Protes besar-besaran menentang kebrutalan polisi, dan upaya mendapatkan keadilan bagi George Floyd, Breonna Taylor, dan semua warga kulit hitam lainnya yang tewas akibat kekerasan polisi, telah membanjiri kota-kota di seluruh 50 negara bagian, dan seruan untuk mengurangi anggaran polisi –atau menghapuskan polisi sama sekali–telah menjadi seruan bersama. Ketika anggota polisi melakukan tindakan brutal terhadap pengunjuk rasa di depan kamera dan para pemimpin mereka membela tindakan mereka, serikat polisi juga mendapat sorotan yang lebih dekat dari para aktivis buruh, anggota serikat pekerja, dan pihak-pihak lain yang prihatin dengan kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga aneh ini. Asosiasi-asosiasi ini berperan besar dalam mendukung kejahatan kebrutalan polisi, rasisme, dan supremasi kulit putih, namun mereka sering kali tidak muncul. Ini saat yang tepat untuk menyoroti serikat polisi.
Kim Kelly merupakan jurnalis lepas dan organisator yang tinggal di Philadelphia. Karyanya tentang perburuhan, kelas, politik, dan budaya telah terbit di New Republic, Washington Post, Baffler, dan Esquire, serta berbagai publikasi lainnya. Kelly juga penulis FIGHT LIKE HELL, sebuah buku sejarah perburuhan interseksional. Anda bisa mengikuti dia di Twitter @grimkim.
Serikat polisi selalu berbeda dengan serikat pekerja yang terorganisir, dan ada banyak alasan mengapa serikat Pekerja Industri Dunia (IWW) telah lama menolak mengizinkan polisi (dan sipir penjara) masuk ke dalam organisasinya. Pertama, tidak ada anggota serikat pekerja lain –selain Polisi (tambahan penerjemah)—yang memiliki kemampuan hukum untuk langsung membunuh orang lain saat sedang bekerja. Jika seorang pekerja besi membenturkan kepala seseorang ke beton, atau pekerja ritel menembak punggung seseorang ketika mereka melarikan diri, atau seorang pekerja mahasiswa pascasarjana menancapkan lututnya ke leher seseorang sampai mereka berhenti bernapas, akan ada konsekuensinya. Sebenarnya, serikat polisi sendiri dulunya ilegal, karena pemerintah daerah khawatir akan konsekuensi dari mengizinkan agen-agen bersenjata negara untuk berorganisasi. Dan secara historis, polisi tidak bersahabat dengan para pekerja, baik ketika petugas menembaki keluarga penambang batu bara selama Perang Blair Mountain, meremukkan tulang rusuk pekerja garmen imigran selama Pemberontakan 20.000 orang, atau menyerang pengunjuk rasa kelas pekerja dengan gas air mata di Minneapolis setelah polisi membunuh George Floyd.
Seperti yang dijelaskan oleh penulis Kristian Williams dalam Our Enemies in Blue: Police and Power in America, serikat polisi berkembang dalam isolasi relatif dari gerakan buruh lainnya, dan ketergantungan mereka pada solidaritas institusional sangat berbeda dari kesadaran kelas yang menggerakkan pengorganisasian pekerja lainnya. “Polisi jelas merupakan bagian dari mesin manajerial kapitalisme,” tulis Williams. “Oleh karena itu, status mereka sebagai ‘pekerja’ bermasalah. Kedua, agenda serikat polisi sebagian besar mencerminkan kepentingan institusi (departemen kepolisian, lembaga kapitalis, dst.) dibandingkan kepentingan kelas pekerja.”
Williams berpendapat bahwa identitas bersama di tempat kerja yang membentuk mentalitas “garis biru tipis” bagi polisi melampaui penanda identitas lainnya, dan menunjukkan bagaimana mereka memandang diri mereka sebagai polisi terlebih dahulu, dan yang lainnya di urutan kedua. Oleh karena itu, serikat polisi cenderung menjaga jarak dari gerakan buruh lainnya (kecuali jika mereka memecahkan tengkorak anggotanya). Bahkan terminologi dasarnya pun berbeda. Organisasi-organisasi ini biasanya dipecah menjadi “residen” (lodges) dan bukan “lokal”, dan lebih sering dikenal sebagai “asosiasi” daripada serikat pekerja. Beberapa orang menolak keras gagasan untuk menyebut asosiasi polisi sebagai “serikat pekerja”, dan dapat dimengerti mengapa, demi kepentingan artikel ini, kami akan menahan diri dan menggunakan istilah yang lebih umum. Serikat pekerja ada untuk melindungi rakyat; polisi ada untuk melindungi properti. Mereka mungkin membawa kartu serikat pekerja versi mereka sendiri dan menikmati manfaat dari perjanjian perundingan bersama, namun di situlah akhir dari persamaan antara polisi dan pekerja yang berserikat.
