Copyleft vs. Copyright: Sebuah Kritik Marxis // Bagian 2 – Selesai

Sumber: https://www.reddit.com/

Sejarah Gerakan Perangkat Lunak Bebas

Ada yang mengungkapkan pendapat, seperti Bruce Sterling, bahwa dunia maya mulai muncul sejak tahun 1876 dengan adanya telepon. Warisan sejarah komunitas hacker kemudian dapat ditelusuri kembali melalui bocah laki-laki yang sebelumnya dipekerjakan sebagai operator telepon, tetapi segera diganti dengan buruh perempuan yang lebih cakap karena bocah tadi sering melakukan kerusakan. Komunitas hacker tumbuh secara langsung dari gerakan anarkis Amerika di tahun 60-an yang mempraktikkan peretasan sistem sebagai strategi pembangkangan sipil. Dalam dekade berikutnya, beberapa berkembang menjadi telepon phreaks, yakni subkultur yang ahli (spesialisasi) dalam menyadap saluran telepon dan pencurian kecil-kecilan berteknologi tinggi lainnya. Menerobos sistem adalah hal yang mudah sehingga melampaui ideologi anarkis; dorongan telepon phreak yang semakin meningkat adalah serangan atas kekuatan yang dimiliki dari penguasaan teknologi (Sterling, 1994).

Pada tahun 60-an ketika militer AS mendanai penelitian yang akhirnya mengarah pada penemuan Internet. Internet pada awalnya berada di lingkungan militer dan akademis, dan akhirnya menyebar ke telepon phreak melalui para pelajar dan mereka yang putus sekolah. Kampus-kampus universitas menjadi tempat utama bagi pertumbuhan atas perkembangan fungsi Internet. Software operasi dikembangkan dalam kontrol akademis, terutama di Berkeley dan MIT, dan di fasilitas-fasilitas penelitian perusahaan besar seperti Bell Labs di mana para peneliti memiliki otonomi yang cukup besar. Para pengguna komputer awal ini sebagian besar membuat program untuk kebutuhan mereka sendiri dan untuk kebutuhan kolega mereka; berkonsultasi satu sama lain adalah bagian penting dari proses pembelajaran. Ketika Usenet dikembangkan pada 1979, para programmer dihubungkan bersama dalam sebuah jaringan, yang selanjutnya mendorong mereka untuk saling berbagi [sharing] (Lerner dan Tirole, 2000). Esensi dari berbagi file adalah bahwa perangkat lunak berstatus sekunder-relatif terhadap komputer. Perangkat lunak adalah produk sampingan; mesinlah yang merangkum biaya sebenarnya. Ketika perangkat lunak menjadi lebih bernilai daripada perangkat keras, institusi menuntut kendali atas distribusinya.

Johan Söderberg meraih gelar Ph.D. di Göteborgs Universitet, Swedia, pada bidang Sains dan Teknologi dengan tesisnya “Free software to open hardware: Critical theory on the frontiers of hacking”. Ketika ini disusun, ia sedang menempuh tingkat dua [second degree] di bidang Illustration, di Falmouth College of Arts, UK.
Ia (pernah) menjadi dewan editorial di beberapa jurnal: Journal of Peer Production; Science as Culture and Engaging Science; dan Technology and Society.

Sebagai tanggapan atas upaya kontrol tersebut, Richard Stallman mendirikan Free Software Foundation pada tahun 1985. Yayasan ini didasarkan pada perkakas [toolbox] perangkat lunak, GNU, yang sekarang menjadi tulang punggung komunitas pemrograman bebas. Mungkin yang lebih penting adalah penemuan Lisensi Publik Umum (General Public License—GPL), atau yang dikenal sebagai copyleft[1]“Copyleft menggunakan undang-undang hak cipta, tetapi membalikkannya untuk melayani tujuan yang berlawanan: alih-alih sebagai sarana privatisasi perangkat lunak, ia menjadi sarana untuk menjaga … Continue reading. GPL dapat diterapkan di mana pun bahkan pada tempat di mana hak cipta digunakan; buku, gambar, dan musik banyak dirilis di bawah lisensi ini.[2]Eksperimen terbaru yang melibatkan copyleft adalah Open-Cola, minuman ringan yang disertakan dengan resepnya. Inisiatif baru lainnya adalah ensiklopedi Wikipedia, yang ditulis dan diedit secara Open … Continue reading

Difusi Internet di awal 90-an memacu pergerakan dan mewujudkan pencapaian terbesarnya, Linux. Program ini adalah proyek perangkat lunak bebas terbesar dan paling dikenal secara luas serta memiliki signifikansi tertentu. Menjadi sistem operasi, Linux memiliki relevansi dengan berbagai aplikasi komputer. Dan yang paling penting secara simbolis, Linux menantang produk utama Microsoft, Windows. Linux didasarkan pada upaya dari setidaknya 3.000 kontributor utama coder, yang tersebar di 90 negara dan lima benua. Bahkan di sektor korporat yang sangat terorganisir dan hierarkis, sulit untuk menemukan perkembangan teknik yang sebanding dalam ukuran dan jangkauan geografis dengan yang dilakukan oleh proyek Linux (Moon dan Sproull, 2000).

Saat ini program dengan sumber-bebas [opensource] mendominasi beberapa aplikasi komputer. Misalnya, program untuk server Web, Apache, memegang 50% dari pasar layanan web, sementara operator komersial terbesar, Microsoft, hanya memiliki 20%[3]DiBona dkk., 1999, hal. 9.. Bukti lain dari kesuksesannya adalah bahwa pengguna [user] yang ingin mendapatkan fitur keinginannya, lebih cenderung memilih kode-sumber bebas [free sourcecode]. Fermilab, laboratorium fisika berenergi-tinggi, yang memilih Linux untuk menjalankan komputer mereka, sebagian untuk mengurangi biaya, dan sebagian lagi karena perangkat lunak bebas memungkinkan mereka untuk melakukan kontrol lebih[4]Lihat http://www-oss.fnal.gov/fss/documentation/linux/, diakses 4 maret 2002, dan Young dalam DiBona dkk., 1999, hal. 119.. Untuk beberapa negara berkembang, perangkat lunak gratis (“gratis” berbeda dengan “bebas”—penj.) menawarkan alternatif yang terjangkau dalam rangka mengembangkan infrastruktur informasi (Bezroukov, 1999a).

Tren saat ini adalah keterlibatan di dalam komputer bawah tanah oleh korporasi-korporasi. Bagian dari komunitas hacker tampaknya tertarik untuk memasukkan bisnis ke dalam komunitas. Mereka percaya bahwa investasi kapital dan kehormatan perusahaan dapat memanfaatkan perangkat lunak bebas dan membantu menyebarkannya ke arus utama. Pada tahun 1998, Open Source diluncurkan, sebuah skema perizinan yang lebih ramah-bisnis. Serangan Open Source telah berhasil menarik perusahaan multinasional besar. IBM dan Oracle mendukung proyek Open Source secara finansial, dan Netscape menyediakan browser Web-nya dengan kode sumber [sourcecode] (DiBona et al., 1999).

 

Kekuatan Perangkat Lunak Bebas

Di “Katedral dan Bazaar“, Eric Raymond membandingkan dua gaya pengembangan perangkat lunak yang berlawanan, model pemrograman komersial katedral dan model bazaar dari pemrograman perangkat lunak bebas/terbuka. Dalam model bazaar, siapa pun yang memiliki akses Internet dan keterampilan pemrograman dapat terlibat dalam proses tersebut. Dengan demikian, proyek perangkat lunak bebas anggaran sering kali melibatkan lebih banyak jam kerja dari pemrogram yang terampil daripada yang mampu dibayar oleh perusahaan besar. Banyaknya jumlah penguji beta [beta tester] dan rekan pengembang merupakan keuntungan utama karena sangat mempercepat waktu untuk mengidentifikasi dan memperbaiki bug. Dengan sepenuhnya memanfaatkan feedback dari pengguna, versi model bazaar lebih sering dirilis, dalam kasus ekstrim mereka bisa merilis satu versi baru setiap hari, dan peningkatan terus dilakukan. Sebaliknya, pemutakhiran perangkat lunak bergaya katedral tidak dapat dirilis sebelum periode pengujian yang lama untuk memastikan bahwa semua bug telah diperbaiki. Pada akhirnya perangkat lunak bebas/terbuka lah yang menang, Raymond membuktikan; “[…] karena dunia komersial tidak dapat memenangkan perlombaan senjata evolusioner dengan komunitas open-source yang mana mereka lebih dapat menempatkan waktu, kapasitas untuk menyelesaikan”. Tingkat inovasi yang tinggi dari perangkat lunak bebas telah ditekankan oleh banyak pihak lainnya dan merupakan salah satu alasan kenapa perusahaan-perusahaan mulai tertarik dengan gerakan tersebut (DiBonaet al., 1999).

