Tiongkok yang Kukenal

Membangun Sosialisme Berciri Khas Tiongkok

oleh Ibrahim Isa

Rp65,000.00

Only 1 left in stock (can be backordered)

Ada pertanyaan

Description

Sebagai orang Indonesia, yang negerinya, Republik Indonesia (diproklamasikan tahun 1945) termasuk negara pertama mengakui berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (1949), … Aku pun ingin mengerti dan memahami sekitar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan politik seperti apa yang ditempuh Tiongkok dewasa ini.

Bukankah Ir. Soekarno—salah seorang pemimpin besar perjuangan kemerdekaan nasional bangsa Indonesia, Bapak Nasion, Proklamator Kemerdekaan Indonesia, serta Presiden pertama Republik Indonesia—dengan tegas menunjukkan bahwa untuk tujuan keadilan, kemakmuran, dan kejayaan, Indonesia harus membangun negara yang sosialis. Kalau kita bertolak dari Undang-Undang Dasar dan dasar falsafah negara, yaitu Pancasila, maka jalan yang hendak ditempuh Indonesia, adalah jalan sosialisme.

Oleh karena itu, seyogianya Indonesia menarik pelajaran dari negeri-negeri lain yang juga membangun sosialisme, a.l. dari Republik Rakyat Tiongkok.

Untuk tujuan tersebut, selain menjenguk kawan-kawan seperjuangan lama orang-orang Tiongkok dan teman-teman Indonesia yang bermukim di Tiongkok, selama dua minggu, dari 26 Mei s.d. 8 Juni 2013, bersama Murti, aku berkunjung (lagi) ke Tiongkok.

Terakhir kunjungan kami ke Tiongkok adalah 13 tahun yang lalu, yaitu tahun 1998. Undangan datang dari organisasi yang sama: Chinese People’s Association for Friendship With Foreign Countries (CPAFFC). Adalah organisasi non-governmental ini juga yang mengundang kami sekeluarga untuk tinggal di Tiongkok dan aku bekerja di sana (1966–1986).

Ibrahim Isa lahir di Jakarta, 20 Agustus 1930. Menempuh pendidikan Taman Dewasa Raya (Taman Siswa). Pada masa Revolusi Agustus 1945, ikut ambil bagian aktif dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat Indonesia.

Tahun 1949–1965 menjadi guru di Perguruan KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Merangkap Sekretaris Umum Yayasan Perguruan KRIS dan Sekretaris Komite Perdamaian Indonesia; Sekretaris Jenderal Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Rakyat-rakyat Asia Afrika. 1952 mewakili Pemuda Indonesia dalam Konferensi Persiapan untuk Kongres Pemuda Sedunia di Kopenhagen. 1956–1964 mewakili Indonesia dalam pelbagai Konferensi Internasional untuk Perdamaian di Wina, Stokholm, Tokyo, Nagasaki, dan Hiroshima.

1960–1965 wakil tetap Indonesia dalam Sekretariat Tetap Internasional Organisasi Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia–Afrika di Cairo. Juli 1965 mewakili Indonesia dalam Panitia Konferensi Internasional Anti Pangkalan-Pangkalan Militer Asing (KIAPPMA); Penasihat Delegasi Indonesia dalam Konferensi Non-Blok di Cairo; Redaktur majalah bulanan Afro-Asia yang terbit di Cairo; Sekretaris Komite dan Setiakawan Asia-Afrika di Cairo; mewakili Indonesia dalam pelbagai konferensi internasional untuk mendukung gerakan Kemerdekaan Asia–Afrika; Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia–Afrika–Amerika Latin di Havana, Cuba. Sejak 1965 menjadi publisis yang menghasilkan pelbagai penerbitan dan tulisan. 1993 salah seorang pendiri Stichting Azie Studies, Ondrzoek en Infromatie di Amsterdam.

Ibrahim Isa adalah salah seorang political dissident, yang termasuk dalam daftar hitam penguasa Orba. Ia tidak bisa pulang karena sikap dan perlawanan politiknya terhadap rezim Jenderal Soeharto. Ia diberi cap “Pengkhianat Bangsa”, karena kegiatannya selama Konferensi Trikontinental di Havana, Januari 1966. Dalam Konferensi itu Ibrahim Isa sebagai Ketua Delegasi untuk pertama kali, di muka Konferensi Internasional menjelaskan tentang situasi gawat di Indonesia setelah terjadi G30S, di mana Soeharto mulai melancarkan pembunuhan massal terhadap rakyat yang dituduh komunis, kiri, dan pengikut Bung Karno.

Dalam pertemuan dengan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra di KBRI Den Haag 17 Januari 2000, Ibrahim Isa dengan resmi mengajukan tuntutan kepada pemerintah untuk mencabut TAP MPRS No.XXV/1966. Ibrahim Isa juga aktif di Amnesti Internasional Negeri Belanda dengan beberapa orang Indonesia lainnya.

Tiga buku karya Ibrahim Isa: Suara Seorang Eksil (2001), Bui Tanpa Jerajak Besi (2013), dan Kabar dari Seberang – Memoar Ibrahim Isa (2014).

Ibrahim Isa meninggal dunia 16 Maret 2016 di Amsterdam Zuid Oost.

Additional information

Weight 0.33 kg
Dimensions 14.5 × 20.5 cm
Author(s)

Format

Language

Indonesia

Pages

xxviii + 252

Publisher

Year Published

2016

ISBN

978-602-8331-72-2