Perjanjian kerja bersama seperti yang melindungi banyak pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja belum tentu menjadi masalah; polisi adalah pegawai negara, dan kontrak kerja mereka tidak selalu berbeda dengan kontrak yang melindungi pekerja sektor publik. Namun, perjanjian yang berbeda merupakan salah satu alasan mengapa sangat sulit untuk memecat petugas yang telah melakukan pelanggaran atau pembunuhan yang paling mengerikan sekalipun, dan perjanjian tersebut memberikan hak istimewa kepada petugas polisi yang melebihi apa yang diharapkan oleh pekerja biasa. Kontrak yang mengandung istilah “Undang-undang Hak Penegakan Hukum” (Law Enforcement Bill of Rights) bahkan lebih buruk lagi, sehingga memberikan perlindungan ekstra kepada polisi ketika mereka menghadapi penyelidikan atas penggunaan kekerasan; di Baltimore, misalnya, perlindungan ini dituding menghalangi penyelidikan yang tepat atas kematian Freddie Gray pada tahun 2014.
Inisiatif Periksa Polisi dari Campaign Zero menganalisis kontrak serikat polisi di 81 kota besar AS, dan menemukan sejumlah kesamaan berbahaya dalam bagaimana kontrak ini menyabotase akuntabilitas. Banyak dari kontrak ini melindungi polisi melalui langkah-langkah yang dirancang untuk menyembunyikan penyelidikan dan mencegah pemerintah kota mengambil tindakan, termasuk mencegah petugas polisi diinterogasi segera setelah terlibat dalam suatu insiden dan, yang paling parah, membatasi konsekuensi disipliner. Seharusnya sekarang sudah jelas mengapa hal ini menjadi persoalan – Derek Chauvin, polisi yang membunuh George Floyd, pernah menerima 18 pengaduan pelanggaran sebelumnya, dan hampir tidak ada catatan khusus.
Selain kontrak, masalah terbesar serikat polisi adalah kekuatan institusional yang mereka miliki, dan cara-cara yang mereka pilih untuk menggunakannya. Mereka telah mengumpulkan modal politik yang sangat besar melalui lobi dan membina hubungan dengan politisi, [di AS, penj.] termasuk Presiden Trump. Dan terlalu sering, organisasi-organisasi pekerja [institusi polisi, penj.] ini memberi nasihat kepada polisi tentang cara menghindari teguran karena melakukan pelanggaran, bertindak sebagai perisai untuk mencegah polisi pembunuh menghadapi konsekuensi, dan mencoba memaksa mereka yang benar-benar dipecat atau didakwa dipekerjakan kembali. Seperti yang saya tulis di New Republic, ketika petugas NYPD Daniel Pantaleo akhirnya dipecat karena perannya dalam kematian Eric Garner pada tahun 2014, serikat polisi kota segera mengajukan banding agar dia dipekerjakan kembali dan mengancam akan memperlambat pekerjaan — sebuah taktik serikat pekerja klasik yang digunakan polisi di sini untuk mencoba mengembalikan seorang pembunuh kembali ke kepolisian.
Secara politis, asosiasi polisi cenderung lebih konservatif (atau berhaluan sayap kanan) dibandingkan kebanyakan serikat pekerja, yang biasanya lebih progresif, atau setidaknya sejalan dengan kebijakan arus utama Partai Demokrat [partai yang dianggap kiri di AS, penj.]. Rasisme yang ganas dan supremasi kulit putih juga diketahui menjadi masalah mematikan dalam jajaran penegak hukum. Setelah banyaknya kandidat dari Partai Demokrat yang meminta bantuan serikat polisi selama pemilihan pendahuluan, sejumlah serikat pekerja besar memberikan dukungan mereka pada pencalonan Joe Biden sebagai presiden. Namun, pada tahun 2019, Persatuan Asosiasi Polisi Internasional (IUPA) telah menyuarakan dukungan penuhnya—memberikan dukungan yang besar terhadap terpilihnya kembali Trump, dan menjadi serikat pekerja pertama –dan satu-satunya – yang melakukan hal tersebut. (Pada 2016, serikat polisi terbesar di AS, Fraternal Order of Police (FOP), dan Dewan Patroli Perbatasan Nasional mendukung Trump, yang merupakan satu-satunya dukungan serikat pekerja). IUPA adalah satu-satunya serikat penegak hukum di Federasi Buruh Amerika dan Kongres Organisasi Industri (AFL-CIO), federasi buruh terbesar dan paling berpengaruh di negara ini, dan IUPA mempunyai hubungan yang sangat buruk dengan sekutu-sekutunya dan mempunyai catatan buruk dalam hal keadilan sosial. Pada 2014, selama pemberontakan Ferguson, IUPA bentrok dengan AFL-CIO karena kebrutalan polisi; baru-baru ini, mereka memposting ulang artikel tanggal 27 Mei yang meremehkan kematian George Floyd, bahkan ketika banyak serikat pekerja lain dan AFL-CIO sendiri mengeluarkan pernyataan yang mengecam kekerasan polisi dan menegaskan solidaritas mereka dengan Black Lives Matter.