Namun, makalah Raymonds telah dikritik oleh beberapa orang karena dianggap terlalu sederhana. Komunitas perangkat lunak bebas tidaklah pluralistik seperti yang terlihat. First mover advantance (FMA)[5]Catatan penerjemah: Dalam strategi pemasaran, keuntungan penggerak pertama (First Mover Advantage—FMA) adalah keuntungan yang diperoleh oleh inisiator signifikan awal (“first-moving”) … Continue reading cukup kuat, bahkan mungkin lebih kuat dibandingkan pengembangan komersial, karena proyek yang sukses cenderung memangsa proyek serupa. Salah satu kasusnya adalah BSD Unix yang secara efektif diserap oleh kesuksesan Linux. Pandangan egaliter juga tidak dapat menafikan fakta; ego adalah motivasi penting begitu juga dengan peringkat [status hierarchies] dalam prinsip pengorganisasian komunitas. Hubungan kekuasaan yang didasarkan pada reputasi, kontak, kelihaian, dan keterampilan teknis memainkan peran penting dalam mengarahkan setiap pengembangan perangkat lunak bebas. Cita-cita anarkis selanjutnya dikompromikan oleh ketergantungan pengembangan perangkat lunak bebas pada kelompok inti dewan-tertinggi [a core group of chieftains] dan/atau pemimpin karismatik yang memimpin proyek (Bezroukov,1999b). Sebuah survei menemukan bahwa 10% produsen teratas [pimpinan komunitas—penj.] dari program perangkat lunak bebas, menyumbang 72,3% dari total basis kode, dengan disproporsi lebih lanjut di tingkat atas (Ghosh dan Prakash, 2000). Meskipun kritik tersebut relevan, hal itu tidak merubah penjelasan kita bagaimana Linux dan proyek perangkat lunak bebas lainnya telah mengungguli iklan komersial yang bernilai jutaan dolar.

Sebuah anggapan masuk akal dari mode anarkis atas produksi perangkat lunak adalah bahwa mereka pada akhirnya harus dibagi-bagi menjadi kelompok yang saling bersaing. Tidak sama sekali, Young menegaskan, yang terjadi adalah justru sebaliknya. Dalam pengembangan properti komersial, inovasi disimpan dan tertutup, sehingga seiring berkembangnya proyek komersial, inovasi tersebut saling berbeda satu sama lain. “Di Linux kecenderungannya terbalik. Jika salah satu pemasok Linux mengadopsi inovasi yang sedang populer di pasar, vendor Linux lainnya akan segera mengadopsi inovasi itu. Hal tersebut karena mereka memiliki akses ke kode-sumber [source-code] dari inovasi itu dan berada di bawah lisensi yang memungkinkan mereka untuk menggunakannya … itu merupakan bagian dari kekuatan Open Source: ia menciptakan tekanan pemersatu semacam itu untuk menyesuaikan diri dengan titik referensi bersama–yang berlaku, yang menjadi standar terbuka–dan menghilangkan penghalang kekayaan intelektual yang mana ia akan menghambat konvergensi tersebut.”[6]Young dalam DiBona dkk., 1999, hal. 124..

Oz Shy juga membahas tentang perbandingan meskipun dari sudut yang sepenuhnya berbeda. Argumennya adalah bahwa pasar akan memaksa industri perangkat lunak itu sendiri untuk menonaktifkan hak cipta atas produk mereka. Menurut apa yang dikenal sebagai ‘asumsi eksternalitas jaringan’, jaringan menjadi lebih berharga dengan semakin banyak node[7]Catatan penerjemah: Node; atau simpul jaringan adalah titik redistribusi atau titik akhir komunikasi yang disertakan. Model ideal dari logika ini adalah bahasa; ia menjadi lebih berguna ketika jumlah yang mengucapkannya semakin banyak. Pengguna menginginkan kesesuaian dan bukan pengecualian. “Memproduksi perangkat lunak yang tidak diproteksi, akan meningkatkan jumlah total pengguna, karena semua konsumen yang dikeluarkan [miring oleh penerjemah] dari pasar dan karena mereka sebenarnya, yang tidak ingin membayar perangkat lunak sekarang menjadi pengguna, sehingga hal tersebut meningkatkan nilai perangkat lunak”[8]Shy dalam Kahin dan Varian, 2000, hal. 105.. Dengan demikian, perusahaan dapat menetapkan harga yang lebih tinggi untuk perangkat lunak tersebut daripada yang seharusnya. Tidak diragukan lagi, peningkatan pembayaran yang dibebankan, ditentukan dengan cara ditukar dari jumlah pelanggan yang akan berhenti membayar. Tetapi institusi, perusahaan, dan universitas akan selalu menjadi pelanggan yang membayar. Oleh karena itu Oz menyimpulkan bahwa “dalam industri perangkat lunak, yang mana semua perusahaan memproteksi perangkat lunak mereka, perusahaan perangkat lunak dapat meningkatkan keuntungannya dengan menghapus perlindungan salinan dari perangkat lunaknya”[9]Op. cit., hal. 108..

Harapan Oz bahwa pasar dengan sendirinya akan menyesuaikan dengan permintaan konsumen yang sebanding sungguhlah naif. Kepentingan bersama perusahaan untuk mempertahankan hak kekayaan intelektual meluas ke analisis pasar yang sempit. Namun, alasan Oz berlaku tepat untuk keberadaan perangkat lunak bebas di luar pasar [tebal oleh penerjemah], yang pada gilirannya memberikan tekanan pada produk komersial di pasar. Perangkat lunak bebas memiliki keunggulan besar dibandingkan perangkat lunak komersial karena tidak memiliki hambatan ekonomi untuk masuk, dan dalam ambang batas teknologi yang rendah yang memungkinkan para amatir untuk terlibat di dalamnya secara aktif.

 

Ideologi Peretasan

Sebelumnya saya telah menekankan bahwa ketika jalannya penindasan ditingkatkan melalui teknologi, perlawanan harus menggunakan teknologi juga. Komunitas peretas diposisikan di garis depan pada bidang yang diperebutkan ini. Sayangnya, teori radikal sering kali mengabaikan potensi perangkat lunak bebas dan peretasan, Internet hanya dianggap sebagai alat mobilisasi untuk gerakan protes tradisional.

