyanyi, bikin tonil, dan menggambar. Kombinasi tiga hal itulah yang dipilih Gregorius Soeharsojo Goenito menjadi papilon dalam kamp kerja paksa “binaan” Jenderal Besar. Dengan nyanyian ia tawar kesepian yang merampas kewarasan; dengan tonil ia tapis keterpisahan yang panjang dari kolektivisme; dan dengan gambar/sketsa ia gubah kesakitan menjadi kesaksian atas sebuah orde yang berdiri di atas pemusnahan massal. Ini buku penting yang memberitahu binatangisme manusia atas manusia yang berlangsung dalam kereta sejarah Indonesia modern.”
–Muhidin M. Dahlan, penulis dan peneliti Warung Arsip dan Radio Buku.
“Sebagai sebuah sumber sejarah, memoar semacam ini sama kedudukannya dengan arsip-arsip ‘resmi’ yang selama ini menjadi sumber utama penulisan sejarah.”
–Grace Leksana, sejarawan, Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI)
“Pelukis Goenito melengkapi catatan yang telah ditorehkan Pram, Hersri, dan Gumelar Demokrasno tentang apa yang terjadi di Pulau Buru. Jika Anda membaca catatan dan menyimak sketsa di dalam lembaran-lembaran buku ini, lalu Anda merasa dunia seperti bergetar dan gelap, kuatkan hati dan pikiran. Buru dan semua cerita di dalamnya itu nyata. Pertanyaannya kini, bukan lagi soal apakah semua itu nyata dan fakta, tapi apakah dengan semua kita mau menundukkan kepala, mengakui ada yang salah dari masa lalu kita, dan menghaturkan maaf…”
–Hairus Salim, budayawan, pegiat YLKiS, Yogyakarta
“Serpihan memoar dan sketsa seniman Lekra dari penjara ke penjara hingga diasingkan di Pulau Buru. Tidak menghujat dan membenci, namun mendorong bangkitnya keberanian bawah sadar untuk memahami penindasan dan penderitaan.”
–G.A. Guritno (GATRA, edisi 15/XXIII/15 Februari 2017)
“Buku Pak Greg bukan sekadar buku sketsa, buku ini sejarah bergambar. Tidak sekadar gambar tapi juga cerita, yang dibentuk oleh sikap. Semacam tidak pensil arang pun jadi. Di Pulau Buru Pak Greg menjalani kerja (yang dipaksa) namun tetap (dengan sembunyi-sembunyi) berkarya. Konsisten. Itu yang membuat buku ini enak dilihat, dibaca, dicontoh, dan memang perlu.
Di komunitas saya, buku ini menjadi bacaan buku wajib. Para siswa belajar gambar dasar sampai gambar mahir (suasana) mencontoh buku ini. Mulai dari menggaris, arsir, bentuk, orang, sampai ide cerita. Komplet. Tidak hanya soal teknis, riwayat Pak greg sendiri inspiratif.”
–Agah Nugraha Muharram, guru gambar, komunitas Rukun Gambar/Mugibagja
“Sketsa pak Greg tak hanya potret dokumentasi peristiwa yang kemudian dapat dialihtuturkan dengan cerita mapun tulisan. Sketsa Pak Greg menuturkan pergulatan emosi, berupa kerinduan, amarah, kesakitan, kebahagiaan, penghiburan, yang digoreskan dengan pensil-pensil. Sketsa-sketsa itu menjadi kesaksian atas pengalaman hidup Pak Greg yang sekaligus mewakili ekspresi jiwa kawan-kawannya masa di Pulau Buru.”
–OPée Wardany, peneliti, kurator seni