Selain itu, parade pejabat serikat polisi baru-baru ini tertangkap basah melontarkan makian rasis dan menghasut, serta retorika yang keliru tentang gerakan Black Lives Matter. Pada bulan Mei, ketika protes besar-besaran Black Lives Matter mengguncang Philadelphia, inspektur polisi kota Joseph Bologna tertangkap dalam video sedang memukuli beberapa pengunjuk rasa, dan kemudian didakwa melakukan penyerangan yang kejam. Presiden FOP Lodge Philadelphia yang tangguh secara politik, John McNesby, mengatakan kepada wartawan bahwa dia “muak” dengan kenyataan bahwa Bologna telah didakwa. Serikat pekerja saat ini menjual merchandise “Bologna Strong” di situs webnya; sementara itu, salah satu orang yang diserang membutuhkan staples dan jahitan. McNesby –yang terkenal menyebut pengunjuk rasa BLM sebagai “sekelompok hewan gila” selama konferensi pers tahun 2017 –kini menghabiskan waktunya untuk mencerca rencana evaluasi independen terhadap penggunaan kekuatan oleh departemen kepolisian selama protes, di mana polisi terekam dalam sebuah video yang menyerang pengunjuk rasa dan menembakkan gas air mata ke kerumunan orang yang terjebak di jalan raya yang diblokir. Keadaan seperti ini menjelaskan mengapa hanya sedikit orang yang percaya bahwa serikat polisi mampu melakukan reformasi yang berarti, atau membersihkan semua “apel busuk” yang telah merusak kelompok tersebut. Hal ini juga merupakan alasan utama mengapa begitu banyak aktivis buruh dan anggota biasa menyerukan pimpinan serikat pekerja untuk membubarkan serikat polisi (institusi polisi) untuk selamanya.
Namun, harapan tipis terhadap reformasi nampaknya masih menjadi keinginan partai, bahkan bagi para pemimpin buruh yang progresif sekalipun. Memang benar bahwa ada polisi yang tersebar di seluruh daftar keanggotaan di beberapa serikat pekerja utama, dan memecat mereka akan menjadi proses yang rumit. Kritikus berpendapat bahwa melemahkan atau memutus hubungan dengan serikat polisi dapat berdampak negatif pada serikat pekerja sektor publik secara keseluruhan, dan AFL-CIO secara terbuka menolak gagasan tersebut. Ketika Writers Guild of America, East (di mana saya menjadi anggota dan anggota dewannya), menjadi serikat pekerja afiliasi AFL-CIO pertama yang secara eksplisit meminta federasi untuk mengeluarkan IUPA, banyak dari anggotanya — beberapa di antaranya telah ditangkap saat mencoba untuk meliput aksi unjuk rasa— mendukung langkah tersebut. “Selama serikat polisi terus menggunakan kekuatan tawar kolektif mereka sebagai alat untuk mencegah reformasi dan akuntabilitas, tidak ada yang aman,” bunyi resolusi tersebut. Tanggapan AFL-CIO tidak terlalu baik. Dalam sebuah pernyataan yang juga menyerukan pengunduran diri presiden serikat polisi Minneapolis Bob Kroll, AFL-CIO malah menyerukan reformasi, bersikeras bahwa jawabannya adalah “melibatkan serikat [polisi] daripada mengisolasi mereka.”
Sementara itu, masyarakat lokal dan serikat pekerja yang lebih kecil telah memperjelas sikap mereka dan terus memberikan tekanan. Anggota-anggota biasa dari berbagai serikat pekerja sedang bertukar pikiran tentang cara-cara untuk mendorong kepemimpinan mereka agar mengambil tindakan. Dan, jelasnya, keluar dari IUPA adalah satu langkah kecil menuju tujuan yang lebih besar, dan lebih merupakan pilihan moral dibandingkan pilihan politik. Bahkan jika AFL-CIO mengusir setiap polisi di setiap serikat afiliasinya besok, polisi itu sendiri akan baik-baik saja; mereka akan diterima dengan tangan terbuka di asosiasi polisi independen lainnya.
Namun disonansi kognitif yang timbul karena mengetahui bahwa anggota serikat saya dipukuli hingga berdarah dan ditangkap secara kejam oleh anggota serikat pekerja lain yang berada di bawah payung AFL-CIO adalah hal yang memuakkan, begitu juga dengan kesadaran bahwa kita harus melawan kepemimpinan kita sendiri untuk memaksakan perubahan. Namun saya tahu bahwa banyak dari kita yang menghadapi tantangan, dan perjuangan ini masih jauh dari selesai.
Seperti yang ditulis oleh pemimpin abolisionis dan buruh terkenal Frederick Douglass pada tahun 1857, “Izinkan saya memberi Anda penjelasan tentang filosofi reformasi. Seluruh sejarah kemajuan kebebasan manusia menunjukkan bahwa semua konsesi yang dibuat terhadap klaim-klaimnya yang agung lahir dari perjuangan yang serius… Jika tidak ada perjuangan, maka tidak ada kemajuan.”