Gerakan peretas adalah proyek politik. Seperti aktivitas subkultur ‘alternatif’ yang tidak secara langsung ditentukan oleh keterlibatan politik mereka, “perjuangannya adalah secara ekonomi, politik, dan budaya – dan karenanya mereka adalah perjuangan biopolitik, perjuangan atas bentuk kehidupan. Mereka adalah perjuangan konstituen, menciptakan ruang publik baru dan bentuk komunitas baru[10]Hardt dan Negri, 2000, hal. 56.. Induk pemersatu dan kekuatan mobilisasi untuk peretas bawah tanah adalah musuh bersama Microsoft (Bezroukov, 1999a). Perlawanan terhadap Microsoft berasal dari prinsip-prinsip anarkistis sosialis, dan dari libertarianisme teknologi tinggi. Penyimpangan sayap kanan, dijuluki sebagai Ideologi California, merupakan transisi baru-baru ini. Fenomena tersebut tidaklah mengherankan, mengingat dominasi hegemoni sektor korporat di Amerika Serikat dan taruhan yang lebih besar dalam perangkat lunak bebas untuk bisnis. Namun, ini bertentangan dengan akar peretasan, yang pada dasarnya merupakan reaksi terhadap Taylorisme (Hannemyr, 1999). Motivasi dasar untuk terlibat dalam pemrograman bebas adalah serbuan pemberdayaan teknologi (Sterling, 1994), kegembiraan kreativitas yang tidak teralienasi (Moglen, 1999), dan rasa memiliki dalam komunitas (umumnya diakui oleh peretas sendiri sebagai ‘ego’, tetapi reputasi hanya dapat dipertahankan dalam sekelompok perkawanan, yaitu komunitas). Nilai-nilai tersebut mungkin tidak tampak politis pada pandangan pertama, tetapi mereka bertabrakan dengan agenda komersial untuk mengubah Internet menjadi pasar. Meningkatnya ketegangan dalam komunitas hacker ditunjukkan oleh kata-kata Manuel Castells: “Perjuangan antara kapitalis dengan kelas pekerja dimasukkan ke dalam pertentangan yang lebih mendasar antara logika nyata dari arus kapital dan nilai-nilai budaya pengalaman manusia”[11]Castells, 1996, volume I, hal. 476. Faktanya, sebagian komunitas Open Source yang mendapatkan keuntungan dari usaha mereka (atau orang lain) juga tidak menyangkal adanya ‘konflik kepentingan’, … Continue reading.

Prasyarat pemrograman bebas adalah mereka yang terlibat dipertahankan di luar hubungan pasar. Peretas umumnya disokong secara finansial dengan berbagai cara – oleh orang tua mereka, sebagai siswa yang hidup dengan dana hibah, sebagai orang yang putus sekolah dan mendapatkan tunjangan sosial, atau bahkan karyawan dalam perusahaan komputer – dan keberadaan mereka terkait dengan surplus materi yang berkembang dari kapitalisme informasi[12]Mumford menulis pada tahun 1934 bahwa para janda, yatim piatu, dan ‘orang-orang yang tidak banyak bergerak [miring oleh penerjemah]’ merupakan kelas penyewa yang independen dari hubungan kerja … Continue reading.

Ketertarikan pada ‘ekonomi apresiasi’[13]Catatan penerjemah: Teks asli dalam bahasa inggris: ‘gift economy’. dan kelimpahan dalam filosofi peretas, sejalan dengan konsep ‘surplus sosial’ yang merupakan landasan pemikiran Marxis klasik. Surplus sosial didefinisikan sebagai kekayaan materi yang diproduksi dalam masyarakat di atas tingkat yang dibutuhkan oleh produsen langsung dari kekayaan itu[14]Cohen membedakan empat tahapan sejarah berdasarkan kuantitas surplus yang dihasilkan masyarakat. “Pada tahap pertama, kekuatan produktif terlalu sedikit untuk memungkinkan kelas non-produsen untuk … Continue reading. Akan tetapi, kelebihan kekayaan diambil alih oleh non-produsen, dan di situlah letak asal mula masyarakat kelas[15]Tentu saja, perkembangan sosial sama sekali tidak berarti bahwa karena satu individu telah memenuhi kebutuhannya, ia kemudian menciptakan sesuatu yang berlebihan untuk dirinya sendiri; melainkan … Continue reading. Para pendukung pasca-kelangkaan [post-scarcity][16]Catatan penerjemah: Ekonomi pasca-kelangkaan (post-scarcity) merupakan situasi ekonomi yang mana mayoritas barang dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan jumlah pekerja manusia yang minimal. … Continue reading cenderung mengabaikan relasi kekuasaan dalam masyarakat yang bertindak atas kelimpahan materi.

Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa kontributor yang paling banyak untuk Open Source, dalam kaitannya dengan populasi mereka, adalah negara-negara sosial demokratis di Eropa utara, sedangkan jumlah aktivitas [produksi—penj.] di Amerika Serikat, relatif sangat rendah[17]Bagian dari penjelasan atas paradoks ini, yang ditawarkan oleh David Lancashire dan yang saya akui, adalah bahwa industri perangkat lunak lebih besar di AS dan lebih cenderung membutuhkan programmer … Continue reading. Paradoksnya, Inggris dan Persemakmuran kurang terlibat dalam pemrograman bebas dibandingkan negara-negara di benua Eropa, meskipun bahasa operasinya adalah bahasa Inggris (Lancashire, 2001). Lancashire menuduh bahwa rendahnya keterlibatan dalam perangkat lunak bebas di AS (secara relatif, tidak absolut, dan dalam bentuk angka) menyangkal gagasan tentang “gift economy” pasca-kelangkaan, karena AS adalah negara terkaya di dunia. Kesimpulannya salah karena dia juga gagal memperhitungkan distribusi kekayaan. Sebaliknya, studi tersebut mendukung hubungan antara sistem kesejahteraan umum dan komitmen pada proyek non-komersial. Oleh karena itu, gerakan peretas bersifat politis dalam arti kedua. Berkembangnya komunitas perangkat lunak bebas, tertanam dalam konteks redistribusi politik yang lebih luas, bahkan ketika peretas tidak mengambil bagian langsung dalam perjuangan itu.

Capital dan Komunitas

Antagonisme antara perangkat lunak bebas dan perangkat lunak properti[18]Catatan penerjemah: Perangkat lunak properti merujuk pada perngkat lunak bebas yang dikomersialkan (dijadikan hak privat). dapat dipertanyakan ketika mengingat bahwa perusahaan besar sekarang mendukung Open Source. Bahkan ada perusahaan, Cygnus dan Red Hat menjadi yang paling menonjol, yang model bisnisnya sepenuhnya didasarkan pada perangkat lunak bebas. Apakah ini hanyalah contoh lain dari apa yang disebut Schumpeter sebagai ‘penghancuran kreatif’ kapitalisme, di mana perusahaan baru yang muda menantang dan menggantikan praktik bisnis lama? Itulah pandangan banyak kritikus reformis hak cipta. Pamela Samuelson mereformasi industri hak cipta sebagai “dinosaurus Gelombang Kedua”[19]Samuelson, 1996b, hal. 191. Dalam hal ini ‘Gelombang Kedua’ mengacu pada tiga gelombang futuris Alvin Toffler (1980) pertanian, manufaktur dan informasi., yang menunjukkan bahwa lobi mereka untuk perlindungan hak cipta terisolasi dan pada akhirnya hancur.

Untuk menghadapi posisi ini, kita harus memeriksa bagaimana perusahaan mengeksploitasi perangkat lunak bebas. Robert F. Young, Chairman Red Hat, menjelaskan bahwa perusahaannya membujuk pelanggan, melalui branding, untuk membeli perangkat lunak yang dapat mereka miliki secara gratis. Pengguna lebih suka membayar Red Hat karena memberikan rasa keandalan. Sumber pendapatan yang tidak rasional tetapi tidak memaksa ini, tambah Young dalam komentar kritisnya, hanya menghasilkan sebagian kecil dari keuntungan perangkat lunak properti. Perusahaan yang didirikan dalam rezim perangkat lunak properti akan menjadi dungu untuk menonaktifkan hak cipta, kecuali jika dipaksa (Young dalam DiBona et al., 1999).

Mendukung prediksi Oz, perusahaan besar menggunakan Open Source jika pemimpin pasar, seperti Microsoft, memonopoli pasar. Perusahaan lain tidak akan rugi banyak; sebaliknya mereka dapat memperbesar keuntungan dengan cara lain, seperti mendistribusikan perangkat lunak untuk mempromosikan penjualan perangkat keras atau menjual layanan pendukung. Tetapi karena keuntungannya lebih rendah, saya mengemukakan ini sebagai pilihan sekunder dari yang lebih disukai, yakni memiliki monopoli properti pribadi; dan oleh karena itu keterlibatan perusahaan dalam perangkat lunak bebas mensyaratkan monopoli yang ada.

Perusahaan seperti Netscape tertarik pada perangkat lunak bebas, kata para pendukung Open Source, untuk kapasitas inovatif dari komunitas. Cara lain untuk mengatakannya adalah bahwa perusahaan berusaha untuk memangkas biaya tenaga kerja, hal tersebut adalah bukti kekalahannya atas Open Source yang revolusioner[20]Namun tidak dapat disangkal bahwa komunitas yang begitu cepat merayakan gerakan Open Source di masa lalu adalah yang tercepat untuk “menguangkan” fenomena tersebut. Slashdot adalah bagian dari … Continue reading. Jika perusahaan diizinkan untuk memanfaatkan tenaga kerja komunitas yang tidak dibayar dan inovatif, tenaga kerja rumahan [inhouse] dan upahan akan terdorong keluar oleh keharusan pasar untuk mengurangi biaya personel. Dengan demikian, situasi pekerjaan dan upah untuk pemrogram perangkat lunak, yang mana adalah mata pencaharian banyak orang dalam komunitas perangkat lunak bebas, akan disingkirkan[21]Pengamatan Lancashire bahwa letak geografis menjadi penting dalam hal di mana pemrograman Open Source berlangsung, dan bahwa di Amerika Serikat dengan industri komputer mutakhirnya, programmernya … Continue reading. Resiko dari tidak melakukan analisis kritis tidak dapat ditunjukkan dengan lebih jelas.

Tentunya kemudian, terdapat kepentingan yang kontradiktif antara kedua belah pihak, bukan dari kegiatan formal (bebas atau tertutup), tetapi dari agennya (komunal atau komersial). Jika masyarakat menjadi produsen dari nilai untuk kapital secara langsung, maka hubungan antagonis yang serupa dengan yang terjadi antara kapital dan tenaga kerja seharusnya muncul kepermukaan[22]Memang, kebanyakan kaum Marxis akan menolak klaim ini, tetapi ini adalah konsep sentral dalam pemikiran Autonomist Marxis. “Pengorganisasian siklus produksi kerja non-materiil […] tidak … Continue reading. Meskipun ini bukan tempat untuk mengembangkan pemikiran tersebut lebih jauh, saya menyarankan satu poin utama dari perjuangan. Konflik cenderung berkembang di sekitar kontrol, aksesibilitas, dan aliran keuntungan yang diizinkan oleh lisensi, terutama karena perusahaan mencoba memaksimalkan jarak antara kelompok tenaga kerja bebas yang terlibat dalam sebuah proyek seraya mempersempit kondisi-kondisi dari pemanfaatan atas produk[23]Pemisahan antara lisensi GPL dan Open Source adalah kasus di mana tuntutan bisnis menentukan kembali kondisi aktivitas komunitas agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Joe Barr menulis bahwa GPL … Continue reading.

Apa yang dilewatkan oleh kritikus reformis dari hak cipta seperti Pamela Samuelson adalah bahwa sektor-sektor yang bermasalah dengan penyalinan yang tidak sah (pembajakan—penj) tidak hanya menyasar manufaktur, sehingga bukan dinosaurus ‘Gelombang Kedua’. Sebaliknya, kontradiksi kekayaan intelektual menyerang jantung industri ‘Gelombang Ketiga’, inti dari ekonomi masa depan, baik itu hiburan multimedia, produsen perangkat lunak, konglomerat biomedis, atau industri lain yang didasarkan pada ilmu pengetahuan mutakhir. Singkatnya, kita tidak menyaksikan perjuangan untuk mati, tetapi persiapan untuk kelahiran. Ini bukanlah pertahanan terakhir dari kapitalis tunggal yang kuat, tetapi kehendak yang terkoordinasi dari kelas kapitalis universal, yang didukung oleh negara kapitalis. Kekayaan intelektual berusaha untuk menetapkan kondisi yang diperlukan untuk menopang ekonomi pertukaran pasar di masa depan, sebagai kebalikan dari ekonomi berdasarkan apresiasi/hadiah (gift economy—penj.). Sungguh konyol untuk percaya bahwa perusahaan multinasional secara luas akan mendukung strategi tandingan terhadap agenda ini, selain secara kebetulan bahwa mereka sedang berdiri untuk mendapatkan keuntungan dari ‘melewati batas’. Di bagian terakhir, saya akan memasukkan materialisme historis untuk menguraikan kemungkinan konflik.

Gambar: The cyber-socialism debate / https://www.technollama.co.uk/

Belenggu terhadap Kecerdasan Umum

Catatan singkat Marx tentang ‘kecerdasan umum’ dieksplorasi oleh sekolah pemikir radikal kontemporer yang dikenal sebagai Autonomist Marxist[24]”Saat ini produktivitas, kekayaan, dan penciptaan surplus sosial berbentuk interaktivitas kooperatif melalui jaringan linguistik, komunikasi, dan afektif”; Hardt dan Negri, 1999, hal. 294.. Komunitas perangkat lunak bebas memberikan contoh pertama dan terlengkap tentang bagaimana proses pembelajaran kolektif, komunikasi, atau kecerdasan umum, menjadi entitas produksi itu sendiri. Kode [code] pada dasarnya adalah bahasa, dan dengan demikian menawarkan model murni dari asumsi eksternalitas jaringan. Asumsi tersebut, yang menyatakan bahwa aturan komparabilitas atas pengecualian, adalah konsekuensi dari barang non-rival [miring oleh penerjemah], karena “setiap orang mengambil jauh lebih banyak dari Internet daripada yang dapat mereka berikan sebagai individu”, jadi menegakkan pertukaran yang setara akan merugikan semua orang (Barbrook, 1998). Kepentingan pribadi memastikan ‘ekonomi apresiasi’ [economy of gift][25]Frase ‘gift economy’ pertama kali digunakan oleh Marsel Mauss (1988) untuk menggambarkan organisasi ekonomi masyarakat pra-kapitalis. Para situasionist kemudian mengadopsi istilah tersebut dalam … Continue reading sebagai lawan dari pertukaran [pasar—penj.].

Kekuatan ekonomi apresiasi dalam mengorganisir kerja sosial yang tidak material disarankan oleh penelitian akademis, yang sebagian besar telah disusun pada sistem penghargaan yang tidak tergantung pada permintaan pasar (Shavell dan Ypersele, 1999). Dalam tiga dekade terakhir penelitian ilmiah dengan cepat menjadi privatisasi[26]Marx mengantisipasi perkembangan ini, dan menulis “[…] ia adalah, pertama-tama, analisis dan penerapan hukum mekanik dan kimia, yang muncul langsung dari sains, yang memungkinkan mesin untuk … Continue reading melalui paten dan transisi pendanaan dari pemerintah ke sektor korporasi (Nelkin, 1984). Robinson menyimpulkan keberadaan paradoks dari penelitian berbasis properti: “Pembenaran terhadap sistem paten adalah bahwa dengan memperlambat penyebaran kemajuan teknologi, ia memastikan akan ada lebih banyak kemajuan untuk menyebar … Karena ia berakar pada kontradiksi, tidak ada yang namanya sistem paten yang secara ideal menguntungkan […]”[27]Robinson, dikutip dalam Nelkin, 1984, hal. 15.. Dalam kasus industri komputer, studi MIT menunjukkan bahwa setelah penegakan paten banyak dipraktikan di sektor tersebut, inovasi dalam industri melambat[28]Bessen dan Maskin, 2000, hal. 2-3.. Tentu saja kapitalisme tidak pernah bekerja secara optimal bahkan jika diukur dengan patokan sempitnya sendiri. Misalnya, perusahaan terkadang menekan teknologi baru untuk memastikan ketergantungan sumber daya (Dunford, 1987). Tetapi jika prediksinya benar bahwa “[…] Khusus untuk mode perkembangan informasional adalah aksi dari pengetahuan atas pengetahuan itu sendiri sebagai sumber utama produktivitas”[29]Castells, 1996, volume I, hal. 17., – yaitu, penelitian dan inovasi menjadi jantung dari ekonomi – maka kita dibenarkan untuk bertanya; “[…] apa yang terjadi jika friksi menjadi mesin?” (DeLong dan Froomkin, 2000).

Menjadi masuk akal untuk menyatakan, bahwa rezim kekayaan intelektual telah menjadi Belenggu Pembangunan [miring oleh penerjemah] bagi kekuatan produksi yang muncul. Ini juga merupakan Use Fettering, seperti dalam kasus ketika orang miskin di Dunia Ketiga tidak mendapatkan obat-obatan untuk menyelamatkan nyawa, yang dapat dipasok bahkan dengan biaya mendekati 0 rupiah (Bailey, 2001), yang mana obat-obatan tersebut tidak didistribusikan demi menjaga nilai tukar dan komoditas berupa obat.

Kerja sosial membuat terobosan dalam produksi kapitalis itu sendiri, yang mana harus memanfaatkan kapasitas kerja sama dan kapasitas komunikatif dari tenaga kerja agar tetap kompetitif[30]“[…] siklus kerja non-materiil berperan sebagai titik awalnya suatu kerja sosial yang mandiri dan mampu mengatur baik pekerjaannya sendiri maupun hubungannya dengan entitas bisnis”; … Continue reading. Tanpa fungsi koordinasi, kapital kehilangan dominasi atas tenaga kerja, yang mana membuat Lyon merenung: “Pertanyaannya adalah, apa yang akan terjadi ketika pekerja, dengan semua tanggung jawab barunya terhadap kualitas, bertanya; mengapa manajemen diperlukan? Pengawasan adalah satu-satunya basis kekuatan yang tersisa yang dimiliki manajer atas pekerjanya“[31]Lyon, 1994, hal. 133..

Akan tetapi, ciri yang membedakan dan paling menjanjikan dari perangkat lunak bebas adalah bahwa ia telah menjamur secara spontan dan seluruhnya di luar struktur produksi kapital sebelumnya. Ini telah membangun ekonomi paralel yang mengungguli ekonomi pasar. Hal ini dapat dianggap sebagai indikasi bagaimana kekuatan produktif melampaui relasi produksi yang sudah mapan.

Dari Properti ke Lisensi – Perubahan Relasi Produksi?

Sekarang ketika materialisme historis terbukti berfungsi dalam menggambarkan kekuatan-kekuatan produksi yang berkembang dan belenggu kekuatan-kekuatan itu, kita diharuskan untuk memeriksa keakuratan prediksinya bahwa relasi produksi juga terpengaruh[32]Hubungan produksi adalah “[…] hubungan kekuasaan secara efektif atas orang dan tenaga produktif […]”; Cohen, 2000, hal. 63.. Sejak kebangkitan kapitalisme, kepemilikan yang ditetapkan ke properti pribadi telah menjadi kendaraan utama untuk menegakkan ‘kekuatan efektif’. Bisa dibilang, ada pergeseran hari ini dari properti ke sewa, sebagai bentuk kontrol dominan atas alat produksi. Meningkatnya sewa tidak hanya terlihat di sektor informasi, tetapi juga di bidang pertanian dan manufaktur. Sebagai contoh industri makanan cepat saji. Unit kecil dari produsen yang memiliki sendiri dan menjalankan sebagian besar rantai pasokan, dari petani hingga outlet waralaba. Kapital tidak memiliki instalasi tersebut pada dirinya, tetapi masih meraup bagian terbesar dengan memerintahkan lisensi, entah itu merek, paten, atau hak cipta – inkarnasi berbeda dari rezim kekayaan intelektual. Ada beberapa keuntungan nyata di sisi produksi dibandingkan kapital dalam mengatasi rezim properti: “Dalam dunia persaingan yang semakin ketat, produk dan layanan yang lebih beragam, dan siklus hidup produk yang lebih pendek, perusahaan tetap berada di puncak dengan mengendalikan saluran dan distribusi keuangan sambil mendesak konsentrasi kepemilikan dan pengelolaan aset fisik ke entitas yang lebih kecil.“[33]Rifkin, 2000, hal. 27..

Demikian juga, ada insentif di sisi konsumsi untuk menggantikan kepemilikan dengan lisensi: “Inilah kerugian utama bagi produsen pengetahuan ketika mengandalkan rezim properti. Yakni dengan mengizinkan produk untuk dapat dijual, dan dengan demikian dimiliki, pemilik menjadi pemegang hak (bahkan jika hak-hak ini sekunder dan dibatasi dalam kaitannya dengan reproduksi kekayaan intelektual) dan memiliki hak yang sah secara hukum terkait penggunaan properti tersebut untuk tujuan pribadi mereka”[34]May, 2000 hal. 139.. Hal ini membawa Christopher May membuat sebuah proposisi yang tajam. Pengetahuan yang diklaim kapital sebagai kekayaan intelektual seringkali diambil dari komunitas pertama yang memproduksinya, baik itu perangkat lunak yang dibuat oleh peretas atau tanaman yang telah dibudidayakan oleh generasi petani. Strategi untuk melawan hukum pembajakan adalah dengan mengakui status hak milik dari komunitas tertentu. Strategi ini pada dasarnya adalah rute yang diambil oleh Free Software Foundation dan copyleft. Sebuah garis yang tidak ditarik antara properti dan lisensi, tetapi antara bentuk lisensi yang berlawanan, yang satu mendukung rezim kepemilikan dan yang lainnya komunal. Siapa yang akan menang? Mengingat materialisme historis, salah satu fondasinya menyatakan bahwa “kelas yang memerintah melalui suatu periode, atau muncul sebagai pemenang setelah konflik zaman, adalah kelas yang paling cocok, paling mampu, dan cenderung, untuk memimpin perkembangan tenaga produktif pada waktu tertentu”[35]Cohen, 2000, hal. 149..

Kesimpulan

Marxisme menawarkan kerangka teoritis untuk menganalisis kontradiksi yang melekat dalam rezim kekayaan intelektual saat ini. Keberhasilan perangkat lunak bebas dalam mengungguli perangkat lunak komersial adalah contoh atas kekuatan produktif dari kecerdasan umum, diramalkan oleh Marx 150 tahun yang lalu. Ini mendukung klaim kaum Autonomist Marxists bahwa produksi menjadi sosial secara intensif, dan mendukung argumen mereka tentang meningkatnya ketidaksesuaian antara tenaga kerja kolektif dan ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi.

Produktivitas kerja sosial mendorong korporasi untuk menundukkan aktivitas masyarakat. Tetapi ia menimbulkan kontradiksi dengan kapital, di satu sisi kapital berkembang dari kerja sosial oleh orang-orang [pengguna] yang terampil secara teknologi; di sisi lain, ia harus menekan kekuatan pengetahuan para pengguna tersebut untuk melindungi rezim kekayaan intelektual. Untuk memiliki keduanya, kapital hanya dapat mengandalkan kekuatan hegemoniknya. Karena alasan inilah para cheerleader dari Ideologi California antusias untuk berbaris melayaninya. Pada awalnya, kebingungan ideologis disebabkan oleh eksperimen kapital untuk mengeksploitasi tenaga kerja dan idealisme kolektif (misalnya lisensi Open Source), yang membuat garis demarkasi antara kawan dan musuh lebih sulit untuk ditarik. Tetapi untuk setiap ‘manajemen’ kerjasama sosial yang berhasil meningkatkan keuntungan, terdapat pihak-pihak lain dari komunitas yang bertransformasi menjadi revolusioner dan terlibat dalam konflik. Yang pasti terjadi adalah, komunitas akan berubah menjadi sarang yang subur untuk perlawanan terhadap hegemoni [kapitalisme—penj.].

Di sinilah peran Marxisme sebagai alat analisis kritis dan kesadaran ideologis. Pada akhirnya, arah sejarah tidak dapat direduksi menjadi kekuatan produktif yang muncul, yang dengan mudah dipetakan oleh materialisme historis, tetapi diperebutkan dan diselesaikan dalam pergulatan antara aktor-aktor sosial. Dalam perjuangan ini gerakan hacker menjadi penting, saya tekankan, karena mereka bisa menantang dominasi kapital atas perkembangan teknologi.

Bacaan yang Direkomendasikan

Saya ingin merekomendasikan empat buku untuk dibaca lebih lanjut.

Untuk mendapatkan tinjauan menyeluruh dan diteliti dengan baik, tentang tanggapan Marxis kontemporer terhadap Era Informasi, buku Nick Dyer-Witheford yang berjudul Cyber-Marx, Cycles and Circuits of Struggle in High-Technology Capitalism (Urbana, Ill .: University of Illinois Press, 1999) adalah apa yang Anda cari. Ini tersedia di Internet di http://www.fims.uwo.ca/people/faculty/dyerwitheford/index.htm.

Lawrence Lessig dalam bukunya Code and Other Laws of Cyberspace (New York: Basic Books, 1999) menawarkan argumen yang meyakinkan tentang mengapa dan bagaimana teknologi informasi dapat diubah dari keadaan anarkistisnya saat ini menjadi mekanisme untuk regulasi dan pengawasan.

Penulis dengan wawasan paling luas yang pernah saya temui yang secara langsung membahas masalah peretasan dari perspektif radikal, adalah Richard Barbrook. Teksnya mudah ditemukan di Internet.

Selain itu, saya ingin mempromosikan Lewis Mumford, yang karyanya dari tahun 30-an masih memukau dalam aktualitas dan perseptifnya.

Kepustakaan

  • Michael Bailey, 2001. “Priced Out of Reach: How WTO Patent Policies Will Reduce Access to Medicines in the Developing World,” di http://www.oxfam.org.uk/policy/papers/priced/priced.rtf, diakses 4 Maret 2002.
  • Richard Barbrook, 1998. “The High-Tech Gift Economy” First Monday, volume 3, nomor 12 (Desember), di http://firstmonday.org/issues/issue3_12/barbrook/, diakses 4 Maret 2002.
    John P. Barlow, 1994. “The Economy of Ideas”. di http://www.wired.com/wired/archive/2.03/economy.ideas_pr.html, diakses 4 Maret 2002.
  • Joe Barr, 2001, “Live and let license”. http://www.itworld.com/AppDev/350/LWD010523vcontrol4/, diakses 4 Maret 2002.
  • James Bessen dan Eric Maskin, 2000. “Sequential Innovation, Patents, and Imitasi”. di http://www.researchoninnovation.org/patent.pdf, diakses 4 Maret 2002.
  • Roland V. Bettig, 1997 “The Enclosure of Cyberspace”. Critical Studies in Mass Communication, volume 14, nomor 2 (Juni), hal 138-157. http://dx.doi.org/10.1080/15295039709367004
    Roland V. Bettig, 1996. “Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual Property”. Boulder, Colo .: Westview Press.
  • Nikolai Bezroukov, 1999a. “Open Source Development as a Special Type of Academic Research (Critique of Vulgar Raymondism)”. First Monday, volume 4, nomor 10 (Oktober), di http://firstmonday.org/issues/issue4_10/bezroukov/, diakses 4 Maret 2002.
  • Nikolai Bezroukov, 1999b. “A Second Look at the Cathedral and the Bazaar”. First Monday, volume 4, nomor 12 (Desember), di http://firstmonday.org/issues/issue4_12/bezroukov/, diakses 4 Maret 2002.
  • Murray Bookchin, 1977. “Post-Scarcity Anarchism”. Montreal: Black Rose Books.
    Harry Braverman, 1998. “Labor and Monopoly Capital: The Degradation of Work in the Twentieth Century”. New York: MonthlyReview Press.
  • Manuel Castells, 1996. “The Rise of the Network Society”. Information age, volume 1. Malden, Mass .: Blackwell.
  • GA Cohen, 2000. “Karl Marx’s Theory of History: A Defence”. Oxford: Clarendon Press.
    Guy Debord, 1994. “Society of the Spectacle”. New York: Zone Books.
  • Chris DiBona, Sam Ockman dan Mark Stone (editor), 1999. “Open Sources: Voices from the Open Source Revolution”. Sebastopol, California: O’Reilly & Associates.
  • Giovanni Dosi, Christopher Freeman, Richard Nelson, Gerald Silverberg dan Luc Soete (editor), 1988. “Technical Change and Economic Theory”. London: Pinter.
  • Richard Dunford, 1987. “The Suppression of Technology”. Administrative Science Quarterly, volume 32, hal. 512-525. http://dx.doi.org/10.2307/2392881.
  • Nick Dyer-Witheford, 1999. “Cyber-Marx: Cycles and Circuits of Struggle in High-Technology Capitalism”. Urbana, Ill .: University of Illinois Press.
  • Richard Edwards, 1979. “Contested Terrain: The Transformation of the Workplace in the Twentieth Century”. New York: Basic Books.
  • John Frow, 1996. “Information as Gift and Commodity”. New Left Review, nomor 219 (September-Oktober), hal 89108.
  • Rishab Ghosh dan dan Vipul Ved Prakash, 2000. “The Orbiten Free Software Survey”. Senin Pertama, volume 5, nomor 7 (Juli), di http://firstmonday.org/issues/issue5_7/ghosh/, diakses 4 Maret 2002 .
  • Anthony Giddens, 1995. “A Contemporary Critique of Historical Materialism”. Edisi kedua. London: Macmillan.
  • Arnulf Grubler dan Helga Nowotny, 1990. “Towards the Fifth Kondratiev Upswing: Elements of am Emerging New Growth Phase and Possible Development Trajectories”. International Journal of Technological Management, volume 5, nomor 4, hal 431-471.
  • Gisle Hannemyr, 1999. “Technology and Pleasure: Considering Hacking Constructive”. First Monday, volume 4, nomor 2 (Februari), di http://firstmonday.org/issues/issue4_2/gisle/, diakses 4 Maret 2002.
  • Michael Hardt dan Antonio Negri, 2000. “Empire”. Cambridge, Mass .: Harvard University Press.
    A. Michael Heller, 1998. “The Tragedy of Anticommons: Property in the Transition from Marx to Markets”. Harvard Law Review, volume 61, hal. 622-687.
  • Ivan Illich, 1973. “Tools for Conviviality”. London: Calder dan Boyars.
  • Brian Kahin dan Hal R. Varian (editor), 2000. “Internet Publishing and Beyond”. Cambridge, Mass .: MIT Press.
  • Naomi Klein, 2000. No Logo: “Taking Aim at the Brand Bullies”. New York: Picador.
  • Thomas S. Kuhn, 1996. “The Structure of Scientific Revolutions”. Edisi ketiga. Chicago: Pers Universitas Chicago.
  • David Lancashire, 2001. “Code, Culture and Cash: The Fading Altruism of Open Source Development”. First Monday, volume 6, nomor 12 (Desember), di http://firstmonday.org/issues/issue6_12/lancashire/, diakses 4 Maret 2002.
  • Graham Lawton, 2002. “The Great Giveaway”. New Scientist, nomor 2328 (2 Februari), hal. 34-37, dan di http://www.newscientist.com/hottopics/copyleft/copyleftart.jsp, diakses 4 Maret 2002.
  • John Lerner dan Jean Tirole, 2000. “The Simple Economics of Open Source”. Kertas Kerja National Bureau of Economic Research (NBER) nomor w7600, abstrak di http://papers.nber.org/papers/w7600, diakses 4 Maret 2002 .
  • Lawrence Lessig, 1999. “Code and Other Laws of Cyberspace”. New York: Buku Dasar.
    David Lyon, 1994. “The Electronic Eye: The Rise of the Surveillance Society”. London: Polity Press.
  • Steve Mann, 2000. “Free Source as Free Thought: Architecting Free Standards”. First Monday, volume 5, nomor 1 (Januari), di http://firstmonday.org/issues/issue5_1/mann/, diakses 4 Maret 2002.
  • John Markoff, 2000. “The Concept of Copyright Fights for Internet Survival”. di http://www.nytimes.com/library/tech/00/05/biztech/articles/10digital.html, diakses 4 Maret 2002.
  • Karl Marx, 1990. “Capital”. London: Penguin.
  • Karl Marx, 1993. “Grundrisse. Foundations of the Critique of Political Economy”. London: Penguin.
  • Marcel Mauss, 1988. “The Gift: Forms and Functions of Exchange in Archaic Societies”. London: Routledge dan Kegan Paul.
  • Christopher Mei, 2000. “Global Political Economy of Intellectual Property Rights: The New Enclosure?”. London: Routledge.
  • Eben Moglen, 1999. “Anarchism Triumphant: Free Software and the Death of Copyright”. First Monday, volume 4, nomor 8 (Agustus), di http://firstmonday.org/issues/issue4_8/moglen/, diakses 4 Maret 2002 .
  • Jae Yun Moon dan Lee Sproull, 1999. “Essence of Distributed Work: The Case of Linux Kernel”. First Monday, volume 5, nomor 11 (November), di http://firstmonday.org/issues/issue5_11/moon/, diakses 4 Maret 2002.
  • Vincent Mosco dan Janet Wasko (editor), 1988. “The Political Economy of Information”. Madison, Wis .: Universitas Wisconsin Press.
  • Lewis Mumford, 1986. “The Future of Technics & Civilization”. London: Freedom Press.
  • Dewan Riset Nasional, 2000. “The Digital Dilemma: Intellectual Property in the Information Age”. Washington DC: National Academy Press.
  • Dorothy Nelkin, 1984. “Science as Intellectual Property: Who Controls Research?”. New York: Macmillan.
  • David F. Noble, 1998. “Digital Diploma Mills: The Automation of Higher Education”. First Monday, volume 3, nomor 1 (Januari), di http://firstmonday.org/issues/issue3_1/noble/, diakses 4 Maret 2002.
  • Eric S. Raymond, 1998a. “The Cathedral and the Bazaar”. First Monday, volume 3, nomor 3 (Maret), di http://firstmonday.org/issues/issue3_3/raymond/, diakses 4 Maret 2002.
  • Eric S. Raymond, 1998b. “Homesteading the Noosphere”. First Monday, volume 3, nomor 10 (Oktober), di http://firstmonday.org/issues/issue3_10/raymond/, diakses 4 Maret 2002.
  • Jeremy Rifkin, 2000. “The Age of Access: How the Shift from Ownership to Access is Transforming Capitalism”. London: Penguin.
  • Jeremy Rifkin, 1995. “The End of Work: The Decline of the Global Labor Force and the Dawn of the Post-Market Era”. New York: Putra GP Putnam.
  • Pamela Samuelson, 1996a. “Regulation of Technologies to Protect Copyrighted Works”. Communication of the ACM, Komunikasi ACM, volume 39, nomor 7 (Juli), hal. 17-22. http://dx.doi.org/10.1145/233977.233980.
  • Pamela Samuelson, 1996b. “The Copyright Grab”. Wired, volume 4, nomor 1 (Januari), hal. 134-138, 188-192, dan di http://www.wired.com/wired/archive/4.01/white.paper_pr.html, diakses 4 Maret 2002.
  • Brendan Scott, 2001. “Copyright in a Frictionless World: Toward a Retetoric of Responsibility”. First Monday, volume 6, nomor 9 (September), di http://firstmonday.org/issues/issue6_9/scott/, diakses 4 Maret 2002.
  • Richard Sennett, 1999. “The Corrosion of Character: The Personal Consequences of Work in the New Capitalism”. New York: Norton.
  • Steven Shavell dan Tanguy van Ypersele, 1999. “Rewards versus Intellectual Property Rights”. National Bureau of Economic Research (NBER) Working Paper nomor w6956, abstrak di http://papers.nber.org/papers/W6956, diakses 4 Maret 2002.
  • Vandana Shiva, 2000. “The Threat to Third World Farmers”. Ecologist, volume 60, nomor 6 (September), hal. 40-43.
  • Julian Stallabrass, 1995. “Empowering Technology: The Exploration of Cyberspace”. New Left Review, nomor 211 (Mei-Juni), hal. 3-32.
  • Bruce Sterling, 1994. “The Hacker Crackdown: Law and Disorder on the Electronic Frontier”. London: Penguin.
    Alvin Toffler, 1980. “The Third Wave”. New York: Morrow.
  • Paolo Virno dan Michael Hardt (editor), 1996. “Radical Thought in Italy: A Potential Politics”. Minneapolis: University of Minnesota Press.
  • Craig S. Volland, 1987. “A Comprehensive Theory of Long Wave Cycles”. Technological Forecasting and Social Change,, volume 32, nomor 2 (September), hal 123-145. http://dx.doi.org/10.1016/0040-1625(87)90035-7.
  • Erik Olin Wright, Andrew Levine dan Elliott Sober, 1992. “Reconstructing Marxism: Essays on Explanation and the Theory of History”. London: Verso.
  • Samuel A. Wolpert dan Joyce Friedman Wolpert, 1986. “Economics of Information”. New York: Van Nostrand Reinhold.

Tulisan ini adalah bagian kedua-selesai dari jurnal yang, sebelumnya beredar di Jurnal First Monday dengan judul “Copyleft vs. Copyright: A Marxist Critique“. Atas persetujuan penulis (Johan Söderberg) dan Kepala Editor First Monday, tulisan tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh M. R. Hidayatulloh dan diterbitkan di sini.

Untuk perbaikan dan saran terjemahan, Anda bisa menghubungi kami di sini.

References

References
1 Copyleft menggunakan undang-undang hak cipta, tetapi membalikkannya untuk melayani tujuan yang berlawanan: alih-alih sebagai sarana privatisasi perangkat lunak, ia menjadi sarana untuk menjaga perangkat lunak tetap bebas”; Richard Stallman, dalam DiBona, Ockman and Stone, 1999, hal. 59.
2 Eksperimen terbaru yang melibatkan copyleft adalah Open-Cola, minuman ringan yang disertakan dengan resepnya. Inisiatif baru lainnya adalah ensiklopedi Wikipedia, yang ditulis dan diedit secara Open Source (Lawton, 2002). Moglen menyatakan bahwa pemberitaan adalah area berikutnya di mana anarkis akan menang, karena konglomerat media “[…] dengan orang-orang cantik yang dibayar berlebihan dan infrastruktur teknis mereka yang besar, adalah satu-satunya organisasi di dunia yang tidak mungkin berada di mana-mana sepanjang waktu […]”; dikutip; Moglen, 1999, hlm. 17. Start-up pusat media independen, sebuah jaringan global di mana setiap orang dapat melaporkan berita lokal, menegaskan prediksi ini; lihat http://www.indymedia.org/, diakses 4 Maret 2002.
3 DiBona dkk., 1999, hal. 9.
4 Lihat http://www-oss.fnal.gov/fss/documentation/linux/, diakses 4 maret 2002, dan Young dalam DiBona dkk., 1999, hal. 119.
5 Catatan penerjemah: Dalam strategi pemasaran, keuntungan penggerak pertama (First Mover Advantage—FMA) adalah keuntungan yang diperoleh oleh inisiator signifikan awal (“first-moving”) dari suatu segmen pasar. FMA dapat diperoleh dengan kepemimpinan teknologi, atau pembelian sumber daya pada masa awal.
6 Young dalam DiBona dkk., 1999, hal. 124.
7 Catatan penerjemah: Node; atau simpul jaringan adalah titik redistribusi atau titik akhir komunikasi
8 Shy dalam Kahin dan Varian, 2000, hal. 105.
9 Op. cit., hal. 108.
10 Hardt dan Negri, 2000, hal. 56.
11 Castells, 1996, volume I, hal. 476. Faktanya, sebagian komunitas Open Source yang mendapatkan keuntungan dari usaha mereka (atau orang lain) juga tidak menyangkal adanya ‘konflik kepentingan’, sebagaimana para blackleg (penipu) dan informan membuktikan bahwa kapital dan tenaga kerja hidup dalam pernikahan yang harmonis. Begitu juga akan selalu ada beberapa yang meninggalkan keyakinan mereka demi penghargaan pribadi, hubungan antagonis menjamin bahwa orang lain teradikalisasi dan akan ‘bergabung dalam barisan’ perlawanan.
12 Mumford menulis pada tahun 1934 bahwa para janda, yatim piatu, dan ‘orang-orang yang tidak banyak bergerak [miring oleh penerjemah]’ merupakan kelas penyewa yang independen dari hubungan kerja upahan, dan kelas ini berkontribusi pada bagian yang tidak proporsional dari produksi budaya masyarakat; “[…] memang, pendapatan kecil dari para penyewa [miring oleh penerjemah] telah menjadi bantuan nyata pada seni dan sains bagi penerimanya: Milton, Shelley, Darwin, Ruskin ada karena berkah tersebut […]” dan “perluasan sistem ini kepada komunitas secara keseluruhan adalah apa yang saya maksud dengan komunisme dasar”; Mumford, 1986, hal. 151.
13 Catatan penerjemah: Teks asli dalam bahasa inggris: ‘gift economy’.
14 Cohen membedakan empat tahapan sejarah berdasarkan kuantitas surplus yang dihasilkan masyarakat. “Pada tahap pertama, kekuatan produktif terlalu sedikit untuk memungkinkan kelas non-produsen untuk hidup dari kerja produsen.” Zaman sejarah ini terkadang dianggap sebagai ‘komunisme primitif’. “Dalam tahap kedua dari perkembangan material, muncul surplus, dengan ukuran yang cukup untuk mendukung kelas yang mengeksploitasi, tetapi tidak cukup besar untuk menopang proses akumulasi kapitalis.” Panggung ini terdiri dari masyarakat budak dan feodal. “Pada tahap ketiga, surplus telah menjadi cukup melimpah untuk memungkinkan kapitalisme. Ia kemudian tumbuh lebih jauh lagi hingga menjadi begitu besar sehingga kapitalisme menjadi tidak dapat dipertahankan, dan bentuk sosial keempat dan terakhir, yaitu komunisme non-primitif, masyarakat modern tanpa kelas, naik ke kepermukaan”; Cohen, 2000, hal. 364-365.
15 Tentu saja, perkembangan sosial sama sekali tidak berarti bahwa karena satu individu telah memenuhi kebutuhannya, ia kemudian menciptakan sesuatu yang berlebihan untuk dirinya sendiri; melainkan karena satu individu atau kelas individu dipaksa untuk bekerja lebih dari yang dibutuhkan untuk kepuasan kebutuhannya – karena kelebihan tenaga-kerja ada di satu sisi, karenanya, bukan-tenaga kerja dan surplus kekayaan yang ditempatkan di sisi lain.”; Marx, 1993, hal. 401, huruf miring pada aslinya.
16 Catatan penerjemah: Ekonomi pasca-kelangkaan (post-scarcity) merupakan situasi ekonomi yang mana mayoritas barang dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan jumlah pekerja manusia yang minimal. Sehingga barang-barang tersebut dapat tersedia secara bahkan mendekati gratis.
17 Bagian dari penjelasan atas paradoks ini, yang ditawarkan oleh David Lancashire dan yang saya akui, adalah bahwa industri perangkat lunak lebih besar di AS dan lebih cenderung membutuhkan programmer Open Source.
18 Catatan penerjemah: Perangkat lunak properti merujuk pada perngkat lunak bebas yang dikomersialkan (dijadikan hak privat).
19 Samuelson, 1996b, hal. 191. Dalam hal ini ‘Gelombang Kedua’ mengacu pada tiga gelombang futuris Alvin Toffler (1980) pertanian, manufaktur dan informasi.
20 Namun tidak dapat disangkal bahwa komunitas yang begitu cepat merayakan gerakan Open Source di masa lalu adalah yang tercepat untuk “menguangkan” fenomena tersebut. Slashdot adalah bagian dari Open Source Developers Network (OSDN), dan bukan kebetulan bahwa situs cheerleads (penggembira) untuk sister company Sourceforge mendapati harga saham perusahaan induk, VA Linux, berayun dengan produktivitas para developer yang belum digaji”; Lancashire, 2001.
21 Pengamatan Lancashire bahwa letak geografis menjadi penting dalam hal di mana pemrograman Open Source berlangsung, dan bahwa di Amerika Serikat dengan industri komputer mutakhirnya, programmernya cenderung terserap ke dalam sektor komersial, yang mana mereka mengaktualisasikan masalah yang berbeda. Jika sebagian besar perusahaan Amerika, dan pada tingkat menengah Eropa, memulai model dengan memanfaatkan tenaga kerja bebas dari komunitas global, sementara sampai taraf tertentu membayar tenaga kerja rumahan, maka hal tersebut dapat menambah saluran sumber daya lain dari negara-negara miskin ke negara lainnya yang kuat.
22 Memang, kebanyakan kaum Marxis akan menolak klaim ini, tetapi ini adalah konsep sentral dalam pemikiran Autonomist Marxis. “Pengorganisasian siklus produksi kerja non-materiil […] tidak ditentukan oleh empat dinding pabrik. Lokasi di mana ia beroperasi adalah di luar pada masyarakat luas […]”; Lazzarato dalam Virno dan Hardt, 1996, hal. 136. Dengan demikian, semua aktivitas dalam masyarakat menjadi “[…] tunduk pada disiplin kapitalis dan hubungan produksi kapitalis. Kenyataan yang ada di dalam kapital dan menopang kapital inilah yang mendefinisikan proletariat sebagai sebuah kelas”; Hardt dan Negri, 2000, hal. 53.
23 Pemisahan antara lisensi GPL dan Open Source adalah kasus di mana tuntutan bisnis menentukan kembali kondisi aktivitas komunitas agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Joe Barr menulis bahwa GPL adalah target utama whispering campaign [sirkulasi rumor yang terkontrol dan sistematis] karena tidak dapat dirusak. “Mengapa Microsoft peduli dengan perbedaan dalam Lisensi open source ini? Yah, mereka telah memanfaatkan kode dari berbagai proyek BSD. Karena lisensi BSD bukanlah lisensi “copyleft”, siapa pun boleh menggunakan kode mereka dan “menyimpannya rapat-rapat” di balik kepemilikan mereka sendiri dan dengan lisensi terturup”; Barr, 2001, “Live and let license,” http://www.itworld.com/AppDev/350/LWD010523vcontrol4/, diakses 4 Maret 2002.
24 ”Saat ini produktivitas, kekayaan, dan penciptaan surplus sosial berbentuk interaktivitas kooperatif melalui jaringan linguistik, komunikasi, dan afektif”; Hardt dan Negri, 1999, hal. 294.
25 Frase ‘gift economy’ pertama kali digunakan oleh Marsel Mauss (1988) untuk menggambarkan organisasi ekonomi masyarakat pra-kapitalis. Para situasionist kemudian mengadopsi istilah tersebut dalam kritik mereka terhadap keterasingan [alienasi] dalam masyarakat kapitalis (Debord, 1992). Ekonomi apresiasi [gift economy] telah diaktualisasikan kembali oleh komunitas hacker seperti yang tergambar dalam terma ‘information wants to be free’. Istilah ‘gift economy’ tidak sepenuhnya berlaku karena fungsi utama dari apresiasi adalah kepastian pribadi yang dikenai. Oleh karena itu akan lebih tepat untuk berbicara tentang ‘model perpustakaan’ (Frow, 1996), namun saya akan menggunakan istilah ‘gift economy’ karena telah menjadi kebiasaan.
26 Marx mengantisipasi perkembangan ini, dan menulis “[…] ia adalah, pertama-tama, analisis dan penerapan hukum mekanik dan kimia, yang muncul langsung dari sains, yang memungkinkan mesin untuk melakukan pekerjaan yang sama seperti yang sebelumnya dilakukan oleh pekerja. … Inovasi kemudian menjadi bisnis, dan penerapan sains untuk mengarahkan produksi itu sendiri menjadi prospek yang menentukan dan menuntunya“; Marx, 1993, hal. 704.
27 Robinson, dikutip dalam Nelkin, 1984, hal. 15.
28 Bessen dan Maskin, 2000, hal. 2-3.
29 Castells, 1996, volume I, hal. 17.
30 “[…] siklus kerja non-materiil berperan sebagai titik awalnya suatu kerja sosial yang mandiri dan mampu mengatur baik pekerjaannya sendiri maupun hubungannya dengan entitas bisnis”; Lazzarato dalam Virno dan Hardt, 1996, hal. 137.
31 Lyon, 1994, hal. 133.
32 Hubungan produksi adalah “[…] hubungan kekuasaan secara efektif atas orang dan tenaga produktif […]”; Cohen, 2000, hal. 63.
33 Rifkin, 2000, hal. 27.
34 May, 2000 hal. 139.
35 Cohen, 2000, hal. 149.

Share your thoughts

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Mulai percakapan
Hai PAPERBUK!
Ada yang bisa kami bantu?

Kami adalah manusia sungguhan, coba hubungi kami!